Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya tari TAO Dance Theater bertajuk 2, yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada Jumat malam dua pekan lalu, dimulai dengan suasana gelap-gulita. Disusul suara bising yang mengganggu, seperti suara televisi rusak karena tak menangkap sinyal. Suara itu terus bergemerisik hingga tiga menit.
Lalu tirai panggung dibuka. Dalam cahaya redup, di tengah panggung tampak dua penari berkepala plontos, Tao Ye dan Duan Ni. Pasangan suami-istri itu tidur telungkup dengan kaki, tangan, dan kepala berpencar ke lima penjuru. Suara bising yang makin lama makin keras mendadak mati. Hening bertahan selama 30 detik.
Perubahan suasana yang drastis itu membuat semua indra semakin peka. Perhatian pun terpusat pada kedua orang yang tengah berbaring dengan gaya sama: dagu, dada, perut, paha, dan kaki menyentuh lantai.
Dengan perlahan mereka bergerak bersamaan, dimulai dengan mengangkat bahu dan tangan. Lama-kelamaan seluruh badan mereka meliuk-liuk bagai kuas melukis kanvas.
Penari TAO mengutamakan kelenturan tubuh dalam bergerak. Mereka seperti manusia tanpa tulang. Itulah sebabnya, ketika bergerak ke sana-kemari, Tao dan Duan nyaris tak membuat bunyi. Mereka melawan bentuk konkret tubuh dan menjadikannya seperti air.
Pada manusia biasa, tugas menopang badan dilakoni semata-mata oleh kaki. Tapi, pada penari TAO, sikut, lutut, perut, leher, hingga tengkuk pun mampu menjadi penopang.
Hampir semua gaya dalam koreografi berdurasi 40 menit itu dilakukan sambil berbaring di lantai. Mereka nyaris tak pernah berdiri dengan telapak kaki. Jikapun harus menegakkan badan, mereka menggunakan lutut sebagai tumpuan.
Gaya-gaya yang diperagakan terkadang ekstrem. Duan Ni mampu melentingkan punggung membentuk lingkaran seraya menjadikan leher dan dagu sebagai penopang seluruh berat tubuhnya. Sedangkan Tao Ye bisa berdiri mengandalkan telapak tangan dan ubun-ubun.
Tao Ye adalah pionir teknik tari dengan tubuh superlentur yang diperagakan TAO. Lulusan sekolah tari Chongqing, Cina, itu mendirikan TAO Dance Theater pada 2008 di Beijing, saat usianya 22 tahun. Ia menolak segala prinsip tari mana pun, termasuk tari tradisional Cina, dan membangun teknik sendiri dari nol.
Filosofi yang ia terapkan dalam koreografi 2 sederhana. Semata-mata mendorong tubuh membuat lingkaran yang konstan seraya mengeksplorasi segala kemungkinan gaya dengan tubuh yang terbaring di lantai. "Tantangan itu ada bukan pada tubuh, melainkan pada pikiran," kata Tao Ye dalam sesi diskusi seusai pementasan.
Meski sudah enam tahun berdiri, kelompok tari TAO hanya mampu merekrut sepuluh penari. Tao tahu teknik yang ia kembangkan sulit diadopsi penari terlatih sekalipun. Seorang penari mesti menanggalkan segala pengetahuan dan pengalaman tentang tari agar bisa menguasai teknik Tao. "Teknik ini berusaha melepas diri dari tradisi dan menggali potensi yang ada dalam diri," ujarnya.
Tari tradisional Cina, menurut Tao, mengutamakan perhatian pada pusat keseimbangan tubuh. Bagaimanapun gerakannya, badan harus tetap bertumpu pada pusat keseimbangan. Yang dilakukan Tao kebalikannya. Ia menolak konsep pusat keseimbangan tubuh. "Keseimbangan itu ada di mana pun," katanya. "Badan kita tak berbentuk. Setiap sudut sudah hilang. Tak ada struktur baku."
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo