Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyi Sunyi Anak Kandung Revolusi

Kisah penyair Amir Hamzah yang melankolis. Suasananya relevan dengan kondisi kekinian.

9 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukman Sardi sebagai Amir Hamzah dalam pementasan Nyanyi Sunyi Revolusi di Gedung Kesenian Jakarta, 1 Februari lalu. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitulah Tengku Tahura melukiskan kesunyian yang mendera ibunya, Tengku Kamaliah, dengan puisi yang ditulis ayahnya, Amir Hamzah. Sajak berjudul Nyanyi Sunyi itu menikam relung hatinya yang paling dalam. Sunyi itu jualah yang mendera Tengku Kamaliah hingga ajalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahura (Prisia Nasution) senantiasa berusaha menghibur ibunya, Tengku Kamaliah (Desi Susanti). Hari-hari perempuan putra Sultan Langkat itu terasa sepi sepeninggal sang suami, Amir Hamzah. Pada hari-hari tuanya, menjelang pikun, ia masih melihat Amir Hamzah duduk di bangku.

Ia menampik suaminya telah tewas. "Kerangka di Kuala Begumit bukan ayahmu," ujar Tengku Kamaliah meradang. Ia juga menolak menandatangani sebuah surat tentang kematian suaminya. Tahura hanya berusaha menenangkan ibunya.

Adegan Tahura dan Kamaliah itu mewarnai panggung yang menebarkan suasana layu, kematian, dan liris dalam kisah Nyanyi Sunyi Revolusi. Pementasan teater tentang sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah, itu digelar oleh Titimangsa Foundation di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 2-3 Februari 2019. Naskah ini ditulis oleh Ahda Imran dan disutradarai Iswadi Pratama.

Tengku Amir Hamzah lahir di Langkat, Sumatera Utara, pada 11 Februari 1911 dan meninggal di Binjai pada 20 Maret 1946. Ayahnya, Tengku Haji Moehamaad Adil, adalah saudara Sultan Machmud, Sultan Langkat. Ia bersekolah dasar di Langkatsche School, HIS Tanjung Pura; lalu meneruskan ke MULO di Medan; Christelijke MULO "Manjangan" di Jakarta; dan AMS di Solo Jurusan Sastra. Dia lalu melanjutkan sekolah hukum di Jakarta.

Saat di Solo itulah ia jatuh cinta kepada teman sekolahnya, Ilik Soendari. Tapi cinta mereka buyar ketika Amir dipanggil pulang oleh pamannya, Sultan Langkat, untuk dinikahkan dengan putrinya. Sang paman gerah oleh aktivitas Amir di dunia pergerakan yang dianggap bisa membahayakan hubungan Kesultanan dengan Belanda. Amir tidak bisa menolak karena, sejak ayah dan ibunya tiada, biaya sekolahnya ditanggung sang paman.

Pentas dimulai dengan adegan Amir Hamzah waktu kecil (diperankan Ridho Ramanda) yang berlatih silat bersama patik dan guru, Mandor Yang Wijaya alias Ijang. Lalu di panggung diperlihatkanlah sesosok perempuan yang kesepian, mengingat sang suami. Seorang istri yang besar cintanya kepada sang suami, meski lelakinya itu memberikan cinta terbesarnya kepada perempuan bernama Ilik Soendari. Dialah Tengku Kamaliah.

Di matanya, Amir lelaki lembut yang penuh kasih sayang, murah hati, serta sangat mencintai Tanah Air dan rakyatnya. "Sering aku disuruh memasak lebih banyak ketika ada yang datang dan memberikan bekal untuk mereka ketika pulang," ujar Tengku Kamaliah mengenang. Ia pun dipesan untuk tidak mendendam dan memaafkan mereka yang salah.

Iswadi menyodorkan pula kegelisahan Kamaliah tentang situasi politik yang tak keruan. Desas-desus dan kebencian menyebar. Amir Hamzah (diperankan Lukman Sardi) pun khawatir meski berusaha menenangkan istrinya. Namun ia tak yakin rakyat pun akan menyasarnya. "Untuk apa takut kalau tidak melakukannya," ujar Amir Hamzah ketika ia diminta mengungsi.

Amir saat itu menjabat Bupati Binjai, wakil resmi pemerintah Indonesia, yang dipandang sebagai bagian kaum bangsawan yang mendukung Belanda dan hidup bergelimang harta. Kerusuhan sosial meletus. Istana diserbu. Amir ditangkap sekelompok orang. Kematian pun seperti berada di depan mata. Dengan berdiri menengadah dalam panggung yang remang, Amir menyeru,"Wahai maut, datanglah engkau//Lepaskan aku dari nestapa//Padamu lagi tempatku berpaut//Di saat ini gelap gulita," (petikan sajak: Padamu Jua).

Pada hari ke-13 setelah penangkapan itu, ia digiring ke sebuah perkebunan di Kwala Begumit, Binjai. Sebelum tewas, ia minta dibukakan penutup muka untuk melihat sang algojo, yang tak lain adalah guru silatnya, Ijang. Ia rela dan memaafkan Ijang. Hal itu yang kemudian, setelah pembunuhan tersebut, membuat Ijang menangis penuh sesal. Adegan pembantaian yang liris dan menyentuh. Seliris butir-butir hujan mengguyur tubuh Tengku Kamaliah di makam sang suami.

Iswadi menghadirkan kisah Amir Hamzah dalam alur maju-mundur, sesekali dengan monolog si tokoh. Dari Kamaliah yang menua dalam sunyi dan bersalah, hingga sosok Amir Hamzah yang aktif di pergerakan dan percintaan sang penyair dengan Ilik Soendari (Sri Qadariatin). Adegan romannya diperlihatkan dengan mengulang dialog Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dari novel Marah Roesli, Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. "Adegan ini saya pakai untuk menekankan pada kisah cinta Amir dan Ilik. Karena mereka pernah mementaskan itu."

Suasana panggung dibuat muram. Iswadi menebar daun-daun kering sebagai simbol menuju kematian. Untuk menebalkan suasana Kesultanan Langkat, para pemain dilatih berdialog dalam logat Langkat yang agak cadel dan sangat Melayu. Iswadi pun menghadirkan sosok penyair yang berusaha menjembatani dua situasi, menyeiringkan dua hal yang bertolak belakang. Sosok yang berkelindan dalam ambiguitas dan kegundahan, anak korban revolusi.

Ahda Imran, yang menulis naskah, mengaku kisah Amir Hamzah dengan segala kontroversinya ini menantangnya. Kisah hidupnya kompleks dan situasi kala itu cukup relevan dengan situasi saat ini yang penuh kebencian dan hoaks. Untuk menggali sosok Amir Hamzah, ia bertolak dari beberapa buku dan sumber lain sebagai referensi, seperti buku Nh. Dini berjudul Pangeran dari Seberang, laporan majalah Tempo tentang Amir Hamzah, dan buku-buku puisi Amir Hamzah.

Untuk memperkuat suasana, Ahda, yang sebelumnya menulis naskah pentas Sjahrir, Tan Malaka, Inggit, dan Chairil Anwar, mencuplik beberapa puisi Sang Pujangga dalam naskah tersebut. Selain dua puisi di atas, ada pula puisi berjudul Buah Rindu. l

Baik-baik adindaku tinggal
aduhai kekasih emas tempawan
kasih kanda demi Allah kekal
kepada tuan emas rayuan

DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus