Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA semilir angin tenggelam begitu Chris Berry mendentingkan mbira, sejenis thumb piano asal Afrika. Riuh suara penonton yang sedang mencari posisi aman di panggung terapung dan di atas perahu tradisional katinting juga teredam oleh alunan musik Chris Berry, yang diiringi permainan harpa Dave Hoover serta petikan gitar Winosa Berry. Perhatian penonton tertuju pada penampilan musikus asal Amerika Serikat itu di atas panggung laut Togean International Oceanic Festival 2018 di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, pertengahan Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suguhan musik Chris Berry dan kedua rekannya itu memang masih asing di telinga para penonton yang sebagian besar berasal dari suku Bajo tersebut. Namun, begitu Berry mengulang bagian refrain, "Ooo, Togean, Togean. So beautiful Togean. It’s so beautiful Togean. It’s so beautiful, make me beautiful too," para penonton langsung antusias menyambut dengan mengikuti suara pemenang Grammy Awards kategori World Music itu. "Meski hanya kata ’Bajo’ dan ’Togean’ yang berhasil mereka lafalkan, genre world music, termasuk dangdut dan reggae, yang sedang ngetren di dunia saat ini, membuat mereka antusias," ujar Franki Raden, Direktur Togean International Oceanic Festival.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kata itu sebetulnya bukan petikan lirik asli lagu berjudul Beautiful As You Are yang dibawakan Berry. Berry berimprovisasi untuk mendekatkan diri dengan penonton yang bisa dibilang jauh dari perkembangan musik dunia itu. Trik tersebut ternyata cukup jitu. Selama sekitar 38 menit penampilannya, tak ada penonton yang beranjakbaik yang berada di atas katinting maupun di tepi jembatan antarpulau Papan-Malenge yang menjadi panggung utama festival.
Padahal Berry juga acap menyisipkan kata berbahasa Afrika atau Hawaii, Amerika Serikat, dalam lagunya. Misalnya dalam lagu ketiganya, yang berjudul Song of the Siren. Lagu berbahasa Afrika itu terinspirasi legenda lokal Afrika mengenai ikan-ikan yang hidup mengelilingi putri duyung. Penyanyi kelahiran California, Amerika Serikat, itu sempat merantau ke Afrika Selatan untuk mempelajari mbira dan drum ngoma dari suku Shona.
Adapun melalui lagu E Pele, Berry ingin berbagi kenangan saat Gunung Kilauea di Hawaii meletus dan melumat permukiman setempat, termasuk kediamannya, awal Mei lalu.?Pele atau Tutu Pele adalah dewi api dan gunung api dalam kepercayaan lokal Hawaii. Meski berbalut kesedihan, lagu itu dikemas dalam optimisme ritme reggae. Dia mengganti dentingan mbira dengan tabuhan djembe. Berry juga menggandeng dua musikus jazz dari Jakarta: pemain bas Donny Sunjoyo dan penyanyi Amelia Ong. Donny dan Amelia juga tampil bersama INO Ensemble pada hari ketiga festival.
Tema alam juga menjadi pilihan Ivan Nestorman, yang tampil setelah INO Ensemble. Musikus beraliran "neotradisi" itu menyegarkan Togean dengan Sa Ngai, lagu ritual memanggil angin. Lirik Sa Ngai, yang berarti angin dalam bahasa Lembata, ditulis Bapak Tua Ivan. "Kita memanggil angin sa ngai, sa ngai, sehingga angin bisa membawa kita ke tengah lautan untuk mencari kehidupan," ucap Ivan. Dari Lembata, Ivan membawa penonton ke tanah kelahirannya di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, melalui Gego Lau Gego Le. Lagu bernuansa reggae itu mengisahkan kebahagiaan saat musim panen.
Namun Ivan hanya bisa menampilkan tiga lagu karena langit Togean sore itu mulai gelap. Panggung yang dibangun di tengah jembatan penghubung Pulau Papan dengan Pulau Malenge itu memang didesain untuk pertunjukan pada siang hari. Tak ada alat penerangan yang dipasang. Saat malam tiba, jembatan kayu yang meliuk sepanjang 1 kilometer itu tertelan gelap.
Bisa dibilang upaya Franki Raden mewujudkan panggung laut itu tak mudah. Apalagi sinyal komunikasi terbatas dan transportasi minim. Keamanan teknologi suku Bajo yang diaplikasikan pada empat venue terapung bagi penonton pun sempat diragukan. Untungnya, hingga penampilan Ivan Nestorman berakhir, tidak ada panggung penonton yang tenggelam. Beberapa penonton malah asyik snorkeling. Mereka bisa menikmati keindahan bawah laut Togean dan penampilan Chris Berry serta Ivan di panggung yang terpaut sekitar 2 meter dari permukaan laut sekaligus. "Panggung saya memberi aksentuasi pada jembatan itu. Itu tujuannya," ujar Franki.
Saat malam, pertunjukan musik dan budaya berpusat di panggung pantai di Desa Kadoda, Pulau Malenge. Di panggung beraksen bambu itu, musikus Nita Artsen dan NonaRia menghibur penonton dengan alunan musik ceria. Permainan musik lokal, seperti gambus suku Bajo dan karambangan Poso, juga meramaikan festival. Kehadiran kelompok musik lokal itu justru menjadi magnet bagi warga Togean, yang rela malam-malam berperahu ke pelataran Pondok Lestari Cottage. Dalam harmonisasi kearifan lokal, penduduk dan wisatawan lebur dalam lingkaran besar dero, dansa massal ala masyarakat Danau Poso.
Nita Dian
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo