DULLAH (lahir di Sala 1919) dan kawan-kawannya dari Himpunan
Budaya Surakarta, berpameran di Istana Kepresidenan Yogya,
Gedung Agung, 7 s/d 13 Mei. Pameran yang bertema 'Serangan Umum
1 Maret 1949' itu dibuka resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Diselenggarakan atas
kerjasama antara Rumah Tangga Kepresidenan dan Himpunan Budaya
Surakarta.
"Pameran ini sedianya akan dilangsungkan bertepatan dengan ulang
tahun peristiwa bersejarah perjuangan bangsa, Serangan Umum 1
Maret 1949. Namun terpaksa ditunda pelaksanaannya beberapa kali
karena beberapa hal," ujar Susidarto, atas nama Kepala Rumah
Tangga Kepresidenan. Toh pameran ini merupakan langkah membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk bisa melihat istana lebih dekat
dan langsung. Sebagaimana diketahui, Istana Jakarta, Bogor,
Cipanas dan Tampaksiring telah lebih dahulu terbuka.
Musium Lukisan
Nampaknya ini merupakan pameran yang paling elite di Yogya
selama ini. Pelukis Affandi sedikit memohon kepada koran-koran:
"Umumkan pada rakyat kecil, jangan takut untuk melihat." Sebab
Affandi khawatir tukang becak punya perasaan malu atau takut
masuk. Kalau begitu, mengapa mesti di Gedung Agung? "Lha mau di
mana lagi, tempat lain tidak ada," kata Affandi. "Mestinya kalau
mau cepat dinikmati rakyat, dilaksanakan di alun-alun. Tapi
siapa yang akan menjamin keamanannya?"
Sekitar 300 buah lukisan, karya koleksi Dullah dan kawan-kawan,
semuanya bercorak realistik. 30 lukisan bertema Serangan Umum 1
Maret. 7 lukisan anak-anak yang dibuat langsung pada peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 29 tahun lalu. Selebihnya bertema umum.
Ada juga sket-sket. Pameran ini mengingatkan kembali peristiwa
heroik di Yogya dan Gedung Agung dalam sejarah perjuangan
bangsa. "Maka pada hemat kami koleksi tersebut sangat serasi
bila digabungkan sebagai langkah awal pelaksanaan rencana
membuka Gedung Agung sebagai istana yang bisa dilihat secara
akrab oleh masyarakat luas," tutur Susidarto.
Sri Sultan sendiri tidak menghendaki pameran ini berhenti
demikian saja. Perlu tindak lanjut: "Menurut usul saya," kata
Sultan, "lukisan-lukisan itu supaya dibukukan. Cari keterangan
dari orang-orang yang waktu itu ikut berjuang dan masih hidup,
yang mungkin bisa memberi inspirasi baru. Lalu, lukisan dibuat
juga dalam corak abstraksi yang bisa menjiwai para pejuang.
Tentang caranya, saya tidak tahu," ucap Surtan dengan tulus.
Ini kemudian membuka ide, atau katakanlah usul, untuk memiliki
museum khusus lukisan sejarah perjoangan. "Museum jangan hanya
diisi mortir dan standgun saja. Lukisan perlu pula dimuseumkan,"
kata Affandi. Sultan sendiri setuju ada museum. Tapi tempatnya
di mana? "Kalau saya setuju saja di Yogya," ucap Sultan. Dari
segi perjoangan, Yogya dianggap lebih besar. Jenderal TNI
Widodo, KASAD, yang juga hadir pada pembukaan pameran, juga
setuju adanya museum. "Kalau Gedung Agung ini kita jadikan
museum nanti fungsinya sebagai istana bagaimana," kata jenderal
itu. "Kita sudah menyerahkan Beteng (bekas Yon 403 di Jalan
Senopati) kepada Departemen P&K, tapi sampai sekarang belum ada
realsasinya.
Orisinil
Dari sekian lukisan yang dipajang, ternyata yang lebih banyak
menggugah adalah lukisan anak-anak. Lukisan itu digarap oleh
anak didik Dullah yang waktu Serangan Umum 1 Maret berumur
antara 10 hingga 14 tahun. Ada 70 buah lukisan Mohammad Toha
yang waktu itu berumur 10 tahun. Toha kini sudah menjadi SH.
Lalu pelukis cilik Mohammad Affandi yang kala itu berumur 12
tahun, yang kini doktorandus dan dosen di FKSS IKIP Yogya. Ada
lagi Supono, 13 tahun, Sri Suwarno, 14 tahun, Sarjito, 14 tahun,
D. Winarto, 13 tahun. Anak didik Dullah waktu itu berjumlah
sekitar 50 orang.
Lukisan anak-anak itu terbuat dari cat minyak di kertas ukuran
kecil-kecil. Tak lebih dari 7 x 10« cm. Tapi punya arti yang amat
besar. Menurut Dullah waktu itu mereka melukis sembunyi-sembunyi
supaya tidak ketahuan Belanda. Maka itu lukisannya kecil. "Ada
seorang anak didik saya," ujar Dullah, "yang namanya Sarjito,
ditangkap Belanda, dikirim ke penjara anak-anak di Tangerang dan
diputuskan hukuman 7 tahun penjara" ....
"Lukisan anak-anak itu sungguh membuat saya jadi iri dan
ngiler," begitu komentar Affandi. "Orisinil, dan dibuat pada
waktu peristiwa terjadi. Tidak terbayang di pikiran saya bahwa
anak-anak umur sekian berani melempar bom tanpa memikirkan mati.
Yang mereka pikirkan adalah cita-cita kemerdekaan," kata Affandi
terus memuji. Ia memberikan penjelasan, bahwa melukis kapal
terbang itu biasa. Tapi menjadi tidak biasa karena melukis kapal
terbang yang sedang beraksi. Ia pun takjub bagaimana anak-anak
itu bisa melukis mobil yang sedang dibakar hangus. "Kalau boleh,
saya akan mengambil lukisan anak-anak itu," ucap Jenderal
Widodo. Tapi tidak boleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini