Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Christianto Wibisono, yang ikut mendirikan majalah Tempo, wafat pada Kamis, 22 Juli lalu.
Christianto menjadi korban setidaknya tiga krisis nasional, dari krisis 1965, 1998, dan krisis pandemi Covid-19.
MENGENANG Christianto Wibisono sejauh yang saya kenal, saya perlu menerawang lagi kiprahnya pada akhir 1980-an dan pada 1990-an. Ketika itu saya aktif menulis dan melakukan banyak dialog publik secara nasional dan sesekali bertemu dengan Mas CW—demikian sapaan akrabnya—dalam forum diskusi bersama. Saat itu nama CW dikenal luas sebagai pakar dan analis bidang ekonomi politik karena ulasan-ulasannya yang bernas di media massa, terutama harian Kompas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CW meneliti banyak masalah bisnis dan korporasi serta kaitannya dengan politik. Aspek lingkungan eksternal politik dari ulasan-ulasannya cukup kental. Maklum, CW memang qua akademikus lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia—dulu Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi yang menarik adalah ekonom Sjahrir dalam tulisannya, “Pakar Ekonomi, Kebijakan Ekonomi dan Ekonomi Politik” (Perempuan, Politik dan Jurnalisme: Tujuhpuluh Tahun Toety Azis, Yayasan Padi dan Kapas, 1994), memasukkan CW ke daftar 26 pakar ekonomi nasional bersama nama besar lain. Yang kini juga sudah wafat antara lain Sumitro Djojohadikusumo, Sjahrir, Sarbini Sumawinata, Suhadi Mangkusuwondo, Hadi Soesastro, Pande Raja Silalahi, Soeharsono Sagir, Dawam Rahardjo, The Kian Wie, dan Frans Seda. Di antara para pakar senior tersebut, yang masih aktif sampai sekarang antara lain Rizal Ramli, Mari Pangestu, Djisman Simandjuntak, dan Kwik Kian Gie. Sjahrir menulis bahwa para pakar ekonomi tersebut dinilai berpengaruh besar dalam diskursus nasional tentang ekonomi-politik karena banyak menulis di media massa nasional dan memberikan respons serta kritik terhadap kebijakan ekonomi.
Christianto Wibisono masuk jajaran elite 26 pakar ekonomi tersebut. Menurut Sjahrir, “Ke-26 orang ini praktis merajai pemberitaan pers cetak dan media elektronik, sebuah jumlah yang amat sedikit dibandingkan dengan luasnya pemberitaan tentang pendapat ataupun makalah yang mereka tulis. Indonesia adalah negara dengan 190 juta penduduk pada 1994. Jumlah sarjana ekonominya banyak, hingga tingkat guru besar setidak-tidaknya ribuan. Tapi praktis jika dibuat ‘content analysis’ dapat dipastikan bahwa 26 individu tersebut, ditambah penulis, amat dominan perannya dalam penerbitan berita ekonomi pada media yang diuraikan terdahulu.”
Jadi kiprah CW dalam pemikiran bersama beberapa ahli sejawatnya pada waktu itu sangat terasa dan cukup memberikan pengaruh terhadap kebijakan ekonomi. Hal ini ditegaskan dalam tulisan Sjahrir tersebut karena elite pemikir pada waktu itu terbatas yang bisa masuk ke diskursus di media massa, cetak, dan elektronik meskipun kaum terdidik begitu banyak. Tapi yang cuma hadir di kampus secara konvensional dan transisional sekadar mengajar dinilai tidak atau kurang mempunyai dampak terhadap kebijakan. Inilah yang membedakan CW dengan intelektual lain, karena dia menulis dan banyak berbicara di publik melalui media massa.
Sejatinya, CW adalah penulis dan wartawan pada masa mudanya. Pada 1971, CW adalah pemuda terdidik, cendekiawan yang ikut melahirkan majalah Tempo bersama Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, dan lain-lain. Kebiasaan dan kepiawaiannya menulis terasah sejak dia masuk dunia jurnalisme 50 tahun silam. Sebagai cendekiawan, CW tanpa henti menulis selama setengah abad sejak 1970-an.
Tidak hanya menjadi pakar ekonomi, CW juga insan aktivis yang menjadi deklarator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada masa Orde Baru bersama Arif Budiman, Goenawan Mohamad, Erros Djarot, Bambang Harymurti, Toriq Hadad, dan banyak nama lain. Tujuan AJI adalah menjaga independensi pers dan jurnalis yang pada masa itu banyak dikooptasi negara.
Sampai beberapa minggu menjelang wafatnya pada Kamis, 22 Juli lalu, saat berusia 76 tahun, CW masih menulis buku setebal 362 halaman. Judulnya: Kencan Dinasti Menteng. Saya menikmati buku ini karena dikirim langsung oleh penulisnya. Buku ini sangat menarik karena menceritakan penguasa negeri ini yang sesungguhnya bergulir dari elite ke elite, presiden dan menteri yang umumnya tinggal di wilayah strategis dan mahal, yakni kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ini metafora dan mungkin juga sindiran terhadap elitisme politik di negeri ini, suatu gambaran akan perlunya pemimpin yang lebih merakyat.
Pada masa Orde Baru, CW tidak pernah menjadi pejabat publik karena kiprah golongan Tionghoa masih terbatas di dunia politik. Ketika masuk era reformasi, CW sempat ditawari menjadi anggota kabinet pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tapi ia tidak sempat menduduki posisi ini. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, CW tetap dianggap sebagai tokoh penting dan diangkat sebagai anggota Komite Ekonomi Nasional, lembaga yang memberi saran, masukan, dan nasihat ekonomi kepada presiden. Hal itu merupakan pengakuan terhadap kecendekiawanan CW sekaligus jaringan dan kiprahnya di kalangan elite.
Saya dan Mas CW sudah lama bersahabat. Saya menempatkan diri sebagai sahabat junior. Tapi dia tidak memposisikan saya sebagai sahabat juniornya. Dalam hal riset, CW memposisikan diri bertanya untuk mendapatkan jawaban dari riset yang datanya mungkin dia ketahui saya miliki. Setiap seminggu atau dua minggu sekali kami saling mengirim pesan melalui WhatsApp. Bahkan ditambah berdiskusi di grup WhatsApp yang kami ikuti bersama.
Sewaktu CW mendirikan dan aktif menjalankan lembaga risetnya di masa Orde Baru, saya tidak bergaul langsung dengannya. Saya hanya penikmat seminar-seminar dan pemikirannya. Pada waktu itu, lembaga riset CW, Pusat Data Bisnis Indonesia, tergolong langka. Lembaga ini tidak hanya menyediakan data bisnis, tapi juga aktif menyampaikan analisis ke publik melalui seminar-seminar yang berbobot. Data bisnis itu diuraikan detail secara kuantitatif dengan analisis ekonomi-politik tentang lingkungan bisnis Indonesia yang kompleks.
Dalam pandangan saya, CW adalah tokoh nasionalis yang ada setidaknya pada tiga masa krisis nasional dan sekaligus menjadi korban krisis tersebut. Pertama, krisis pada 1965, ketika terjadi revolusi pergantian rezim yang diikuti perlakuan diskriminatif yang sensitif dan berat terhadap golongan Tionghoa di Indonesia. Isu hak asasi manusia dan pluralisme masih sangat kurang jika tidak dikatakan nihil, dan CW hidup pada zaman yang berat pada waktu itu.
Kedua, krisis pada 1998, ketika keluarga CW menjadi korban amuk kerusuhan yang menargetkan sebagian golongan Tionghoa. Karena kasus ini, CW terpaksa mengungsi dan membawa keluarganya ke Amerika Serikat. Bahkan, ketika saya berkunjung ke Amerika dan bertemu dengan CW, ia tidak bisa menyembunyikan kemuraman dan kekecewaannya yang mendalam. Dialog dan perbincangan santai bersama Profesor Ginandjar pada waktu itu berjalan sangat datar, sebagai refleksi keprihatinan terhadap keadaan CW. Meskipun demikian, CW tetap berniat kembali ke Indonesia, yang dibuktikannya kemudian sebagai wujud cinta kepada Tanah Air sesungguhnya.
Ketiga, Christianto Wibisono adalah korban krisis pandemi Covid-19 saat ini, yang menyerang siapa saja. Yang lemah dan mempunyai penyakit bawaan tentu sulit bertahan, termasuk CW. Tapi, dalam pemakamannya, saya melihat anggota keluarganya, Astrid, putrinya, tampak begitu tegar. Keluarga CW adalah keluarga yang cinta kepada Tanah Air, bangga sebagai warga negara Indonesia. Sosok CW yang nasionalis terlihat dari ketegaran keluarganya. Hal itu sudah terlihat ketika CW tidak ragu pulang ke Indonesia dari Amerika untuk kembali mengabdikan diri bagi bangsa ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo