Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAHAI Maestro, di abad ini, Anda dikenal sebagai inventor, perupa, pematung, ilmuwan, pelukis, arsitek, humanis, ahli matematika, insinyur, dan banyak sebutan lainnya. Tapi sebenarnya bagaimana Anda menyebut diri Anda sendiri?" seorang lelaki bersetelan jas masa kini (diperankan Jacopo Rampini) bertanya dalam bahasa Inggris.
Di hadapannya, duduk seorang lelaki tua bertunik hitam dengan rambut, kumis, dan janggut panjang yang mulai beruban. Dia mengenakan semacam topi tudor bonnet di kepalanya. Lelaki itu Leonardo da Vinci (Massimiliano Finazzer Flory), tokoh jenius dari abad ke-15. Da Vinci menjawab dalam bahasa Italia. Terjemahan jawaban Da Vinci dalam bahasa Inggris tertulis di layar hitam di belakang para aktor.
Da Vinci menjawab bahwa dia menganggap dirinya sebagai inventor dan pelukis. Tapi dia lebih suka melukis. Sebab, dari melukis, karier keilmuannya bermula. "Inventing menyenangkan, tapi menginvestigasi tubuh manusia dan melukis adalah hal-hal yang saya sukai," kata Da Vinci.
Di auditorium Institut Français d'Indonésie, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, Istituto Italiano di Cultura menampilkan pertunjukan Being Leonardo da Vinci: An Impossible Interview. Selama 70 menit, Massimiliano Finazzer Flory menghadirkan tokoh Italia dari abad Renaisans itu di zaman modern ini. Da Vinci hadir bukan hanya lewat kostum pada periode itu dan rekonstruksi wajah, tapi lewat bahasa lisan dan bahasa tubuh Flory, yang juga menyutradarai dan menulis naskah pertunjukan ini.
Selama pentas, Flory menggunakan riasan wajah yang tebal agar mirip secara fisik dengan sang maestro. Dia juga mempelajari karakter, psikologi, dan bahasa tubuh Da Vinci. "Bagi saya, gerak tubuh Da Vinci yang khas adalah posturnya yang sedikit bungkuk dan gerak jarinya saat bertutur," ujar Flory.
Tapi, "Yang paling sulit adalah mempelajari bahasa lisan. Sebab, bahasa Italia Renaisans berbeda dengan bahasa Italia modern." Untuk menyiasatinya, Flory menggunakan bahasa Italia modern dengan dialek Renaisans.
DI panggung itu, Leonardo da Vinci dan pewawancara duduk berhadapan. Repro karya Da Vinci yang paling terkenal, Mona Lisa, ditampilkan di sisi kanan panggung. Sedangkan di sisi kanan, repro lukisan Da Vinci yang lain, Lady with an Ermine, dipajang. Lukisan seorang perempuan dengan cerpelai itu yang pertama kali dibahas si pewawancara. Da Vinci menjelaskan filosofinya tentang lukisan itu, bahwa cerpelai lebih suka ditangkap oleh pemburu ketimbang berlindung di sarang kotor.
Ada 67 pertanyaan yang dilayangkan pewawancara kepada Da Vinci. Dari hubungan lukisan dan ilmu pengetahuan; perbedaan seni lukis, seni patung, dan seni musik; sampai tentang alam yang menjadi sumber inspirasi Da Vinci. Hal yang menarik adalah ketika pewawancara menghubungkan teknologi 3D masa kini dengan buku On Divine Proportion yang ilustrasinya dibuat oleh Da Vinci. Sebab, buku tahun 1509 itu merangkum teknik gambar perspektif tiga dimensi dalam lukisan. Atau ketika media sosial dihubungkan dengan filosofi komunikasi Da Vinci.
Pada beberapa pertanyaan, lampu sorot panggung berubah warna, musik menyayat diputar, dan layar di belakang para aktor juga berubah. Misalnya, pada saat membahas lukisan St. Jerome in the Wilderness, karya yang dilukis pada periode tersulit dalam hidup Da Vinci, layar menampilkan karya sang maestro. Lalu musik menyayat hati dimainkan saat peta benteng Kota Imola yang digambar Da Vinci untuk Cesare Borgia--salah satu anggota keluarga paling berkuasa di Italia, ahli strategi militer dan perang--dibahas.
Lalu ada Vitruvian Man, gambar proporsi manusia sempurna yang dikembangkan dari karya arsitek Vitruvius. Da Vinci berbicara tentang anatomi dan jiwa. Kemudian tentang The Last Supper, lukisan Da Vinci yang paling sering direproduksi. Da Vinci menjelaskan bahwa dia tak makan dan tidur selama empat hari ketika melukis mural fresco sebesar 460 x 880 sentimeter itu. Di atas panggung, Da Vinci menerangkan filosofi gerak para murid Yesus. Sesungguhnya lukisan itu menampilkan sekuens gerak satu orang.
Mona Lisa menjadi karya terakhir Da Vinci yang dibahas dalam wawancara itu. Namun, alih-alih menjelaskan siapa model Mona Lisa, apa rahasia di balik senyumnya yang ganjil, atau teknik sfumato di matanya, Da Vinci hanya berbisik kepada si pewawancara. Mona Lisa tetaplah sebuah rahasia.
Pertunjukan ini bermula lewat ide Massimiliano Finazzer Flory yang terpukau oleh pemikiran Da Vinci. "Saya hanya membayangkan, jika kita bisa mewawancarai Leonardo da Vinci saat ini, pertanyaan apa yang akan kita ajukan. Apa yang akan dia jawab." Flory membaca banyak buku tentang Da Vinci sebelum menulis naskah teater wawancara mustahil antarwaktu itu. "Saya mulai menulis jawaban-jawaban, mengumpulkan intisari pemikiran Da Vinci, sebelum menulis pertanyaannya," kata Flory.
Pertunjukan ini pertama kali dipentaskan di London pada 2012 dalam rangkaian pameran "Leonardo da Vinci Pelukis Milan". Karya ini juga dipentaskan selama Milan Expo pada 2015. Hingga saat ini, pertunjukan ini telah dipentaskan hampir di berbagai penjuru bumi; Morgan Library di New York, Kennedy Center di Washington, dan American Conservatory Theater di San Francisco (ketiganya di Amerika Serikat); Hermitage Theater di St. Petersburg (Rusia); Petit Palais di Paris (Prancis); serta Globe at CERN di Jenewa (Swiss). Flory melanjutkan tur pertunjukan ini hingga 2019.
Di Jakarta, problem teknis sempat terjadi pada awal pementasan. Voice amplifier yang digunakan para aktor tak berfungsi dengan baik. Massimiliano Finazzer Flory dan Jacopo Rampini sempat melepas alat itu dan mementaskan pertunjukan tanpa bantuan peralatan modern. Namun suara mereka tak terdengar. Rampini memberikan kode kepada teknisi.
"Maestro, apa pendapat Anda tentang microphone?" Rampini memberikan penekanan pada kata "microphone". Da Vinci pun sempat berimprovisasi. Tak lama kemudian, para teknisi memberikan wireless microphone kepada kedua aktor. Problem lain ada pada beberapa adegan yang membuat penonton yang memahami bahasa Italia tertawa mendengar jawaban Da Vinci, sementara tidak ada kalimat humoris di layar terjemahan berbahasa Inggris. Terasa ada yang hilang dalam penerjemahan.
Amandra M. Megarani
Da Vinci menjawab bahwa dia menganggap dirinya sebagai inventor dan pelukis.
Tapi dia lebih suka melukis. Sebab, dari melukis, karier keilmuannya bermula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo