Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sisyphus Kesurupan

Tafsir koreografer Melati Suryodarmo atas cerita Sisyphus gelap dan muram. Tergoda terlalu jauh dengan konsep tubuh yang kesurupan.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang paling menohok dari pertunjukan tari kontemporer bertajuk Sisyphus yang dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat dua pekan lalu adalah bagian terakhir. Bagian ketika lima penari secara bergiliran menggelepar-gelepar kesurupan.

Kelima penari—Agus Margiyanto, Retno Sulistyorini, Cahwati, Hendra Setiawan, dan Wening Titis Purwati—kesurupan dengan gaya yang berbeda-beda. Ada yang kelojotan menjatuhkan punggung ke lantai terus-menerus. Ada pula yang berguling-guling tak keruan. Pada bagian penghabisan, kelimanya berbagi panggung berbarengan kejang-kejang layaknya orang kerasukan setan.

Penonton pun jadi bertanya, apakah benar mereka dirasuki setan?

Suasana memang sudah angker dan mencekam sejak awal pementasan. Raut wajah semua penari kosong dan gelap. Apalagi ada suara meraung-raung dari alat musik janggal yang terbuat dari pembajak sawah. Suara alat yang digesek dan dipetik oleh Ikbal Lubys itu berat dan gelap menggeret hati.

Menurut koreografer Melati Suryodarmo, apa yang dilakukan penari merupakan reka ulang adegan kesurupan yang mereka amati pada tahap riset. Riset ini melibatkan dunia gaib. Melati meminta bantuan kiai-kiai yang punya keahlian memanggil arwah dan memasukkannya ke orang. Para kiai itu, yakni Kiai Dwi, Kiai Sugeng, dan Kiai Han, diperkenalkan kepada Melati oleh seniman Butet Kartaredjasa. "Kami ingin mempelajari tubuh yang kesurupan. Mereka bersemangat sekali membantu," kata Melati.

Melati, yang belajar tari di Hochschule für Bildende Künste Braunschweig, Jerman, tertarik pada konsep "Body without Organs" (Tubuh tanpa Organ) yang dikemukakan oleh seniman Prancis, Antonin Artaud, dan dikembangkan dalam tataran pemikiran oleh filsuf Gilles Deleuze. Gagasan itu mempertanyakan relasi tubuh masa kini dengan memori masa lampau yang melekat pada tubuh.

Dalam prakteknya, Melati membenturkan tubuh penari dengan tubuh orang lain. Dalam hal ini, tubuh yang sedang dalam kondisi trance alias kesurupan. Saat riset, para kiai memanggil arwah-arwah penari yang hidup zaman dulu. "Ada yang namanya Nyi Sempog, Nyi Wijayanti, Mbah Nasirun. Wah, banyak," ujar Melati.

Barangkali karena riset yang menarik itulah akhirnya angle konsep tari sedikit bergeser. Terasa betul dalam koreografi, Melati susah payah mengaitkan antara mitos Sisyphus dan gagasan Body without Organs. Eksplorasi Sisyphus terasa hanya pada dua bagian. Pertama, saat para penari di awal pertunjukan dengan tabah menggendong batu besar di depan dadanya. Batu itu simbol beban yang harus ditanggung Sisyphus, tokoh mitologi Yunani yang dikutuk para dewa: seumur hidup mengangkat batu ke puncak gunung karang.

Kedua, melalui monolog panjang yang dilakukan salah satu penari. Ada nuansa keputusasaan dan absurditas yang kuat dalam monolog itu. Sedikit-banyak mewakili perasaan Sisyphus yang melakoni pekerjaan absurd karena tahu batu yang ia angkat ditakdirkan untuk selalu menggelinding lagi ke bawah. Dan Sisyphus yang terkutuk harus mengangkatnya ke puncak, lagi dan lagi.

Melati belum berhasil mengaitkan kedua cerita itu dengan jembatan yang masuk akal. Akan lebih tuntas jika kedua gagasan itu—persoalan Sisyphus dan Body without Organs—dipisah menjadi koreografi yang berbeda.

Toh, dalam Indonesian Dance Festival 2014 yang digelar dua pekan lalu, koreografi Melati digolongkan sebagai karya laboratorium. Karya yang dibuat dalam konteks penelitian. Sisyphus sebagai sebuah koreografi merupakan karya yang belum tuntas dan masih terbuka kemungkinan untuk diubah. Itulah sebabnya, pada sesi diskusi, Melati membuka diri bagi penonton untuk mengkritik dan mengomentari karyanya.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus