Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yayoi Kusama adalah pengulangan dan pengembangan bentuk: bentuk-bentuk yang terkait, melebar atau meluas, mengesankan sesuatu yang hidup, bergerak terus-menerus, membentuk imaji alam semesta. Judul-judul karyanya, dari yang dua dimensi, tiga dimensi, video, pertunjukan, instalasi, hingga ruang kamar becermin tak bertepi, menyarankan imaji semesta: banyak yang mengandung kata "repetisi" dan "tak terbatas".
Ruang intip di instalasi "The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heavens". (TEMPO/Krisna Pradipta)
Di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta, sekitar 130 karya Yayoi dipamerkan, termasuk sebuah ruang interaktif. Pengunjung mendapat selembar kertas gambar tempel yang terdiri atas sejumlah lingkaran berbagai ukuran dan warna untuk ditempelkan di mana pun dalam ruangan yang dilengkapi dengan perabot rumah tangga, dari meja-kursi, lemari, sampai kaleng kerupuk, yang putih bersih seluruhnya. Bayangkan, nanti, setelah banyak pengunjung menempelkan kertas itu-pameran berlangsung sampai awal September 2018-ruangan putih ini tentu akan "terhapus". Yang ada, bulatan-bulatan dalam berbagai ragam ukuran dan warna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah salah satu karya Yayoi, kini 89 tahun, yang membuatnya disanjung sebagai salah satu perupa paling produktif dan kreatif, menjelajah segala kemungkinan rupa, dari dua dimensi sampai instalasi dan karya ruang, dari gambar sampai karya peristiwa dan pertunjukan. Bahkan ia kemudian menulis puisi dan novel. Pengulangan dan pengembangan bentuk, yang tak terbatas, serta penghapusan atau penghilangan, sejauh yang ada di MACAN, merupakan tiga konsep dasar karya Yayoi. Konsep itu terupa dalam susunan bentuk yang khas pula: repetisi bulatan (dan bola bila karya tiga dimensi) serta jaring dengan warna-warna terang. Memang tidak semua karya berbulatan dan berjaring. Yayoi, yang berangkat dari karya-karya realistis dan surealistis pada masa awal di Jepang tahun 1940-an, beberapa tahun belakangan memunculkan lagi bentuk-bentuk yang menyarankan dunia botani, kadang gambar profil wajah, bersanding, tentu saja, dengan bulatan dan jaring. Terasa bahwa seluruh ruang pameran dikuasai bulatan ("polkadot" istilah umum untuk menyebut bentuk bulat ini) dan jaring. Bahkan instalasi raksasa dengan tinggi sekitar 2,5 meter berbentuk buah labu kuning karyanya digambari bulatan-bulatan hitam yang tersusun teratur dari atas ke bawah mengikuti bentuk lengkung labu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulatan hitam juga menghiasi sejumlah bola raksasa kuning yang digantung dan diletakkan di lantai ruang depan tempat pameran. Kaca-kaca jendela ruangan tersebut ditempeli sejumlah gambar bulatan kuning berhiaskan bulatan-bulatan hitam. Kita bisa melihatnya sebagai semacam ruang bermain anak-anak, tapi kita juga bisa mendapat imaji semesta tanpa batas: di tengah ruangan serasa kita entah di mana, dikepung bola-bola kuning berhiaskan bulatan-bulatan hitam. Gambar di kaca jendela memberi kesan bulatan itu memenuhi seluruh ruangan sampai ujung entah di mana.
Instalasi "Dots obsession". (TEMPO/Krisna Pradipta)
Keluar dari ruang pameran, itulah kesan utama yang terbawa dari pameran Yayoi Kusama yang dikelilingkan dari Singapura, Brisbane, hingga kini Jakarta: imaji alam semesta, atau suatu ciptaan rupa dan ruang yang bukan dunia tempat kita hidup. Berbeda dengan surealisme yang menghadirkan dunia mimpi dalam imaji, karya-karya Yayoi tidak hanya menyajikan imaji, tapi juga membawa kita secara nyata berada di ruang mimpi itu. Kita bisa mengatakan pameran Yayoi serasa sebuah permainan rumah hantu di pasar malam: tidak hanya menonton, kita juga berada dalam tontonan itu. Konon, demikianlah sejumlah perupa masa kini berkarya: menciptakan karya-karya yang "melibatkan" penonton. Salah seorang kurator pameran ini, Reuben Keehan, kurator Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, menulis, "Penonton bergeser dari sekadar pemirsa menjadi peserta…."
Dan saya menjadi "peserta" pameran Yayoi tanpa susah payah, meluncur begitu saja, tanpa "pengantar", tanpa "undangan". Karya-karya itu begitu saja menyapa kita dengan simpatik, dan kita menerimanya dengan empatik. Tiba-tiba kita diajak menjelajahi semesta tak berbatas itu, ketika melihat lukisan jaring merah, Nets-Interminable Nets, atau suatu repetisi bentuk sulur kecil-kecil dalam suasana biru pada Revelation from Heaven, tiga kanvas sepanjang hampir 4 meter. Kita "hilang" ke dalam kanvas biru itu, mengikuti dengan empati bentuk sulur-sulur kecil yang tersusun secara "alami".
Dan itulah pengalaman utama dari karya ke karya. Yang terasa lebih nyata adalah pengalaman memasuki kamar cermin tanpa batas, The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heavens. Bayangan kuning dengan noktah-noktah hitam di bidang alas dan langit-langit yang terus dan terus memanjang tak terhingga, di hadapan kita, di kiri dan kanan kita. Suatu pengalaman yang tidak duniawi. Atau yang lebih nyata lagi adalah pengalaman memasuki kamar kuning dengan dinding sepenuhnya bernoktah hitam, dan kita bisa berjalan-jalan di dalamnya, atau duduk di lantai, dan mendadak kita merasa "hilang". Hal ini mengingatkan pada ritual Islam ketika orang membaca "La ilaha illallah" berulang-ulang, atau ritual Buddha dengan gema doa yang terasa sama terus-menerus ditingkah bunyi ketukan yang terus dan ajek, atau ritual Hindu dengan bunyi kelintingan yang ajek itu: membawa peserta ritual "hilang" dari dunia nyata, memasuki dimensi roh.
Ruang "The Spirits of the Pumpkins Descended Into the Heavens". (TEMPO/Krisna Pradipta)
Namun karya-karya Yayoi tidak sepenuhnya "memaksa" kita berada dalam dimensi roh itu. Karya-karya itu juga mengandung dimensi "kekinian". Pada saya, itulah alam anak-anak yang tanpa pretensi, alam bermain dengan alami, keriangan mengalami hidup tanpa bertanya tentang apa pun. Demikianlah, misalnya, ketika kita memandang bola-bola kuning, Dots Obsessions, atau memandang labu raksasa kuning, Great Gigantic Pumpkin, kita ulang-alik merasa berada di dunia anak-anak, sebentar, lalu berpindah ke dunia spiritual semesta tak berbatas itu.
Pengalaman itu, antara dunia anak-anak dan dimensi spiritual, muncul pula ketika memandang karya-karya gambar hitam-putih (yang diperbanyak dengan cetak saring), karya serial Love Forever yang dikerjakan sepanjang 2004-2007. Bentuk-bentuk yang ada di lukisan awal Yayoi pada 1940-an, semasa masih di Jepang, muncul kembali: sulur-suluran, bunga, garis profil wajah, repetisi garis lengkung, bentuk, segitiga elastis, dan sudah barang tentu bulatan hitam pun ada di mana-mana. Juga serial My Eternal Soul, lukisan berwarna cerah yang dikerjakan sejak 2009. Tajuk pameran ini, "Life is the Heart of a Rainbow", diambil dari judul salah satu serial Jiwaku yang Kekal yang dibuat pada 2017.
Serial "Love Forever". (TEMPO/Krisna Pradipta)
Karya-karya yang menyapa dengan simpatik itu menyiratkan bahwa hidup dan berkarya Yayoi tampaknya bukan lagi dua dunia. Ia ingin menjadi perupa ternama, begitu konon cita-cita Yayoi kecil, dan itu ditempuhnya dengan bekerja dan bekerja tanpa mengenal waktu-konon, ketika hidup di New York (1958-1973), beberapa kali ia pingsan karena kelelahan berkarya. Terkesan bagi saya: karya Yayoi adalah hidupnya, dan hidup Yayoi adalah karyanya. Akira Tatehata-penyair; kurator Museum Seni Rupa Nasional di Osaka, Jepang; dan komisioner Biennale Venesia 1990 dan 1993-pada 1993 membawa karya-karya Yayoi sebagai pameran utama di Paviliun Jepang di Biennale Venesia. Itulah yang membawa kembali nama Yayoi, yang setelah bergaung di dunia seni rupa internasional pada 1960-an hampir terlupakan kala ia kembali hidup di Jepang sejak 1973. Tatehata menyebut karya-karya Yayoi "pencapaian yang senyap" karena namanya yang hampir terlupakan itu. Sejak Biennale Venesia 1993 itu, Yayoi kembali hadir, kembali menyuguhkan kepada dunia seluruh jiwa-raganya: obsesi seksualnya, pengalaman makan labu bertahun-tahun di masa krisis ekonomi di Jepang pada 1940-an, dan keinginannya untuk melenyap.
Obsesi seksualnya datang dari bapaknya yang perayu wanita. Tidakkah dengan mudah bentuk-bentuk tentakel pada karya Yayoi mencerminkan obsesinya pada lingga? Dan tidakkah hidupnya yang berat, meski keluarganya tergolong berada, membuat ia ingin "lari" ke dalam kamar dan melenyapkan diri? Menurut Tatehata, karya kamar cermin tak berbatas mengandung paradoks. Yayoi ingin melenyapkan diri. Tapi kalau memasuki kamar cermin tak berbatas itu, Anda justru akan merasa hadir karena sergapan obsesi Yayoi yang tak terelakkan.
Bambang Bujono
Penulis dan Pengulas Seni Rupa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo