Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH pebisnis buah nasional merapat ke kantor Kedutaan Besar Cina di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, awal Mei lalu. Sekitar satu pekan menjelang kunjungan Perdana Menteri Cina Li Keqiang, kantor perwakilan pemerintah Negeri Panda itu secara khusus mengundang para importir buah untuk menelisik penyebab hilangnya jeruk mandarin di pasar Indonesia. "Mereka menanyakan, apa yang bisa dilakukan supaya jeruk mandarin bisa masuk," kata Eddy Simon Sim, importir yang menjabat Ketua Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minister Counselor Bidang Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar Cina, Wang Liping, menjelaskan bahwa pertemuan itu dilatari kondisi petani jeruk di Fujian, provinsi di pesisir selatan Cina, yang belakangan babak-belur. Gara-garanya, mereka tak bisa mengekspor produksi buahnya ke Indonesia saat panen raya awal tahun ini. Wang Liping menyebutkan kerugian mereka mencapai US$ 36 juta (sekitar Rp 504 miliar). "Indonesia termasuk pasar jeruk kami yang besar, selain beberapa negara lain," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu sebabnya isu jeruk diusung dalam pertemuan bilateral Perdana Menteri Li dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, 7 Mei lalu. Dalam kesempatan itu, Li menyoal kebijakan pemerintah Indonesia yang membatasi pengusaha mendatangkan buah-buahan asal Cina, terutama jeruk mandarin. Ia berharap impor produk hortikultura meningkat. Li memastikan jeruk mandarin yang diimpor dari Cina memenuhi standar dan kualitas yang ditentukan pemerintah Indonesia.
Masalah jeruk juga disampaikan Li kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara santap malam Indonesia-China Business Summit pada hari yang sama. Sebagai imbal balik, Kalla meminta Cina meningkatkan impor produk unggulan Indonesia, seperti minyak kelapa sawit (CPO), biodiesel, kopi, dan buah tropis. Dengan begitu, diharapkan nilai perdagangan Indonesia ke Cina akan terdongkrak.
Kalla menyebutkan total nilai perdagangan Indonesia-Cina mencapai US$ 58,8 miliar pada 2017. Tapi posisi neraca Indonesia tercatat defisit senilai lebih dari US$ 12,6 miliar. Karena itu, perlu upaya untuk menjaga keseimbangan neraca dan mengurangi defisit perdagangan.
Kepada Presiden Jokowi, Li berkomitmen menambah kuota impor minyak sawit dan produk turunannya dari Indonesia sebanyak 500 ribu ton. Menurut dia, penambahan itu bertujuan membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Li memastikan bahwa produk minyak sawit yang masuk ke Cina paling banyak berasal dari Indonesia. Ia menyebutkan kebutuhan kelapa sawit negaranya sekitar 5 juta ton per tahun. "Jadi kami akan memberikan arahan ke kementerian dan lembaga terkait agar bisa merealisasinya," kata Li.
Selama lima tahun terakhir, Cina merupakan negara pengimpor ketiga terbesar produk CPO Tanah Air, setelah India dan Uni Eropa (EU 28). Pada 2017, misalnya, Kementerian Perdagangan mencatat ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya ke Tiongkok sebanyak US$ 2.756 juta. Jumlah itu sekitar 12 persen dari total ekspor produk sawit Indonesia yang mencapai US$ 22.777 juta.
Selain membahas jeruk dan sawit, pertemuan bilateral itu membicarakan produk hortikultura lainnya. Cina meminta Indonesia mengekspor lebih banyak produk pertanian, buah tropis seperti manggis dan nanas, serta kopi. Indonesia memiliki beragam produk kopi unggulan yang telah mendunia, seperti kopi Gayo asal Aceh dan Toraja dari Sulawesi Selatan.
Pemerintah Cina juga berkomitmen mendukung pembangunan empat koridor ekonomi Indonesia, yakni di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali. Li berjanji mendorong para pengusaha Cina agar berinvestasi di Indonesia dan mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal.
SELAMA satu jam, pertemuan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia, Xiao Qian, di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis pekan lalu, mencapai banyak kesepakatan. Selain mempertegas komitmen menambah kuota impor 500 ribu ton produk sawit dari Indonesia, pemerintah Tiongkok membuka pintu bagi sejumlah produk Indonesia yang sempat sulit masuk ke negara itu.
Enggar menyebutkan salah satu produk yang sempat terhambat adalah sarang walet. Ia mengaku telah berupaya membuka akses sejak awal menjabat Menteri Perdagangan, sekitar dua tahun lalu. Ia juga mengeluhkan soal salak dan nanas yang sebagian bisa menembus Cina tapi melalui Vietnam.
Adapun manggis mulai bisa masuk kembali ke Tiongkok belakangan, setelah pemerintah Cina menempatkan tim dari badan karantinanya di Indonesia. Tim tersebut mengecek mutu produk hortikultura yang akan diekspor ke Cina. Semula manggis terhambat karena dinilai mengandung penyakit kutu putih. "Jadi sempet buka-tutup," kata Enggar kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Direktur Buah dan Florikultura Kementerian Pertanian Sarwo Edhy menilai alasan adanya kutu putih itu seperti dibuat-buat. Sebab, produk yang sama bisa diekspor ke Singapura-negara yang aturan karantinanya terkenal ketat. Karena itu, Badan Karantina Kementerian Pertanian RI datang ke Cina sekitar pertengahan tahun lalu. "Dilakukan penandatanganan nota kesepahaman saat itu, tapi faktanya manggis ditolak semua pada 2017," ucapnya.
Khusus untuk jeruk mandarin, Enggar memastikan tak ada regulasi yang melarangnya masuk ke Indonesia. Tapi, ia menjelaskan, pemerintah memperhatikan produksi lokal dalam membuat kebijakan impor. Pertimbangan lainnya adalah kondisi neraca perdagangan dengan negara mitra. Itu sebabnya pemerintah membuka lebar pintu masuk bagi jeruk kino asal Pakistan. Alasannya, dari total nilai perdagangan dengan Pakistan sebesar US$ 2,64 miliar pada 2017, Kementerian Perdagangan mencatat Indonesia mengalami surplus lebih dari US$ 2 miliar.
Pakistan juga pengimpor keempat terbesar produk sawit Indonesia dengan nilai US$ 1,49 miliar pada 2017. Yang terbaru, Pakistan akan menerima gas alam cair (LNG) Indonesia sebanyak 1-1,5 juta ton per tahun selama sepuluh tahun dan dapat diperpanjang selama lima tahun. Kerja sama itu diteken Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Islamabad, 27 Januari lalu.
Enggar menegaskan tak bermaksud menerapkan kebijakan retaliasi atau tindakan balasan atas tersendatnya sejumlah produk Indonesia. Tapi pemerintah memperhatikan keseimbangan neraca perdagangan. Ia memastikan jeruk Cina boleh masuk ke Indonesia. "Pekan depan jeruk mandarin dibuka," ujarnya.
Sebelumnya, keran masuk jeruk asal Tiongkok hanya dibuka 20 persen menjadi sekitar 4.500 ton pada 2016 dan 4.088 ton pada 2017. Walhasil, sebanyak 80 persen jeruk sisanya yang rutin dikapalkan ke Indonesia tertahan.
Kalangan importir di Indonesia, termasuk Eddy Simon, menerima banyak keluhan dari eksportir Cina. Bukan hanya karena jeruknya menumpuk, mereka juga kalang-kabut karena telanjur mencetak dus pengemas jeruk. "Begitu kami bilang enggak boleh lagi, kaget mereka. Karena kartonnya saja bisa Rp 10 miliar," tuturnya. Menurut Eddy, mereka panik karena tak tahu bagaimana memanfaatkan karton yang telah dicetak lantaran biasanya mengirim 100 kontainer. "Karena tidak mungkin disimpan."
Wang Liping menceritakan penderitaan petani jeruk yang tidak bisa menjual hasil panennya setelah secara tiba-tiba importir tidak bisa mendatangkan jeruk dari Cina. Pendapatan mereka menurun. "Tidak ada pendapatan lain." Sebab, para petani menanam jeruk tanpa tahu bahwa Indonesia akan menyetop impor. "Ini menjadi perhatian serius kami."
Karena itu, tim Kedutaan Besar Cina di Jakarta menemui Menteri Enggar dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. "Mereka menjelaskan alasan Indonesia mengambil kebijakan ini adalah defisit perdagangan Indonesia dengan Cina," kata Wang Liping.
Kini, diplomasi CPO dan manggis membukakan pintu bagi jeruk mandarin. Kementerian Pertanian mencatat, Tiongkok telah mengorder manggis sebanyak 2.000 ton pada semester pertama tahun ini. Menurut Sarwo Edhy, pemerintah Cina melakukan pendekatan sejak Indonesia perlahan mengurangi impor produk dari sana. "Sekarang mereka mau menerima manggis."
Baik Enggar maupun Sarwo Edhy optimistis potensi pasar manggis di Cina tinggi, mengingat jumlah penduduk negara itu lebih dari 1,3 miliar jiwa. Kementerian Pertanian mencatat produksi buah yang kaya zat antioksidan ini sebesar 16.286 ton pada 2016 dan 16.175 ton pada 2017.
Cina bukanlah satu-satunya negara tujuan ekspor manggis. Indonesia juga mengapalkan buah ini ke Hong Kong, Malaysia, negara-negara Timur Tengah, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Selandia Baru. "Paling banyak ke Hong Kong," kata Sarwo Edhy. Pemerintah menargetkan total ekspor manggis tahun ini mencapai 20 ribu ton, separuh di antaranya diharapkan bisa terserap di pasar Cina.
Retno Sulistyowati, Putri Adityowati, Khairul Anam, Ahmad Faiz
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo