Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Museum jangan diisi mortir saja

Himpunan budaya surakarta mengadakan pameran lukisan di gedung agung,istana kepresidenan yogya. temanya: serangan umum 1 maret 1949. terdapat pula lukisan anak didik dullah yang dibuat saat kejadian. (sr)

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULLAH (lahir di Sala 1919) dan kawan-kawannya dari Himpunan Budaya Surakarta, berpameran di Istana Kepresidenan Yogya, Gedung Agung, 7 s/d 13 Mei. Pameran yang bertema 'Serangan Umum 1 Maret 1949' itu dibuka resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Diselenggarakan atas kerjasama antara Rumah Tangga Kepresidenan dan Himpunan Budaya Surakarta. "Pameran ini sedianya akan dilangsungkan bertepatan dengan ulang tahun peristiwa bersejarah perjuangan bangsa, Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun terpaksa ditunda pelaksanaannya beberapa kali karena beberapa hal," ujar Susidarto, atas nama Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. Toh pameran ini merupakan langkah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk bisa melihat istana lebih dekat dan langsung. Sebagaimana diketahui, Istana Jakarta, Bogor, Cipanas dan Tampaksiring telah lebih dahulu terbuka. Musium Lukisan Nampaknya ini merupakan pameran yang paling elite di Yogya selama ini. Pelukis Affandi sedikit memohon kepada koran-koran: "Umumkan pada rakyat kecil, jangan takut untuk melihat." Sebab Affandi khawatir tukang becak punya perasaan malu atau takut masuk. Kalau begitu, mengapa mesti di Gedung Agung? "Lha mau di mana lagi, tempat lain tidak ada," kata Affandi. "Mestinya kalau mau cepat dinikmati rakyat, dilaksanakan di alun-alun. Tapi siapa yang akan menjamin keamanannya?" Sekitar 300 buah lukisan, karya koleksi Dullah dan kawan-kawan, semuanya bercorak realistik. 30 lukisan bertema Serangan Umum 1 Maret. 7 lukisan anak-anak yang dibuat langsung pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 29 tahun lalu. Selebihnya bertema umum. Ada juga sket-sket. Pameran ini mengingatkan kembali peristiwa heroik di Yogya dan Gedung Agung dalam sejarah perjuangan bangsa. "Maka pada hemat kami koleksi tersebut sangat serasi bila digabungkan sebagai langkah awal pelaksanaan rencana membuka Gedung Agung sebagai istana yang bisa dilihat secara akrab oleh masyarakat luas," tutur Susidarto. Sri Sultan sendiri tidak menghendaki pameran ini berhenti demikian saja. Perlu tindak lanjut: "Menurut usul saya," kata Sultan, "lukisan-lukisan itu supaya dibukukan. Cari keterangan dari orang-orang yang waktu itu ikut berjuang dan masih hidup, yang mungkin bisa memberi inspirasi baru. Lalu, lukisan dibuat juga dalam corak abstraksi yang bisa menjiwai para pejuang. Tentang caranya, saya tidak tahu," ucap Surtan dengan tulus. Ini kemudian membuka ide, atau katakanlah usul, untuk memiliki museum khusus lukisan sejarah perjoangan. "Museum jangan hanya diisi mortir dan standgun saja. Lukisan perlu pula dimuseumkan," kata Affandi. Sultan sendiri setuju ada museum. Tapi tempatnya di mana? "Kalau saya setuju saja di Yogya," ucap Sultan. Dari segi perjoangan, Yogya dianggap lebih besar. Jenderal TNI Widodo, KASAD, yang juga hadir pada pembukaan pameran, juga setuju adanya museum. "Kalau Gedung Agung ini kita jadikan museum nanti fungsinya sebagai istana bagaimana," kata jenderal itu. "Kita sudah menyerahkan Beteng (bekas Yon 403 di Jalan Senopati) kepada Departemen P&K, tapi sampai sekarang belum ada realsasinya. Orisinil Dari sekian lukisan yang dipajang, ternyata yang lebih banyak menggugah adalah lukisan anak-anak. Lukisan itu digarap oleh anak didik Dullah yang waktu Serangan Umum 1 Maret berumur antara 10 hingga 14 tahun. Ada 70 buah lukisan Mohammad Toha yang waktu itu berumur 10 tahun. Toha kini sudah menjadi SH. Lalu pelukis cilik Mohammad Affandi yang kala itu berumur 12 tahun, yang kini doktorandus dan dosen di FKSS IKIP Yogya. Ada lagi Supono, 13 tahun, Sri Suwarno, 14 tahun, Sarjito, 14 tahun, D. Winarto, 13 tahun. Anak didik Dullah waktu itu berjumlah sekitar 50 orang. Lukisan anak-anak itu terbuat dari cat minyak di kertas ukuran kecil-kecil. Tak lebih dari 7 x 10« cm. Tapi punya arti yang amat besar. Menurut Dullah waktu itu mereka melukis sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan Belanda. Maka itu lukisannya kecil. "Ada seorang anak didik saya," ujar Dullah, "yang namanya Sarjito, ditangkap Belanda, dikirim ke penjara anak-anak di Tangerang dan diputuskan hukuman 7 tahun penjara" .... "Lukisan anak-anak itu sungguh membuat saya jadi iri dan ngiler," begitu komentar Affandi. "Orisinil, dan dibuat pada waktu peristiwa terjadi. Tidak terbayang di pikiran saya bahwa anak-anak umur sekian berani melempar bom tanpa memikirkan mati. Yang mereka pikirkan adalah cita-cita kemerdekaan," kata Affandi terus memuji. Ia memberikan penjelasan, bahwa melukis kapal terbang itu biasa. Tapi menjadi tidak biasa karena melukis kapal terbang yang sedang beraksi. Ia pun takjub bagaimana anak-anak itu bisa melukis mobil yang sedang dibakar hangus. "Kalau boleh, saya akan mengambil lukisan anak-anak itu," ucap Jenderal Widodo. Tapi tidak boleh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus