Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wajah kampus '79

Gpl unpad muncul di balai sidang senayan, bersama tiga grup musik kampus psp dari fis ui, jet set dari ugm dan mdg dari itb. gpl tampil sebagai gong pagelaran musik kampus '79. (ms)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun tak terdengar kegiatannya, ternyata Grup Pencinta Lagu (GPL) Unpad masih kompak dan tetap memikat. Jumat malam pertengahan November lalu, di Balai Sidang Senayan bersama tiga grup musik kampus yang lain, GPL tampil sebagai gong Pagelaran Musik Kampus '79. Setahun belakangan ini, sejak populernya OM PSP ("M" dari Moral -- bukan Melayu -- Pancaran Sinar Petromaks), agaknya terbentuk satu gambaran: musik yang datang dari kampus mesti urakan, mesti nyentrik. PSP dari Fak Ilmu-ilmu Sosial UI, disusul dengan grup sejenis di Fak Psilologi UGM (namanya Jet Set -- Jelek Tapi Setil) dan di Fak Arsitektur UGM (namanya Jaran Goyang). Kemudian, sekitar setahun yang lalu juga, muncul di jurusan Geodesi ITB yang disebut Musik Dapur Geodesi (MDG) ITB. Memang nyentrik sebagian besar instrumen alat-alat dapur beneran gelas, piring, panci, baskom, penggorengan, ember plastik dan banyak lagi. Agaknya wajar bahwa grup-grup musik kampus memang tak bermaksud menjadi grup profesional. Mereka lebih didorong semangat mengisi waktu senggang. Atau seperti kata Atmojo, pimpinan Jes Set "Kami hanya iseng." Dan konon MDG diilhami oleh protes anak-anak ITB yang tinggal di asrama: menu asrama tak ada variasi maka mereka memukul-mukul alat dapur yang ada. Entah karena "iseng" itu masih terbawa serta, entah kita sebetulnya telah jenuh dengan gaya nyentrik-nyentrikan tiga grup musik kampus (Jet Set, MDG dan PSP) tak mengundang perhatian malam itu. Apalagi Jet Set, terasa sekali sebagai buntut meski muncul di Balai Sidang sebagai pembuka acara. Grup ini tentu saja kalah pamor dengan PSP, karena lebih kurang hanya meniru PSP. Grup sejenis yang satu lagi, Jaran Goyang, malam itu tak serta. Sementara PSP agaknya memang berusaha tampil dengan kejutan baru membawa sejumlah anak gelandangan untuk joget di pentas. Dan anak-anak itu mereka panggil dengan nama-nama seperti: Jim, Peter, George. Sejak muncul orkes nyentrik ini memang telah suka menyindir. Ketika musik dangdut belum mendapat pasaran di kalangan gedongan, mereka muncul dengan dang-dut tapi lagu Barat. Tentu saja ini sindiran yang tak menyakitkan, bahkan terasa sebagai humor segar. Dan meskipun belum ada riset, agaknya mereka ikut andil juga naiknya dangdut ke kalangan gedungan. Terasa Pedas Dan MDG juga tak cukup menggetarkan Balai Sidang. Meski secara visual memang menarik -- bayangkan saja kalau suara drum ternyata keluar dari sejumlah ember plastik. Cuma kejutan mereka itu dinetralisasi sendiri dengan masih mengikutsertakannya instrumen beneran piano, gitar dan bas listrik. Tambahan lagi lagu-lagu yang mereka bawakan tak orisinal maksudnya, bukan tercipta berkat alat dapur. Itulah ketika GPL muncul dan mengumandangkan lagu pertamanya Haben, sebuah lagu Israel, suara yang keluar dari sekitar 40 mulur dari mereka yang suka mendaki gunung dan mengarungi hutan ini, benar-benar membuat udara di Balai Sidang bergetar. Sekitar 10 lagu sempat mereka suguhkan. Malam itu sepertinya, GPL mencoba meyakinkan penonton, bahwa musik kampus tak harus nyentrik, tapi bisa juga serius. Dan mereka berhasil. Grup ini muncul di Unpad delapan tahun lalu. Kemudian berhasil merebut perhatian masyarakat. Sejumlah pagelarannya selalu mengundang penonton. Taman Ismail Marzuki, pusat kesenian di Jakarta, bahkan sempat mengundang mereka berkonser tunggal dua kali -- Juni 1974 dan Oktober 1977. Yang mungkin menimbulkan pertanyaan bagaimana Iwan Abdurachman yang kini telah ir masih tetap bisa mengumpulkan sejumlah teman-temannya yang juga sudah sarjana. "Karena dedikasi, mereka tetap datang ke Bandung pada jadwal latihan yang sudah kami sepakati," katanya kepada TEMPO. Menurut ceritanya, untuk pagelaran malam itu mereka latihan dua bulan. Semua yang dulu anggota GPL dan kini tersebar luas di seluruh Indonesia mereka surati. "Tentu saja, yang bisa dipastikan datang hanyalah yang berada di Jakarta dan Bandung," kata ir (pertanian) Benny Subardja, anggota GPL, yang malam itu juga bertindak selaku Ketua Penyusun Program. Adapun ide pagelaran ini, menurut Ketua Penyelenggara, drs Bagia Mulyadi, sarjana farmasi ITB, karena melihat menonjolnya musik kampus saat ini. "Kreasi mereka punya arti sendiri. Penyampaian pesan, kegerahan akan satu situasi, kritik-kritik mereka sampaikan dalam bentuk musik dan lagu yang begitu segar dan jenaka dan kadang terasa pedas," tulisnya dalam buku acara. Tapi sampai kapan grup-grup musik kampus ini bisa bertahan, terutama nanti setelah mereka menggondol gelar, lantas mereka bercerai? Entahlah tapi GPL ternyata tetap bisa dan malahan mengikutsertakan juga anggota baru, mahasiswa Unpad, sekitar 15 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus