TEATER Keliling pimpinan Derry S. belakangan ini menarik
perhatian, karena usahanya bermain sampai tembus ke Malaysia,
Singapura dan Muanghai. Grup yang didirikan pada tanggal 13
Pebruari 1974 ini, disutradarai oleh Rudolf Puspa dengan memakai
pemain-pemain yang bergantiganti. Salah satu dari sedikit
anggotanya yang sejak semula bertahan hingga sekarang adalah
Mayawati Direja. Gadis ini mula-mula dikenal di TIM lewat
pementasan Umar Machdam dari Bogor.
Derry maupun Rudolf Puspa, keduanya bekas anggota Teater Kecil.
Mereka mengkhususkan dirinya menyelenggarakan pementasan ke
daerah-daerah dengan naskah-naskah seperti Mega-Mega,
Kapai-Kapai atau Adul. Taktik manajemennya lihai, sehingga
sejak didirikan sampai sekarang mereka sudah menjelajahi 250
buah kota dengan 400 kali pementasan. Kesemparan yang demikian
bisa bikin iri grup-grup yang lain. Tetapi semuanya itu tentu
saja melalui penanganan yang getol, tekun dan pantang menyerah.
Teater Keliling memiliki sebuah Sanggar di Bogor. Di sanalah
mereka beristirahat menyiapkan diri, setiap hali hendak
menjalani perjalanan yang baru. Tanggal 26 Januari yang lalu,
mereka main di Istana Negara untuk menghibur karyawan Istana dan
Sekretariat Negara dengan cerita Orang Kasar (Anton Chekov). Dan
untuk pertama kalinya mereka tampil di Teater Tertutup TIM
tanggal 7, 8 dan 9 bulan ini. Naskah yang dibawakan berjudul
Jing-Jong dan Wayang. Keduaduanya ditulis dan disutradarai oleh
Rudolf sendiri.
Baik Jing-Jong maupun Wayang tehnik pementasannya masih ditandai
dengan sisa-sisa pengalaman Rudolf di Teater Kecil. Cara
penyusunan level, kostum, bloking, bahkan akting pemainnya,
sangat mengingatkan stilisasi permainan yang dikerjakan oleh
Teater Kecil. Hanya saja Teater Keliling tidak memiliki api,
sebagaimana api yang mendorong seorang Anfin, itu pimpinan
Teater Kecil, yang mengendap dan membuat pementasan jadi
berarti. Teater Keliling juga menghadapi naskah yang sedemikian
rupa keadaannya, sehingga lebih merupakan beban semata-mata.
Jing-Jong didukung oleh Mayawati Direja dan Dahri Uhun Nasution.
Kecuali bahwa kedua pemain ini telah berusaha bicara dengan
jelas dan berhasil tidak ngotot, selebihnya kita hanya dapat
meraba-raba apa sebenarnya yang dikehendaki oleh lakon ini.
Tidak menarik, tidak intens, lakon ini sibuk dengan
persoalan-persoalan dan pernyataan-pernyataan pribadi yang belum
diolah apalagi diendapkan.
Wayang lebih atraktif. Terapi ia sibuk sendiri. Misalnya dengan
ucapan langsun dari pengarang untuk penonton, yang meragukan
soal kritik drama yang ada sekarang. Ada juga usaha untuk
bermain-main dengan "ilmu peran," karena narator dan pemain,
kadangkala ditumpuk jadi satu. Misalnya seorang pemain
mengabarkan dulu apa yang akan dikerjakannya, kemudian baru
dilaksanakan. Ini lucu dan cukup menarik, tetapi kalau
berlangsung sampai dua jam tanpa ada demensi yang hendak
dikejar, akhirnya hanya menjadi semacam keasyikan diri sendiri.
Di sini sebenarnya penonton tidak dibutuhkan.
Teater Keliling kemudian lebih terasa sebagai usaha untuk
menghibur tanpa memikirkan mutu ekspresi. Kadangkala ia terasa
menggampangkan soal dengan kepura-puraannya yang sangat kentara.
Tidak ada toralitas, tidak ada kesegaran. Bahkan bila tontonan
ini dibandingkan dengan pertunjukan pada Festival Teater Remaja
beberapa waktu yang lalu.
Dari produksi Teater Keliling yang di TIM ini, tak banyak yang
bisa dicatat. Kurang jelas apakah pementasan-pementasan yang
dibawa berkeliling juga tidak jauh dari ini mutunya.
Mudah-mudahan lebih baik. Di daerah, mereka tentu saja lidak
hanya dianggap hiburan, tetapi juga bandingan mutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini