SESUDAH istirahat, Prelude karya salah seorang komponis Amerika
yang penting dan populer, George Gershwin (1898-1937), dimainkan
Marusya Nainggolan. Mungkin ciptaan Gershwin ini, di Teater
Tertutup TIM, Kamis malam pekan lalu paling enak didengar.
Marusya, 25 tahun, mengaku sudah sejak usia 6 tahun belajar
piano dari ayahnya. Bahkan "umur 4 tahun saya sudah menirukan
anak-anak yang kursus kepada bapak saya," ceritanya. Tapi
mungkin yang membuka jalan baginya ialah gurunya di SMP Negeri
Bogor. Oleh gurunya dia dianjurkan masuk Yayasan Pendidikan
Musik di Jakarta. Baik Marusya sendiri, maupun orangtuanya
ternyata setuju saja -- karena sekolah YPM tak setiap hari
masuknya, lagipula dibuka siang hari. "Sering saya dari sekolah
langsung naik bis ke Jakarta," tuturnya.
Lulusan Akademi Musik LPKJ angkatan pertama ini (1979) agaknya
memang tak terlalu emosional. Keenam nomor malam itu dia sajikan
dengan rapi. Meski pada Arabesk karya Trisutji Djuliati Kamal
dia mengaku membawakannya "kurang sreg." Gaya permainannya yang
rapi tentu saja, bagi seorang yang menyukai permainan dramatik,
kurang begitu menyentuh. Pianis Iravati misalnya -- kebetulan
guru Marusya di LPKJ -- meski tak menyebut permainan Marusya
buruk toh kurang puas. "Tapi ini soal selera," katanya.
"Misalnya dalam Fantasie karya Chopin. Musik itu mestinya
dramatik, Marusya memainkannya terlalu datar, seolah tanpa
emosi." Tapi Iravati memuji pilihan karya-karya malam itu,
karena sesuai dengan kemampuan si pianis.
Anehnya, orangnya sendiri paling puas dengan Chopin-nya. Sedang
keenam ciptaan yang dia pilih, memang sudah dipertimbangkannya
masak-masak. "Sesuai dengan selera dan kemampuan teknik saya,"
tuturnya. Misalnya saja, ia sangat takut memainkan karya
Rachmaninoff. Padahal ada persamaan antara si komponis Rusia itu
dengan Marusya keduanya pernah bercita-cita masuk tentara.
"Karya Rachmaninoff sulit, untuk ukuran jari tangan saya,"
katanya.
Upacara Penguburan
Kembali pada Prelude Gershwin, ciptaan ini rasanya memang tak
begitu berat. Komponis ini memang tenar dengan kekhasannya
bertolak dari jazz dan blues melahirkan musik yang dianggap
standar. Malam itu Prelude mungkin yang terdengar paling bersih
dan menyentuh. Paling tidak, lagu ini membawa suasana lain.
Ketegangan musik klasik yang biasanya mencekam itu, dalam
ciptaan Gershwin, eh, ternyata bisa santai didengar.
"Marusya memang baik. Tapi mungkin karena usianya, dia masih
terlalu formal." Ini komentar Trisutji Djuliati Kamal tentang
permainan Marusya setahun lalu -- karena malam itu, meski satu
ciptaannya ikut dimainkan, dia tak bisa datang. Maksud Trisutji,
dalam penafsiran Marusya masih terbatas, belum berani
menggunakan kesempatan yang diberikan.
Pertama kali tampil dalam resital piano tunggal di TIM, setelah
beberapa kali di tempat lain -- ITB misalnya. "Kalau saya
bermain piano, itu seperti sedang omong-omong dengan pencipta
komposisi yang saya bawakan," ceritanya. Jadi dia berhasil
memahami "omong-omong" itu atau tidak, itulah yang menentukan
hasil permainannya.
"Paling tidak 5 jam tiap hari saya berlatih. Tapi kalau sedang
gila bisa delapan jam." Cuma pernah dia sepuluh hari tak
menyentuh piano. Tahun 1976, 24 November ayahnya meninggal
--padahal pertengahan Desember dia harus ujian. Bayangkan. Entah
berkat restu ayahnya, entah memang anak ini berbakat besar,
meski 10 hari tak berlatih bisa lulus juga. "Bahkan dosen
penguji saya heran -- karena saya memainkan komposisi yang ada
upacara penguburannya. Anehnya, saya waktu ujian tak teringat
sama sekali kepada ayah. "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini