Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Monster Pramuhendra

J. Ariadhitya Pramuhendra memamerkan karya hitam-putih. Pergulatan gagasan religiositasnya.

1 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seniman J. Ariadhitya Pramuhendra dengan karyanya yang berjudul O, A Leave and the Cold Body dalam pameran “The Monster Chapter II: Momentum” diGaleri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan lilin menjadi penerang ruang yang gelap. Suasana temaram itu terasa khidmat. Terdapat beberapa bangku yang menghadap ke lukisan berukuran hampir sebidang dinding penuh di salah satu ruangan Galeri Nasional Indonesia. Lukisan itu cukup besar, panjangnya hampir 20 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya dengan materi arang tersebut menguatkan suasana spiritual seperti di dalam gereja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di seberangnya, terpasang beberapa lukisan berukuran lebih kecil, ada yang 2 x 3 meter dan lebih kecil lagi. Namun, tanpa penerangan, pengunjung tak akan mudah melihat karya monokromatik hitam-putih itu. Sebab, ruangan dibiarkan gelap.

Sekilas, ada nuansa keemasan tersambar seberkas cahaya, tapi obyek karya yang hitam-putih tak terlihat. Karena itu, pengunjung juga diberikan sebatang lilin untuk sedikit memperjelas karya-karya yang dihadirkan. "Mirip suasana pra-Paskah," ujar Carla Bianpoen, seorang penulis topik seni saat sela-sela tur media pada 22 Maret lalu.

Ada sejumlah lukisan karya J. Ariadhitya Pramuhendra yang dihadirkan dalam pameran bertajuk "The Monster Chapter II: Momentum" itu. Pameran yang berlangsung pada 22 Maret-7 April 2019, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, ini merupakan rangkaian trilogi pameran karya Hendra sebagai seri monster. Sebelumnya, pada 2018, ia menggelar pameran bertajuk "The Monster Chapter I: Memory".

Tema "The Monster" dipilih untuk menggambarkan suatu kenangan yang selalu membayangi, sebagai kekuatan dan kehebatan yang melebihi dirinya. "Itu monster bagi saya," ujar Hendra.

Pameran pertama dan kedua ini memperlihatkan kedekatan Hendra dengan tema religi. Ia mengekspresikan karyanya yang berkaitan dengan peradaban Nasrani. Ia memang tumbuh dari keluarga Katolik. Karena itu, kesan religiositas Katolik sangat kental. Karyanya mengingatkan pada lini masa sejarah era Renaisans (abad ke-15 sampai dengan ke-16) hingga Abad Pencerahan (abad ke-17 hingga ke-18). Karya-karya semacam ini banyak ditemukan di gereja.

Dengan penerangan lilin, pengunjung bisa melihat beberapa lukisan Maria dan bayi Yesus, atau tentang Yesus sendiri. Warna perada emas dalam motif seperti pembatas ruang pengakuan dosa memberi warna keagungan. Suasana ini akan membawa pengunjung ke suatu momentum pengalaman personal.

Di lobi, Hendra menggiring pengunjung untuk mengintip sosok tubuh yang terbaring bertutup kain merah di ruangan. Dua bidang dinding ia bangun berdampingan, mengarah ke celah yang memungkinkan pengunjung mengintipnya.

Sementara itu, di luar gedung, Hendra membangun dua bidang tembok yang terlihat kokoh membentuk huruf L dengan celah di ujungnya. Tembok kasar itu berwarna abu-abu kehitaman, berbahan semen dan campuran arang.

Hendra ingin mengajak pengunjung melihat monster-monster yang terwujud dalam karyanya, dalam imajinasi seorang anak, yang dipamerkan di ruang terbuka, Gedung A dan Gedung B Galeri Nasional Indonesia. Imaji untuk berkomitmen memenangi pergulatan mental pikiran, untuk bertindak dalam kebaikan.

Dari karya dua dan tiga dimensi seperti yang ditampilkan di ruang terbuka dan Gedung B, yang berupa bongkahan-bongkahan tembok tebal dengan lukisan, Hendra juga ingin mengungkap ide gagasan tentang ruang. "Seperti gedung-gedung tua yang runtuh."

Rizki A. Zaelani, kurator pameran ini, menjelaskan bahwa karya Pramuhendra tidak hanya mengenai narasi dan keterangan, tapi juga menyangkut cara penerimaan milik kita secara langsung dan personal. "Soal hitam-putih, gelap-terang, hanya perantara bagi kita menyambut perubahan yang berlangsung dalam semesta diri kita," ujar dia.

Karier Pramuhendra, lulusan Seni Grafis Institut Teknologi Bandung, melejit sejak karya instalasinya, Ashes to Ashes, ditampilkan dalam Hong Kong Art Fair 2010. Ia membawa warna monokromatik hitam-putih dalam setiap karyanya, yang sering diidentikkan dengan potret diri sebagai tokoh sentral dan religi.

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus