NARTOSABDO tancep kayon. Gunungan telah dibalik, ditusukkan ke pohon pisang, agak miring. Kali ini bukan dalang kelahiran Desa Wedi, Klaten, Jawa Tengah, itu yang menutup pertunjukan wayangnya. Tapi Yang Di Atas telah menutup riwayat Ki Dalang, Senin pagi pekan ini, sekitar pukul 07.45, di rumahnya di Jalan Anggrek, Semarang, dalam usia 60 - lantaran berbagai penyakit yang setidaknya telah diidapnya lima tahun terakhir ini: darah tinggi, ginjal, dan penyakit gula. Ia, yang ketika muda bernama Parto Tanoyo, memang orang yang tak bisa menganggur. Pada mulanya ia belajar tari, karawitan, dan ikut main dalam wayang orang dan ketoprak. Lalu pada usia 21, pada tahun 1946, menciptakan gending pertama kalinya. Tak ada sambutan ciptaannya lenyap ditelan angin. Baru gending yang dibuatnya di tahun 1953, ketika ia jatuh cinta, jadi populer hingga sekarang. Swara Suling, nama gending itu. Di tahun itu pulalah ia menikah dengan Tumini, bakul beras dari Madiun, Jawa Timur, ketika ia keliling ke kota-kota main ketoprak. Tumini memberinya satu-satunya anak lelaki yang kini duduk di Jurusan Teknik Sipil Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang. Dunia pedalangan baru diterjuninya pada 1958. Gurunya buku dan pengalaman, katanya suatu saat. Dan ternyata dengan menjadi dalang namanya cepat populer. Ia memang punya modal kuat: suaranya yang bervibrasi tak mudah pecah, hingga apa pun yang diucapkan terdengar jelas. Bakat ini membuat Parto cepat menguasai dialog tiap tokoh wayang. Dan pada gilirannya Nartosabdo, demikian ia mengubah namanya agar lebih meyakinkan sebagai dalang, sangat terampil memunculkan sanggit, watak seorang tokoh wayang dalam situasi tertentu. Sebuah contoh adalah rekaman kaset Nartosabdo dalam cerita Salyo Gugur. Dialog antara Prabu Salyo, yang siap berangkat ke Kurusetra, dan Setyowati, istrinya, benar-benar menampilkan karakter sang kesatria. Salyo, yang memang punya bakat sombong, menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya. Ia tertawa, mencemoohkan keponakan-keponakannya yang bakal jadi lawan tandingnya di medan laga. Ia meyakinkan Setyowati bahwa kesaktiannya tanpa tanding. Sementara itu, lewat suara angin, Salyo tahu ia telah sampai pada janjinya. Utang nyawa kepada mertuanya kini saatnya harus dibayar. Kesedihan Setyowati memang terhibur untuk sementara, sampai ia mencium bau wangi darah, sampai firasat mengelus dadanya, mengisyaratkan bahwa sesuatu telah terjadi pada diri suaminya. Untuk semua itu, Nartosabdo begitu tangkas dan terampil membawakan perubahan-perubahan suasana. Di segi lain, bila Narto begitu luas penggemarnya, tak lain karena ia piawai membawakan humor-humornya di saat adegan goro-goro. Kantuk penonton di tengah malam itu selalu segera terusir dengan banyolannya yang tak jarang sedikit saru. Kepintaran melawak sesungguhnya telah lama dilatihnya. Di wayang orang Ngesti Pandowo, Semarang, ia selalu berperan sebagai Petruk, panakawan yang selalu diharapkan bukan saja menghibur para kesatria, tapi terutama penonton. Di tahun 1950-an, wayang orang ini mendapat pengunjung terutama memang karena Petruknya - bukan cuma banyolannya, tapi juga berbagai kreasinya. Narto banyak menyumbangkan ide bagi Ngesti Pandowo. Antara lain: bagaimana menyajikan adegan terbang, adegan menghilang, atau adegan berubah wujud. Tapi itulah. Entah karena mengejar kepopuleran, entah karena terlena dengan sanjung puji penonton, sering kali dalang terkaya di Jawa Tengah ini berpanjang-panjang dengan goro-goro. Akhirnya, cerita pokok di ringkasnya, jadi gampang. Tak cuma itu. Gending-gending ciptaannya - ratusan buah - oleh beberapa pengamat dinilai lebih bermutu hiburan. Tapi, mungkin, diam-diam Narto menghimpun semua kritik itu. Ia pernah mengatakan, suara kritik selalu ia simpan di bejana emas, dan pujian cukup dimasukkan ke kantung plastik. Menjelang akhir hayatnya, Narto, menurut anak lelakinya, menggubah Serat Wedhotomo karya Mangkunegoro IV menjadi gending. Tentunya ini karya yang serius. Sesungguhnya sudah lima tahun yang lalu dokter menganjurkan dalang yang populer dari Sabang hingga Merauke ini membatasi kegiatannya. Tapi Narto tetap mendalang, tetap semalam suntuk. Terakhir ia membawakan lakon Mbangun Taman Maerakaca di Semarang, malam satu Suro (16 September) lalu. Dan itulah, memang, yang penghabisan. Beberapa hari kemudian ia masuk rumah sakit, dua minggu lamanya. Kemudian tancep kayon. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini