Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Istikamah di Sastra Sufistik

Sejak 1970-an, Abdul Hadi W.M. memberi sentuhan sufisme dalam warna sastra Indonesia. Meninggal kemarin dinihari.

20 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyair, Abdul Hadi Wiji Muthari, Jakarta, 1984. DOK. TEMPO/A. Muin Ahmad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyair Abdul Hadi W.M. meninggal pada Jumat dini hari, 19 Januari 2024.

  • Sejak 1970-an, Abdul Hadi menentang arus dengan tidak berkiblat ke sastra Barat, melainkan ke budaya lokal, termasuk keagamaan.

  • Almarhum mengusung sastra sufistik dengan pendekatan sosiologis dan antropologis.

Rumah di Kompleks Villa Mahkota Pesona Jatiasih, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu mendadak menjadi ajang kumpul para sastrawan. Ada Sutardji Calzoum Bachri, Maman S. Mahayana, Ewith Bahar, dan Asrizal Nur. Hadir pula bekas Kepala Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Aryani Isnamurti. Mereka mengantar sang tuan rumah, Abdul Hadi W.M., ke peristirahatan terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdul Hadi Wiji Muthari adalah budayawan dan filsuf yang malang melintang di dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Abdul Hadi W.M., 77 tahun, meninggal kemarin, Jumat dinihari, 19 Januari 2024, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, akibat sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutardji Calzoum Bachri, 82 tahun, mengenal almarhum sejak masa kuliah pada 1960-an. Sutardji mengatakan, sebelum periode 1970-an, sebagian besar penyair Indonesia berkiblat ke Barat, termasuk Chairil Anwar dengan Aku Ini Binatang Jalang-nya. 

Abdul Hadi mewakili kelompok dengan pandangan berbeda. Mereka ingin warna sastra Indonesia kembali ke budaya lokal, termasuk soal keagamaan. “Dia salah satu tokoh yang pada 1970-an mendorong puisi kita menggali akar kebudayaan sendiri,” kata Sutardji kepada Tempo. Semangat itu tergores secara kental lewat puisi Abdul Hadi, Tuhan, Kita Begitu Dekat, pada 1976.

Penyair Abdul Hadi Wiji Muthari dalam Pertemuan Sastrawan 86 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1986. DOK. TEMPO/Maman Samanhudi

Di era inilah pengaruh kesusastraan Abdul Hadi muncul. Menurut sastrawan Zawawi Imron, pada 1980-an, kala hampir semua sastrawan sibuk mengkritik perpolitikan Indonesia, Abdul Hadi menulis soal ajakan kembali ke Sang Pencipta. “Dia seniman yang mempelopori sastra sufistik, sastra spiritual,” ujar Zawawi, 79 tahun. 

Memang, Abdul Hadi W.M. bukan satu-satu pengusung sufisme pada masa itu. Tapi, Zawawi melanjutkan, Abdul Hadi tergolong paling rutin menulis. Puisi-puisinya bisa dibaca orang hampir setiap pekan, di antaranya lewat harian Berita Buana.

Abdul Hadi W.M. menyandang doktor filsafat dari Universitas Sains Malaysia. Ia dikenal akan ketajaman pemikirannya dalam dunia tasawuf. Hasil pergulatan pemikirannya, di antaranya, bisa kita baca lewat Sastra Sufi: Sebuah Antologi dan Sejarah Kebudayaan Islam. Hingga akhir hidupnya, guru besar falsafah dan agama Universitas Paramadina ini tetap menjadi pendidik.  

Sastrawan Maman S. Mahayana mengatakan pemikiran tasawuf terdahulu selalu dikaitkan dengan urusan akhirat. Namun, dia melanjutkan, Abdul Hadi memiliki pemikiran yang berbeda, yaitu menggali soal cara masyarakat menjalani kehidupan. “Lebih ke sosiologis dan antropologis,” ujarnya.  

Satu tulisan Abdul Hadi yang mengupas bahwa pemikiran tasawuf tidak sekadar agama ialah Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. “Di situ dia menegaskan bahwa karya para sufi juga bicara tentang ketatanegaraan, filsafat, dan seterusnya,” kata Maman. Dalam buku tersebut, selain mengupas sastra Islam, Abdul Hadi mengulas karya klasik, seperti milik Sunan Bonang.

Sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda mengatakan sejumlah puisi Abdul Hadi M.W. terinspirasi oleh Al-Quran, seperti Meditasi dan Tergantung pada Angin. Menurut Yosi, secara umum, puisi Abdul Hadi banyak berbentuk serupa dialog dan sketsa alam yang memancarkan nilai sufistik. “Hampir semua sajaknya mengandung simbol alam, seperti angin, daun, dan bunga,” ujarnya. Ia mencontohkan baris dalam salah satu puisi di buku Meditasi  yang banyak memunculkan simbol alam. 

Suasana pemakaman sastrawan Abdul Hadi W.M. di Bojong Kulur, Bogor, Jawa Barat, 19 Januari 2024. TEMPO/Mustafa Ismail

Dari semua karya Abdul Hadi W.M., Yosi melanjutkan, pemikiran sufistik dianggap menjadi sumbangsih terbesarnya pada dunia sastra Indonesia. Satu di antaranya termuat dalam Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. “Itu disertasi beliau,” kata Yosi. Sebuah penerbit di Yogyakarta tengah menyusun karya-karya Abdul Hadi W.M. yang belum dipublikasikan. Namun, belum juga naik cetak, sang pujangga lebih dulu berpulang.

JIHAN RISTIYANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus