Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mural Liar di Kedai Kopi

Eko Nugroho membuat mural ketika berpameran di Helsinki, New Orleans, Berlin, Brisbane. Dan kini di Galeri Ark Jakarta, yang berlokasi di sebuah kedai kopi, ia menampilkan lukisan dan mural bertema The Pleasure of Chaos.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menolak tokoh-tokoh komiknya dipandang sebagai hero. Tokohnya bukan wakil seorang moralis, pahlawan pembasmi kejahatan. Tokohnya malah seperti terjebur dan bingung di dunia yang tak jelas mana yang baik dan buruk.

Eko Nugroho, 30 tahun, mencuat di antara perupa yang bertolak dari komik. Gagasan fisikal tokohnya memang tak baru dalam dunia animasi. Sebagaimana pameran di Galeri Ark ini, sosoknya kerap in between: antara manusia dan mesin. Tapi idiom gambarnya yang khas membuat ia lain daripada yang lain. Tokohnya misalnya selalu memiliki kepala yang ganjil, yang memberikan kita sebentuk imaji: semak terbakar, terumbu karang, ubur-ubur, kulit nanas, tonjolan-tonjolan sel batang, helm astronaut, topeng ultraman, cerobong asap.

Eko ketika mahasiswa pada 2000 terkenal karena menerbitkan buletin komik underground yang ia beri judul Daging Tumbuh. Buletin ini menampung karya para komikus muda di Yogya. Ide liar, apa saja, dapat dituangkan di situ. Komik tidak harus identik dengan panil teratur, dialog komunikatif di antara tokohnya. Di situ sosok kartun bisa diekspresikan segila-gilanya dengan kalimat-kalimat yang secara tata bahasa ganjil.

Buletin itu terbit enam bulan sekali, dan sampai kini bertahan. Nomor terakhir adalah edisi 12 yang terbit pada akhir 2007. Nomor itu memuat karya-karya yang berbeda gaya. Dari komik Bambang Toko yang naif, kekanak-kanakan, sampai komik realis Beng Rahadian—yang menampilkan cuplikan karyanya yang bertolak dari adaptasi film thriller Kala besutan Joko Anwar. Daging Tumbuh edisi baru dijual Rp 30.000—dan hanya dicetak 150 eksemplar, karena itu Eko selalu menyarankan agar Daging Tumbuh dibajak.

Daging Tumbuh adalah titik tolak Eko menemukan bahasa gambar komik yang imajinatif. Sebuah bahasa gambar yang segera menempatkan dirinya tak kalah dengan para seniornya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang mengeksplorasi dunia kartun, seperti Heri Dono, Eddie Hara, dan Samuel Indratma. Kita pertama-tama bisa melihat bagaimana kemampuannya menciptakan fantasi makhluk-makhluk ganjil itu.

Ia menggabungkan citra teknologi, industri media, dan dunia flora. Sosok kartunnya sering menggunakan penutup muka seperti helm astronaut atau pembalap formula. Jemari tangannya berbentuk capit. Tubuhnya penuh sulur. Tangannya bercabang dan keluar tunas-tunas. Adapun di badannya kerap tercangklong kotak seperti kamera, monitor televisi kecil, speaker. Di medium apa pun, Eko selalu menggoreskan garis hitam tebal pada pinggir tubuh tokohnya. ”Itu kebiasaan menggambar di kertas, dengan menggunakan spidol hitam Snowman,” ujarnya.

Dan dengan rileks, dari kertas Eko fleksibel melompatkan makhluk-makhluk ciptaannya itu ke kanvas, ke bordir, lantai, dinding, atap, T-shirt, mug. Terakhir ia membuat poster untuk film Garin Nugroho: Teak Leaves At The Temples. Ini sebuah film Garin yang mendokumentasi sebuah kelompok free jazz trio asal Swis bernama The Geisser-Mazzola-Jones, yang melakukan kolaborasi dengan seniman-seniman tradisi Prambanan dan Borobudur. Gambar poster yang dibikin Eko demikian menarik. Sekumpulan makhluk aneh mengelilingi meja. Seseorang yang berkepala seperti terumbu karang memainkan piano kecil. Seseorang lain di belakang yang berhelm antariksawan mengkonduktori.

”Dari kecil saya suka animasi Jepang Google V, mereka seperti Power Ranger, punya senjata dan kendaraan sendiri-sendiri,” katanya. Di Galeri Ark ini, ia menampilkan tema kekerasan. Ia tertarik pada gejala hidden violence, kekerasan tersembunyi. Ia membicarakan persoalan kultural yang telah banyak dikunyah, tapi pendekatannya yang tidak klise membuat kita dipaksa memasuki dunia fantasinya dengan girang.

Tengok kritiknya bagaimana tidak amannya negeri ini. Sebuah gambar menampilkan seorang lelaki mengenakan kemeja bergaris. Kepalanya berbentuk kuncup karung goni yang ditumbuhi corong-corong—tempat minyak tanah. Di punggungnya tertancap tiga pedang. Lalu ada tulisan Berakhir Pekan di Negeri Ini Sungguh Menyenangkan.

Atau lihatlah lukisan besar 4,5x2 meter. Suasananya terkesan misterius. ”Ini bercerita tentang pembunuhan seorang raksasa,” kata Eko. Berbagai makhluk, ada yang berkepala anjing, tikus, tampak mengerumuni raksasa yang terpisah dari tubuhnya. Potongan tangan tercecer di tanah. Ada kalimat Jembar Negarane, Cupet Pikirane. Dua makhluk seperti robot dengan proporsi gambar lebih besar dari lainnya tampak berdiri bersampingan membelakangi kerumunan. ”Mungkin mereka itu pembunuhnya,” kata Eko tertawa.

Yang menarik juga, kritik ini dihadirkan Eko lewat medium bordir. Ada karya bordirnya berjudul Dua Orang Sahabat sebesar 2x3 meter. Menggunakan benang biru, kuning, oranye, ia menampilkan dua sosok: satu berkepala naga, satu lagi robot. Mereka tampak akrab, tapi salah satu tangan mereka ditancap pedang. Di sini Eko tampak hendak menyindir jargon pluralitas. Demikian juga dengan lukisan yang menampilkan sesosok pemuda dengan topeng yang berisi dua wajah. T-shirt yang dikenakan pemuda itu bertulisan Berbeda-beda tapi Tetap Bermasalah Juga.

Mungkin Eko adalah satu-satunya perupa kontemporer kita yang menaruh minat pada bordir. Karya bordir pertamanya adalah emblem-emblem kecil. Idenya didapat dari nama sejumlah geng di Yogya pada 1990-an. Pada dasawarsa itu bermunculan geng Joxsin, Qzruh, dan lain-lain. Mereka sering menggunakan jaket dengan sematan simbol geng masing-masing. Eko membuat lambang-lambang sendiri. Ia kemudian sampai membeli mesin bordir. ”Saya juga mencari tukang bordir dari Tasikmalaya,” ujarnya. Tasikmalaya, Jawa Barat, adalah pusat kerajinan bordir. Untuk pengerjaan emblem kecil, mereka bisa. Tapi, ketika Eko mulai menginginkan karya bordir berukuran besar seperti karya di atas, mereka kewalahan.

Eko mengaku cukup banyak membaca komik asing, termasuk karya bapak manga Tesamu Osuk—yang komiknya tentang Buddha telah beredar di sini. ”Saya banyak belajar tentang alur ceritanya,” tuturnya. Ia menyukai unsur kejutan, paradoks dalam membangun plot. Ia sendiri ketika membuat komik selalu langsung, tanpa sketsa lebih dahulu. Itu memungkinkannya menghasilkan hal tak terduga. ”Kalau ada garis yang salah, itu malah bisa menjadi cerita lain.”

Kejutan liar demikian paling tampak pada karya muralnya. Mural seperti ini ”milik” Eko seorang. Lihatlah di lantai bawah Galeri Ark—yang selokasi dengan Bakoel Koffie itu— bagaimana ia cerdas memanfaatkan unsur ruangan. Di tiang ia menorehkan ular, tubuh ular itu ia gambar meliuk sampai lantai. Kepalanya di tiang, sementara kaki-kakinya di tanah. Ia suka menginteraksikan elemen-elemen ruangan. Makanya terkesan liar, karena itu membuat lukisannya seolah tanpa batas. Begitu kita mendongak ke atap—di ruang bawah Galeri Ark itu tertera tulisan Have Nice Day, Have Nice Party, Have Nice Chaos.

Di mana pun ia berpameran, ia selalu membuat mural. Pada 2005, di Hause der Kulturen der Welt, Berlin, Jerman, ia membuat mural. Pada 2007 di Museum Kiasma, Helsinki, ia membuat satu mural besar ukuran 13x7x4 meter, yang hanya menampilkan sosok kepala bertopeng antara helm, jilbab, ninja. Tapi yang paling berkesan tatkala ia memuat mural di New Orleans Contemporary Art Center, Januari 2008. Di samping gambar di dinding, ia membuat lantai ruangan penuh dengan sampah di jalanan—yang kemudian dibentuknya seperti dek kapal. ”Saya memunguti barang bekas badai Katrina, kayu, kursi, poster, piringan hitam.” Menurut dia, itu memberikan perkembangan baru dalam proses kreatifnya.

Pada akhir Maret ini, ia akan kembali ke Amerika. Kali ini Galeri Ark membawanya ke Art Fair New York. Dan di situ ia juga berencana membuat mural lagi. Mural-mural chaos. Today Comic for Future Problem, demikian motto Daging Tumbuh.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus