Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teriakan para siswa Taman Kanak-kanak Al-Yahya, Cigadung, Bandung, memecah ke senyapan galeri Ruang B di Selasar Sunaryo Art Space, Rabu pekan lalu. Setelah riuh berkeliling hingga bagian belakang, mereka duduk berkumpul di ruang sayap galeri.
”Itu Pak Sudjojono,” kata Arum Pra mesh wari, Manajer Program Selasar, menunjuk ke sebuah gambar potret S. Su djojono karya Sunaryo, Homageto Sudjojono. Gambar dari goresan arang dan akrilik di atas kanvas berukuran 120 x 120 sentimeter itu terlihat kabur dengan berbagai coretan tulisan yang tak terbaca.
Bandung sedang merayakan Sindu darsono Sudjojono (1913-1986), sang perintis seni rupa modern Indonesia. Perayaan ini memang tak main-main. Wajah Sudjojono kini terpampang di 15 galeri dan sanggar di segala penju ru kota, seperti Selasar Sunaryo, Lawangwangi, Galeri Padi, Griya Seni Popo Iskandar, Museum Barli, Platform 3, dan Galeri Kita. Gambar yang tampil umumnya pose ketika Pak Djon panggilan akrab Sudjojono—sedang bersedekap tangan dengan blangkon dan baju lurik sambil mengisap cangklong.
Sebanyak 200 lebih seniman mencoba menafsirkan kiprah dan pemi kiran sang empu dalam berbagai teknik dan karya, berupa lukisan, gambar, video, foto, hingga patung. Karya-karya itulah yang kini dipajang di galeri-galeri tersebut sejak pertengahan Oktober hingga November men datang. Pameran ”Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan” itu sebagai penghormatan ba gi Sudjojono, yang juga ber tepatan dengan bulan pendirian Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang didi rikan Su djojono bersama para seniman lain pada 1937.
”Sekitar 70 persen karya masih nyambung dengan Sudjojono,” kata Aminudin T.H. Siregar, salah satu kurator pameran ini. Namun, sebagian besar peserta pameran masih menampilkan wajah Sudjojono, yang sebenarnya kurang diharapkan panitia. Untunglah, masih ada beberapa perupa yang mencoba menawarkan gagasan segar, seperti Sekarputi Sidhiawati, yang menampilkan sisi romantis Pak Djon di atas empat piring keramik seukuran wadah makan hingga tatakan cangkir.
Karya Sekarputi yang berjudul Dialog Awal Rumah Tangga itu dipamerkan di Platform 3. Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu menorehkan kutipan ka limat dari buku Sudjojono dan Aku kar ya Mia Bustam, mantan istri Pak Djon. Di situ Mia berkisah tentang kehidupan mereka sejak keduanya bertemu pada 1941 dan berpisah pada 1958. ”Sekar mengungkapkan sisi lain saat kebanyakan seniman mengangkat pemikiran Su djojono tentang seni,” ujar Heru Hikayat, manajer program Platform 3.
Gagasan yang cukup ekstrem keluar dari kepala Amrizal Salayan. Di Selasar Sunaryo, pe matung senior Bandung itu mengusung dua manekin hitam dari bahan fiberglass. Selembar kain hitam melekat di tubuh patung. Satu sosok berdiri tegak sambil menenteng buku tebal berjudul Contemporary of Arts. Bagian kepala hingga dadanya hilang. Potongannya tepat sejajar dengan garis horizontal di tembok sepanjang 140 sentimeter. Di bawahnya tergeletak patung serupa beralas kain hitam. Bedanya, Amrizal memotong patung itu dari dengkul ke bawah. Hasil mutilasi itu lagi-lagi dipaskan sepanjang 140 sentimeter. Dengan posisi tengadah, kepalanya berbantal buku tebal bertulisan Yesterday, Tomorrow, is Today. Karya itu diberi judul Max, 140x140x140 cm; Raga Ketok.
Menurut dosen seni patung ITB itu, tinggi utuh patung sebenarnya mencapai 180 sentimeter. Tapi, karena panitia pameran membatasi dimensi karya maksimal 140 x 140 sentimeter, ia terpaksa memotong karyanya, suatu sikap yang sekaligus sebagai bentuk protes kepada penyelenggara pameran.
”Jiwa ketok” (jiwa terlihat) adalah gagasan Sudjojono, yang dipahami Am rizal sebagai bentuk ekspresi seni yang tidak dibatasi konvensi akademik dan di luar teknik. ”Pak Djon membebaskan jiwa orang, teknik meng ikuti. Artinya, seluruh aktivitas itu cermin siapa kita. Kenapa itu dibatasi?” katanya.
Sudjojono lahir di Kisaran, Sumatera Utara, 14 Desember 1913, dari sebuah keluarga transmigran asal Jawa. Ketika remaja ia dibawa ke Jawa oleh pelukis Yudhokusumo, ayah pelukis Kartono Yudhokusumo, dan sempat menjadi guru, sebelum akhirnya memilih menjadi pelukis dan mendirikan Persagi.
Pada masa awal Persagi, lukisan Sudjojono cenderung ekspresif. Sa puan kuasnya kasar dengan warna-warna kelam, misalnya pada Lukisan Main (1938), Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Cap Go Meh (1940), dan Sayang Kami Bukan Anjing (1942). Gaya itu, menurut Aminudin, seakan hendak melawan kehalusan kuas serta kecemerlangan warna para pelukis naturalis yang dominan pada masa itu.
Beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pak Djon secara radikal kembali ke gaya lukisan realisme. Keterampilan menggambarnya dipakai untuk melukis benda dan suasana sehari-hari serta figur manusia, misalnya pada lukisan cat minyak berjudul Potret Seorang Tetangga (1950). Berbagai catatan yang tertulis di pinggir-pinggir kanvas seperti pada karya sketsa dan gambarnya menjadi ciri khasnya. Baginya, kesenian adalah wujud jiwa senimannya, jiwa ketok.
Dalam pameran ini dipajang pula seratusan gambar dan sketsa Sudjojono di Galeri Soemardja, Bandung. Beberapa koleksi S. Sudjojono Center sepanjang kurun 1950-1986 tersebut, ujar Aminudin, selama ini terbilang jarang diperlihatkan ke publik. Gambar dan sketsa Sudjojono tersebut merekam hidup keseharian, seperti anak-anaknya yang tidur, kerbau, pemandangan, hingga pekerjaan yang rumit ketika membuat lukisan berjudul Pertempuran Sultan Agung dengan J.P. Coen pada 1973.
Untuk membuat suasana penyerang an Raja Mataram ke Ba tavia pada 1628-1629 itu, Sudjojono menghasilkan ratus an sketsa hingga detailnya, seperti bentuk ikatan rambut dan alas kaki yang dipakai prajurit serta serdadu. Tak puas ha nya melihat sketsa nya dari depan, ia dengan tekun menggambar sikap dan aksi petarung dua pihak itu dari belakang.
Berbekal riset, Sudjojono berulang-ulang menggambar posisi duduk Sultan Agung di singgasana. Puluhan sketsa dan gambar yang diberi nomor serta catatan kaki di mana-mana itu untuk mendekati kebenaran sejarah. Sudjojono lengkap menyelidiki watak tokoh, busana prajurit dan serdadu, senjata, kuda, kapal, tenda prajurit, juga lanskap peristiwa.
Bahkan, untuk mendapatkan sosok asli dan karakter Jan Pieterzoon Coen, ia sampai menetap berbulan-bulan di Belanda. Di sana, selain keluar-masuk museum, ia menyambangi kota kelahiran Coen di Hoorn, yang berada di sebelah utara Amsterdam, demi mendapatkan wajahnya. ”Bagi Sudjojono, kebenaran itu nomor satu, keindahan nomor dua,” ujar Aminudin. Lukisan pesanan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu diselesaikan pada 1973 dalam waktu tujuh bulan. Sejak 1974, lukisan itu dipajang sampai sekarang di Museum Sejarah, Jakarta.
Sudjojono menganggap sketsa sejajar dengan lukisan sebagai karya seni. ”Dari sketsa, terlihat apakah se seorang sudah bisa melukis atau belum,” kata Rose Pandanwangi Sudjojono, penyanyi seriosa yang dulu jadi istri Su djojono. Selain itu, dia pernah mencoba membuat patung. Tapi, kata Maya Sudjojono, putri sang maestro, hal itu hanya dilakukan sebentar, karena tangannya tak kuat bekerja kasar. Su djojono wafat pada 25 Maret 1986 karena kanker paru-paru dan luka usus.
Kurniawan, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo