Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA-NAMA itu tak dikenal dalam peta tari kontemporer Indonesia: Cahya Maulidian (Kendal), Thoriq (Pasuruan), Echa (Samarinda), Miftanul Jannah (Banyuwangi), kelompok Grasak Grusuk (Solo), Lidya (Ngawi), Irma Septiana (Mataram), dan masih banyak lagi. Ada 33 nama. Tidak semuanya penari. Mereka berlatar belakang beragam: guru, pelajar, psikolog, pengelola sanggar, dokter gigi, dan lain-lain. Mereka berpartisipasi dalam karya koreografer Korea Selatan, Eun Me Ahn, yang menjadi pembuka Indonesia Dance Festival (IDF) 2020. Judulnya: 1.59. Oleh Ahn, mereka masing-masing diberi waktu 1 menit 59 detik untuk mengekspresikan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita melihat tak semuanya mampu menyajikan sebuah tari dalam pengertian koreografi. Harus dimaklumi. Ada yang penampilannya hanya seperti di TikTok atau rekaman selfie di YouTube. Beberapa cara pengambilan kamera juga lemah dalam estetika. Mengapa Ahn tidak memberi mereka waktu 1, 2, atau 3 menit? Menurut Ahn, 1 menit 59 detik adalah rata-rata waktu perhatian seseorang dalam menonton satu video di platform Internet sebelum beralih ke video berikutnya. Waktu itu cukup bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaan mendalam dan membagi isu yang sangat dekat dengan diri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pementasan Li Tu Tu oleh Ayu Permata Sari dalam rangkaian acara IDF2020 (IndonesianDanceFestival) dengan tema DAYA: Cari Cara di Studio Hanafi, Depok. Tempo/Nurdiansah
Kenyataannya, saat disajikan ke publik hanya dalam 1 menit 59 detik, gagasan isu yang dekat itu banyak yang kurang jernih dan tak mudah dipahami. “Ini IDF edisi pandemi. Mengajak setiap orang dari berbagai lapisan menari bersama. Mempertahankan kejiwaan dalam menghadapi wabah. Ahn membuka karya ini seluas-luasnya bagi publik, dari umur 15 sampai 75-an tahun,” kata Maria Darmaningsih, pendiri dan pengarah IDF 2020. Eun Me Ahn semula memilih 60 peserta. Setelah melalui enam kali workshop, jumlahnya berkurang menjadi 33. Agaknya, dalam workshop, Ahn banyak memberikan pengarahan tapi membebaskan para peserta menciptakan karya tanpa keterlibatan kolaborasi darinya. Karena itu, posisi Ahn lebih tepat sebagai kurator atau instruktur, bukan pencipta karya sesungguhnya. Ia menjadi instruktur yang memberikan optimisme agar siapa saja bisa mengkreasi tari. Lihatlah bagaimana mereka menari dengan gembira dari dalam rumah sampai taman dan jalanan. “Pada IDF kali ini, tari menjadi salah satu jalan healing,” ucap Maria.
Berdasarkan konsep kuratorial semacam itu, dapatlah dipahami alasan IDF memilih kelompok Gymnastik Emporium sebagai pengisi acara. Gymnastik adalah komunitas anak muda yang mengembangkan gerak bebas berdasarkan titik tolak Senam Kesegaran Jasmani. Kita ingat, pada 1984, di zaman Orde Baru, Menteri Pemuda dan Olahraga mengeluarkan kebijakan yang mengajarkan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) secara massal kepada seluruh masyarakat. Biasanya, senam itu dilakukan masyarakat pada Jumat pagi di tempat-tempat umum. SKJ merupakan pengembangan dari Senam Pagi Indonesia, yang pada 1970-an diwajibkan bagi anak-anak sekolah. Lagu pengiring SKJ 1984, yang sangat familiar di telinga, diciptakan komponis Nortier Simanungkalit, sementara lagu SKJ 1988 diaransemen Januar Ishak.
Hari Ghulur dengan koreografi bertajuk Sila. Dok. IDF
Gymnastik Emporium menampilkan karya SKJ (Senam Keragaman Jasmani) 2020 bersama para guru olahraga. Setiap penampil menceritakan ingatannya akan senam di zaman Orde Baru itu, kemudian menciptakan gerakan sendiri-sendiri berdasarkan pola senam tersebut. Ada yang bercerita bagaimana di era itu dia mengikuti kompetisi seniman. Ada juga yang (agak berlebihan) menyatakan baru sadar akhir-akhir ini bahwa senam di masa Orde Baru tersebut merupakan bagian dari politik tubuh negara, bagaimana melalui senam tubuh masyarakat dicetak menjadi tubuh negara. Melalui gerakan massal senam itu pula mereka ingat bahwa ada wacana bersih lingkungan atau perlakuan diskriminasi terhadap senam-senam impor, seperti waitankung dan taici. Tentu saja pernyataan yang bernada “Foucaultian” ini harus dicermati. Sebab, toh nyatanya kelompok ataupun paguyuban meditasi, baik Buddhis maupun Jawa, saat itu tumbuh subur.
Yang tepat untuk mengisi adalah Hari Ghulur, koreografer asal Madura, Jawa Timur. Ghulur dikenal sering menampilkan koreografi dengan teknik tubuh rendah, dekat dengan lantai. Di Salihara, Jakarta, (kemudian di Brussels, Belgia) ia pernah menari dengan menggulung-gulungkan diri dan menjatuhkan tubuh di atas seng sehingga menimbulkan bebunyian.
Sekarang, dari teras Balai Pemuda, Surabaya, ia menampilkan karya berjudul Sila, sebuah karya lama yang pernah ditampilkan dalam International Choreographers Residency pada American Dance Festival. Karya ini menunjukkan kemampuan tubuh Ghulur. Tubuhnya terus-menerus dalam posisi sila ganda. Siapa saja yang suka bermeditasi akan tahu bahwa mencapai posisi sila ganda cukup susah. Bila bisa, sebentar saja bermeditasi, kaki akan terasa kesemutan. Sedangkan Ghulur dengan posisi sila ganda bisa bergerak ke sana-sini—tanpa kedua kakinya lepas. Bahkan, tatkala tubuhnya tampak hendak melompat, kaki itu tetap lengket. Ghulur seolah-olah membatasi gerak kaki atau menghilangkan fungsi kaki. Dalam koreografi itu, ia hanya mengeksplorasi bagian tubuh dari lutut hingga ujung rambut.
Akan halnya Ayu Permata Sari menyajikan karya berjudul Li Tu Tu di halaman Studio Hanafi, Depok, Jawa Barat. Perupa Hanafi menyusun batu bata hebel putih menjadi dinding berlubang-lubang setinggi hampir dua meter. Di antara kepungan dinding itu terdapat meja. Seorang penari perempuan berdiri di atas lusinan piring. Kedua tangannya terentang ke samping. Satu tangan memegang piring kecil berlilin dan satu lainnya membawa rebana. Ia tampak menjaga keseimbangan. Di tengah kepungan dinding itu, Ayu dan penari laki-laki Galib, yang mengenakan kemeja berdasi, saling melempar piring secara bergantian dalam posisi berhadapan tak sampai semeter. Kedua mata mereka bersitatap kuat sambil berjalan maju-mundur atau naik di tumpukan hebel tetap dengan saling melempar piring.
Koreografi ini sederhana, lebih menekankan intensitas dan konsentrasi. Koreografi ini diadaptasi dari gerak tangan tari kuadai, yakni melempar piring dan gerak ibu jari tangan menumpu piring berukuran kecil. Dalam tari aslinya, kedua jempol tangan penari harus menumpu dua piring dengan lilin di atasnya. Tari ini merupakan tari tradisi suku Semendo dari Sumatera Selatan yang kini menjadi salah satu suku di Lampung Utara. Tradisi di suku tersebut, yakni anak perempuan pertama dalam keluarga berperan sebagai penjaga dan pengendali harta keluarga serta menjadi tempat pulang dan berpulang, memakai konsep yang disebut tunggu tubang. Li Tu Tu merupakan garapan Ayu yang dipentaskan pertama kali di Yogyakarta pada 2018 untuk merespons ruang galeri yang tak terlalu luas dengan penonton melingkari penampil. Penampilan keduanya adalah di ruang publik di trotoar kawasan Malioboro serta ruang tertutup dan terbuka dalam acara ArtJog. Koreografi ini juga sempat dipertontonkan di Setouchi Triennale, Jepang, dan kembali ke kampung halaman Ayu, di hadapan masyarakat Semendo.
Gymnastik Emporium menampilkan karya SKJ (Senam Keragaman Jasmani) 2020 bersama para guru olahraga. Dok. IDF
Sementara itu, Kampana Trajectory, proyek tari yang menampilkan enam koreografer muda, Eyi Lesar, Irfan Setiawan, Eka Wahyuni, Gege Diaz, Anis Harliani, dan Puri Senja, bercerita tentang proses tubuh mereka. Puri Senja secara menarik menceritakan biografi tubuhnya. Di masa kecil, oleh ayahnya, ia pernah diikat dengan tali Pramuka di kamar mandi. Sejak saat itu, ia takut akan gelap dan ruangan sempit. Ruangan sempit, kegelapan, dan tangan yang diikat itu lalu didemonstrasikan. Tatkala duduk di sekolah menengah atas dan selepasnya, Puri mengatakan, dia aktif menjadi cheerleader. Puri bercerita, ia kerap mengalami perundungan seksual. Saat menjadi penari, ia sadar bahwa tubuh cheerleader-nya mendominasi karakter tubuhnya. Pentas Puri gabungan antara monolog dan gerak. Monolognya kadang lebih berhasil daripada geraknya.
IDF kali ini berani menampilkan koreografer muda, bahkan orang biasa, di pentas utama. Sudah menjadi trademark bahwa panggung utama IDF biasanya diisi oleh koreografer-koreografer mapan. Ada yang melihat IDF kali ini menurunkan standar secara estetika. Tapi rasanya tidak. Di tengah pandemi, IDF mendorong semua kalangan agar tetap percaya diri dengan tari. Acara kali ini seharusnya didukung webinar bertema utama gerak dan penyembuhan. Ada memang webinar bertopik resilience. Namun bisa jadi webinar lebih menggema bila tema besarnya adalah “Dance as Healing” dengan pembicara dari kalangan koreografer sendiri, meditator, praktisi yoga, sampai pesilat yang mungkin berbicara tentang tubuh, tari, dan penyembuhan. Itu akan membuat misi IDF lebih terangkat. Tapi setidaknya IDF kali sudah menjadi pesta online bagi siapa saja. Bukan hanya terbatas penari profesional, tapi juga cheerleader, guru olahraga, hingga instruktur senam. Ayo bugar.
SENO JOKO SUYONO, DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo