Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agama, ras, kebencian: unsur-unsur itu dengan mudah bertaut. Dalam Saudagar Venezia, lakon Shakespeare yang termasyhur itu, mereka bertaut dan kita menyaksikan sebuah "komedi" yang tak bisa membuat kita ketawa.
Tokoh utama cerita ini Antonio, seorang saudagar kaya di kota Italia itu, sebuah pusat perdagangan dunia di abad ke-15. Di Rialto, wilayah bisnis utama Venezia, ia dikenal sebagai pemilik empat buah argosy, kapal dagang besar yang berlayar sampai Tripoli, Meksiko, Inggris, bahkan Indonesia (Indies).
Ia dikenal murah hati. Sebagai orang Kristen zaman itu, yang menaati Injil, ia meminjamkan uang tanpa bunga. Dalam kisah ini ia menolong Bassanio, seorang bangsawan muda Venezia yang membutuhkan dana 3.000 dukat untuk bisa melamar Portia, seorang gadis cantik dan cerdas dari Belmont. Antonio, yang tak punya uang tunai, menyanggupi jadi penjamin utang ketika Bassanio datang ke hadapan Shylock.
Shylock seorang Yahudi. Nama yang tak lazim ini mungkin berasal dari "Sheelah", tokoh yang dapat ditemukan dalam Alkitab. Shylock digambarkan Shakespeare sebagai tukang kredit.
Seperti umumnya orang Yahudi di Eropa di masa itu, Shylock menumbuhkan bisnis perkreditan karena, berbeda dengan orang Kristen, para pengikut ajaran Musa menafsirkan Alkitab secara tersendiri: larangan menarik bunga pinjaman (yang dalam bahasa Ibrani disebut ribbit, dekat dengan "riba") hanya berlaku di antara sesama mereka, tapi tidak dalam hubungan pinjam-meminjam dengan "orang asing". Dengan bunga itulah—dan karena kebutuhan utang-piutang—bisnis berkembang dan dunia perbankan tumbuh.
Bagi Shylock, yang seperti orang Yahudi lain di Venezia diperlakukan sebagai "orang asing", orang seperti Antonio bukan "sesama". Tapi yang menarik dalam cerita ini adalah bahwa Shylock tak hendak menuntut bunga darinya. Ia bersedia meminjamkan uang 3.000 dukat dengan syarat: jika setelah tiga bulan uang itu tak dikembalikan, ia akan mengerat daging tubuh saudagar yang jadi penjamin utang itu senilai uang yang gagal dibayar.
Sebuah syarat yang ganjil dan buas—tapi Antonio menerimanya. Ia yakin, kapal-kapalnya akan kembali sebulan sebelum saat utang itu jatuh tempo, dan ia akan sanggup mengembalikan 3.000 dukat itu.
Tapi ada sebab lain: ia merasa lega bahwa Shylock, di luar kebiasaan, tak mengenakan bunga pinjaman. Bagi Antonio, ini sikap yang dermawan. Ia bahkan hari itu menyebut Shylock, orang yang pernah dihinanya, sebagai "Yahudi yang lembut hati". Orang Ibrani ini, kata Antonio kepada sahabatnya, akan jadi orang Nasrani. "He grows kind."
Sebenarnya meragukan, sungguhkah Shylock "tumbuh jadi baik hati". Ia merasa dirugikan Antonio. Saudagar Kristen itu menjadi pesaingnya yang berat karena meminjamkan dana tanpa bunga. Shakespeare, yang menulis lakonnya 500 tahun yang lalu, ketika kebencian kepada orang Yahudi menyebar kental di masyarakat Inggris, membuat Shylock jadi karikatur antisemit: sosok si bakhil yang berhidung bengkok. Kata "shylock" menyakitkan hati orang Yahudi. Ketika pada 1962 di New York Joseph Papp memulai program "Shakespeare in the Park" dan memilih Saudagar Venezia sebagai lakon pertama, dewan rabbi kota itu memprotes.
Saya kira para ulama Yahudi itu terlampau cepat tersinggung. Shylock bisa ditafsir sebagai tokoh yang ambigu. Ia punya alasan yang kuat, meskipun tak sepenuhnya jelas, ketika menetapkan syarat utang-piutangnya.
Ia kenal Antonio sebagai pembenci Yahudi. Antonio bahkan pernah meludahi mukanya. "Tuan menyebutku salah-iman, anjing pemutus leher, dan meludahi jubah Yahudiku," katanya kepada sang saudagar Venezia. "Tuan—orang yang pernah melepaskan dahak ke janggutku."
Shylock memang ingin menyakiti Antonio. Dendamnya ia sadari. Tapi syaratnya untuk dibayar dengan keratan tubuh laki-laki itu bisa juga punya arah yang lain.
Ia tahu daging itu tak ada harganya; paha sapi atau dada burung lebih bisa diperjualbelikan—meskipun pada kontrak utang-piutang Antonio-Shylock keratan tubuh itu diperlakukan dalam acuan nilai-tukar, mirip komoditas lain di pasar.
Dengan catatan: rasa sakit ketika tubuh itu dikerat, juga rasa puas ketika melihat seorang musuh menanggungkan luka, adalah hal-hal yang tak bisa dipertukarkan, tak bisa ditimbang, dibahasakan, atau dinilai. Baik bagi seorang Kristen maupun seorang Yahudi, kepedihan dan kebuasan hanya beroleh makna bila pertanyaan Shylock ini menusuk jauh: "Tidakkah orang Yahudi juga punya mata? Tidakkah orang Yahudi juga punya tangan, organ tubuh… panca-indra, perasaan, gelora hati, menyantap makanan yang sama, terluka oleh senjata yang sama… seperti orang Kristen?"
Pertanyaan itu tak saya temukan jawabnya dalam Saudagar Venezia. Lakon ini, kita ingat, berlanjut dengan babak di mana Shylock yang hampir menang akhirnya terkecoh, kalah.
Tapi saya bayangkan ia dan Antonio di pentas "The Globe", London. Di tepi Sungai Thames tempat kapal-kapal lewat, Saudagar Venezia memungut bahan cerita dari negeri lain, memungut kata (termasuk "doit", dari kata duit) dari bangsa-bangsa yang jauh.
Juga saya bayangkan Venezia. Di Ponte de Gheto Novo, jembatan kecil di dekat kampung Yahudi, Shylock memandang air kanal Cannaregio berliku-liku menuju laut.
Nun di sana, bahtera dan manusia berniaga, pulang-balik dari pelbagai pantai bumi. Laut biru dan juga tak biru. Kita tak tahu di mana agama, ras, dan kebencian di situ.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo