Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUTAN Sjahrir sudah kuyu. Ia berjalan dengan kaki terseret. Tangan kanannya lumpuh. Bibirnya mencong saat berbicara. Ia berupaya keras menulis di atas selembar kertas, hendak menuliskan namanya sendiri. Hanya coretan tak jelas yang bisa ia buat. "Kata dokter, tekanan darahku yang menyebabkan aku begini," ujar Sjahrir pelan, sedih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu adalah Sjahrir yang sedikit lagi sampai pada ujung perjalanan hidupnya. Sjahrir meninggal di Zurich, Swiss, pada 1966 karena stroke, statusnya masih sebagai tawanan politik. Sebelumnya, ia dipenjara di Madiun, Jawa Timur, pada 1962 atas tuduhan makar. Dalam pementasan Monolog Sutan Sjahrir pada Ahad malam, 19 Agustus lalu, di Teater Salihara, Jakarta Selatan, kita sebagian besar melihat Sjahrir pada periode tahanan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjahrir yang diperankan aktor Rendra Bagus Pamungkas pada awalnya masuk panggung dalam sosok yang tegap. Lagu Kota Bandung yang dinyanyikan Miss Tarminah menghantar kemunculannya. Sjahrir masih muda dan berapi-api. Rambutnya tersisir klimis, lengan kemeja putihnya digulung hingga siku. Sjahrir ini adalah Sjahrir yang mendebat Sukarno dan Hatta dengan cergas saat mendiskusikan proklamasi kemerdekaan.
Rendra dengan mulus memerankan tiga tokoh itu sekaligus. Ia cermat menangkap gestur khas tiap tokoh sehingga kita dengan mudah mengenali saat ia berperan sebagai Hatta yang santun, Sukarno yang diplomatis, atau Sjahrir muda yang meletup-letup tanpa perlu berganti kostum.
Selanjutnya, panggung adalah milik Sjahrir sendiri. Meski sebagian besar pentas adalah lontaran pemikiran Sjahrir, tak lantas monolog ini menjadi oratorik. Beberapa kutipan Sjahrir disampaikan Rendra dengan menggugah. "Apa tujuan politik sebenarnya? Politik adalah untuk kebahagiaan bersama," kata Sjahrir.
Berbagai pandangan politiknya dilontarkan sembari ia mondar-mandir dalam ruangan yang dikungkung dua jendela besar berterali besi. Ruangan itu sendiri tak tampak seperti penjara. Ada dua kursi rotan dengan meja kopi bundar.
Di sisi lain adalah semacam ruang kerja Sjahrir. Sebuah meja penuh tumpukan buku dan sebuah gelas blirik. Mantel dan syal tergantung di dinding di belakang meja. Memang, selama di penjara Madiun, Sjahrir diperlakukan dengan cukup baik. Ia hanya mengeluh tak dapat mengikuti perkembangan di luar penjara dengan leluasa, cuma bisa melalui radio yang juga terdapat dalam ruangan itu. Sesekali Sjahrir mendekati jendela, lalu menatap keluar. Ia juga banyak mengenang kehidupannya yang lalu.
Sjahrir ditahan di Madiun selama setahun sebelum dibawa berpindah-pindah di Jakarta karena penyakit stroke yang dideritanya. "Masa tahanan di Madiun adalah periode paling samar dalam hidup Sjahrir, tak banyak catatannya," ujar sutradara Rukman Rosadi.
Rukman memanfaatkan kesamaran ini dengan leluasa menggali konflik pikiran Sjahrir pada masa itu. Bersama penulis naskah Ahda Imran, Rukman menyusun narasi yang menonjolkan sisi kemanusiaan Sjahrir. Semua tentu tahu bahwa Bung Kecil unggul dalam hal diplomasi. Dalam pentas ini, kita melihat pula Sjahrir yang rada iseng dan humoris. Rendra menampilkan sisi Sjahrir yang ini tetap dengan wajah serius, tapi dengan gaya ringan.
Ia bercerita tentang kisah cintanya. Pertama dengan Maria Johanna Duchateau, perempuan Belanda yang sudah bersuami. Mereka menikah, tapi pernikahan itu dianggap tak sah. Lalu Sjahrir berpaling kepada Siti Wahjunah Saleh atau Poppy, sekretarisnya, yang menjadi istri Sjahrir hingga ia meninggal.
Suatu ketika, Sjahrir bertemu kembali dengan Maria saat berkunjung ke India. Jawaharlal Nehru menyiapkan Maria sebagai kejutan untuk Sjahrir. Bung Kecil berdebar, tapi ia hanya menyapa Maria dengan singkat. "Apa boleh buat, Poppy juga ada dalam rombongan," kata Sjahrir dengan lirikan kentara yang memancing tawa.
Penulis naskah Ahda Imran pernah membuat format serupa lewat monolog Tan Malaka dua tahun lalu. Saat itu, Ahda membuat pemikiran Tan Malaka tetap aktual di masa sekarang. Begitu pula kali ini. Sjahrir gelisah akan masalah-masalah yang membelit bangsa, yang terus terjadi hingga sekarang. "Aku mencintai bangsa ini karena bangsa ini selalu menderita," ujar Sjahrir.
Moyang Kasih Dewimerdeka
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo