Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tari adalah tentang gerak. Gerak apa saja. Tak mesti gemulai. Bentrok fisik yang keras juga bisa menjadi bagian dari koreografi yang indah. Setidaknya hal itu terlihat pada penampilÂan kelompok asal Osaka, Jepang, Contact Gonzo, dalam Indonesian Dance Festival 2014, bulan ini.
Kelompok itu melakukan gerak improvisasi kontak yang merujuk pada estetika gonzo dari jurnalis legendaris, Hunter S. Thompson. Teknik gerak mereka dikembangkan oleh Masaru Kakio dan Yuya Tsukahara sejak 2006. Empat tahun lalu, di festival yang sama, mereka pernah tampil. Kali ini mereka muncul dalam penutupan festival, di amfiteater Salihara, Ahad malam, 9 November lalu.
Di arena terbuka yang berdiameter sekitar 10 meter itu, penonton mulai menyeÂsaki pinggiran. Sedangkan di tengah arena, tampak seperangkat lampu boom, drum, dan sound system. Kelompok itu memulai atraksinya dengan pemanasan. Dua pemuda yang berpakaian sangat kasual—celana pendek sedikit di bawah lutut dan kaus longgar rangkap dua—berdekatan dengan kepala menempel. Muka berhadapan, tangan mereka bertaut, tapi berusaha saling melepas.
Pergumulan mereka semula berlangsung pelan, lembut, seperti mengeksplorasi gerak satu sama lain, tapi lama-lama gerakan mereka makin kuat dan keras. Keduanya mulai saling menyerang. Eksplorasi gerak ini lebih mirip olahraga, semacam persiapan olahraga gulat.
Seorang pemuda lain ikut menyerang, menghantamkan badannya pada dua pemuda yang pertama. Mereka bergulingan menghantam lantai yang tersusun dari batu, kerikil, dan semen. Pemuda lain terlihat berlari mendekati pergumulan itu dan ikut menyerang.
Saat mereka beradu fisik, seorang pemuda lain mendekati dengan sorot lampu yang kuat, sementara seorang lain dengan kamera mengabadikan setiap pergumulan itu. Dentam musik heavy metal yang didengungkan metal core band menambah kekerasan suasana.
Sebagai latar, layar lebar menampilkan Tugu Monas, lalu berganti dengan perjalanan kelompok itu dari bandar udara, kemudian berganti lagi dengan video mereka berlarian di antara kompleks pertokoan.
Ketika para penari bergumul, tak jarang mereka menubruk penonton yang berdiri di pinggiran arena. "Eh… eit… awas… awas…," seorang penonton berteriak ketika empat orang bergumul merangsek ke arah penonton. Mereka juga nyaris menubruk pengeras suara. Mereka berdiri berpelukan, lalu berlari dan kembali beradu fisik, saling menubruk, menonjok, tapi menghindari pukulan di kepala. Pertunjukan ini tak lantas menjadi benar-benar rusuh.
Sepintas, mereka seperti penonton mabuk yang tawuran dalam konser metal. Di sela-sela pergumulan ini, mereka pun berhenti untuk minum, lalu melemparkan botol-botol minuman atau kamera portabel yang sengaja mereka siapkan untuk pertunjukan itu. Hampir satu jam mereka bergumul mempertontonkan kekerasan dan kelembutan.
Dengan mempertontonkan pertunjukan seni, seni layar kontemporer, kelompok ini sudah berkeliling ke berbagai festival internasional di kota-kota Jepang, Singapura, New York, Moskow, Rio de Janeiro, Zurich, dan Budapest.
Salah satu anggota tim kurator Indonesian Dance Festival, Helly Minarti, mengatakan konsep kelompok ini adalah memadukan improvisasi kontak. Teknik ini terkenal di dunia tari yang diperkenalkan ÂSteve Paxton pada 1960-1970-an. "Improvisasi kontak ini lalu diadaptasi melalui gerakan yang lebih keras, bukan lemah gemulai atau menari dalam pengertian konvensional. Tapi ada unsur bermain dengan aturan tertentu," ujar Helly. Aturan yang dimaksudkan antara lain kontak tubuh tak boleh menyentuh kepala.
Lalu mengapa digabungkan dengan musik cadas? Helly pernah menonton karya Gonzo itu di Kobe, awal tahun ini. Penampilan pertama pun sudah memasukkan unsur musik cadas. Konsep itu dirasakan cukup cocok dibawa ke festival ini, ke Jakarta, yang masyarakatnya hidup di lingkungan dan situasi yang keras. "Setiap hari berjibaku di jalanan, misalnya."
Selain itu, Helly melihat ada arus gerakan baru heavy metal di Indonesia—di Bandung. Gerakan mereka adalah membuat kebudayaan tandingan arus utama dengan menciptakan kredo tertentu berbasis komunitas untuk strategi bertahan hidup.
Konsep karya ini memang dirancang sejak awal untuk berkolaborasi dengan fotografer Jepang yang mereka kenal—Yusuke Nishimitsu. Dia datang beberapa hari lebih dulu ke Ibu Kota untuk "menangkap" Jakarta. Mereka juga mencari band heavy metal setempat.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo