MEREKA kini mengenakan jaket ungu terong dengan tulisan Pasum
(Persatuan Agen Suratkabar dan Majalah) di punggung. Kodak Metro
Jaya kini, bersikap agak lunak terhadap mereka.
Dulu mereka sering dikejar polisi ketika menjajakan koran dan
majalah di sekitar lampu lalu-lintas. Meski dilarang, mereka
selalu membangkang, hingga mengganggu lalu-lintas. Pada suatu
hari seorang pengecer tewas diganyang bis ketika polisi
mengejarnya. Sejak kematian Zainuddin, demikian nama pengecer
yang malang itu, para pengecer bersama agen mereka terdorong
membentuk wadah Pasum. Bahkan Gubernur DKI Jakarta,
Tjokropranolo, berkenan meresmikan kehadiran Pasum itu dua pekan
lalu. "Sebelum saya bangun koran sudah sampai," kata Gubernur
ini yang tinggal di Jl. Tegal, Menteng. "Sebelum makan saya
sudah sarapan koran dulu. " Diharapkannya dengan Pasum nasib
pengecer bisa ditolong.
Tujuan utama Pasum adalah 'mengorganisir mereka masuk ke daerah
yang selama ini masih bebas koran dan majalah," kata ketuanya,
Masri Pasaribu. Misalnya, ia ingin memasuki hotel, bandar udara,
kompleks perkantoran dan perbelanjaan, selain pelosok kampung
dan desa. Pokoknya kegiatan para pengecer akan diaturnya secara
tertib. Suasana di tiap lampu lalu-lintas memang kini lebih
tenteram.
Sudah lebih sepertiga dari sekitar 6.000 pengecer dan loper di
Jakarta tercatat sebagai anggota Pasum. Sedang dari 600 agen dan
sub-agen, baru 80 saja yang jadi anggotanya. "Tapi 80 orang itu
menguasai sekitar 2/3 dari semua koran dan majalah yang beredar
di Jakarta, " kata Pasaribu.
Namun kebanyakan pengecer koran sore Sinar Harapan, kata Kris
Kandou manajer sirkulasinya, "masih lihat-lihat dulu, tidak
tergesa masuk Pasum." Sekitar 30% dari oplah SH dipasarkan lewat
pengecer. "Tidak banyak dari pengecer kami yang berminat masuk
Pasum," sambung Rosilah, manajer sirkulasi Kompas, yang 15% dari
oplahnya dijual pengecer. Tapi ada kemungkinan kedua koran besar
itu juga beredar lewat para agen dan sub-agen anggota Pasum.
Di Medan Pasum tak dikenal. "Pasum akan sulit berdiri di Medan,"
kata Ikbal, pemimpin Pustaka Antara. Kenapa? "Agen dan sub-agen
koran serta majalah di sini maunya saling telan," sahut A.
Munir, seorang agen koran.
Cukup banyak agen yang sukses. Agen seperti Masri Pasaribu yang
memiliki Yan Nusantara Agency, misalnya. Keuntungan yang
diperolehnya bisa mencapai Rp 1 juta sebulan. Ia mengendalikan
70 sub-agen dengan sekitar 1.000 pengecer. Ia merupakan agen
terbesar TEMPO di Jakarta.
Dari penerbit biasanya agen memperoleh komisi (potongan) 20-30%
dari harga jual. TEMPO, Sinar Harapan dan Kompas misalnya
memberi komisi 20% kepada agen. Jadi harga 1 eksemplar SH dari
penerbit ke agen adalah Rp 57. Tapi baik Kompas maupun SH,
akhirnya lewat tangan pengecer, bisa berharga Rp 100/eks.
"Proses perjalanan koran dari penerbit sampai ke pembaca memang
cukup panjang," kata Rosilah. "Kita memang hanya bisa mengontrol
harga sampai di agen saja," tambah Kandou.
Tentu tidak seluruh komisi 20-30% dari penerbit tadi jatuh ke
agen. Sebab koran dan majalah itu harus disalurkannva lagi ke
tangan sub-agen dan kemudian ke pengecer, yang juga harus dapat
imbalan.
"Jadi memang benar kalau harga koran sampai di tangan pembaca
sangat mahal, hampir dua kali lipat," kata Kandou. Tapi siapa
yang dapat untung banyak, "Sukar ditunjuk," jawabnya.
Agaknya agenlah yang mendapat untung banyak, apalagi agen yang
berhubungan langsung dengan langganan - meskipun harus menggaji
sejumlah loper. Tapi pengecer seperti Muhammad Ali, 41 tahun,
yang berkaok-kaok di Jembatan Merah, Surabaya, mengaku ia
sedikitnya bisa memperoleh Rp 750 sehari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini