DUA tahun tak terdengar kegiatannya, ternyata Grup Pencinta Lagu
(GPL) Unpad masih kompak dan tetap memikat. Jumat malam
pertengahan November lalu, di Balai Sidang Senayan bersama tiga
grup musik kampus yang lain, GPL tampil sebagai gong Pagelaran
Musik Kampus '79.
Setahun belakangan ini, sejak populernya OM PSP ("M" dari Moral
-- bukan Melayu -- Pancaran Sinar Petromaks), agaknya terbentuk
satu gambaran: musik yang datang dari kampus mesti urakan, mesti
nyentrik. PSP dari Fak Ilmu-ilmu Sosial UI, disusul dengan grup
sejenis di Fak Psilologi UGM (namanya Jet Set -- Jelek Tapi
Setil) dan di Fak Arsitektur UGM (namanya Jaran Goyang).
Kemudian, sekitar setahun yang lalu juga, muncul di jurusan
Geodesi ITB yang disebut Musik Dapur Geodesi (MDG) ITB. Memang
nyentrik sebagian besar instrumen alat-alat dapur beneran
gelas, piring, panci, baskom, penggorengan, ember plastik dan
banyak lagi.
Agaknya wajar bahwa grup-grup musik kampus memang tak bermaksud
menjadi grup profesional. Mereka lebih didorong semangat
mengisi waktu senggang. Atau seperti kata Atmojo, pimpinan Jes
Set "Kami hanya iseng." Dan konon MDG diilhami oleh protes
anak-anak ITB yang tinggal di asrama: menu asrama tak ada
variasi maka mereka memukul-mukul alat dapur yang ada.
Entah karena "iseng" itu masih terbawa serta, entah kita
sebetulnya telah jenuh dengan gaya nyentrik-nyentrikan tiga grup
musik kampus (Jet Set, MDG dan PSP) tak mengundang perhatian
malam itu. Apalagi Jet Set, terasa sekali sebagai buntut meski
muncul di Balai Sidang sebagai pembuka acara. Grup ini tentu
saja kalah pamor dengan PSP, karena lebih kurang hanya meniru
PSP. Grup sejenis yang satu lagi, Jaran Goyang, malam itu tak
serta.
Sementara PSP agaknya memang berusaha tampil dengan kejutan baru
membawa sejumlah anak gelandangan untuk joget di pentas. Dan
anak-anak itu mereka panggil dengan nama-nama seperti: Jim,
Peter, George. Sejak muncul orkes nyentrik ini memang telah suka
menyindir. Ketika musik dangdut belum mendapat pasaran di
kalangan gedongan, mereka muncul dengan dang-dut tapi lagu
Barat. Tentu saja ini sindiran yang tak menyakitkan, bahkan
terasa sebagai humor segar. Dan meskipun belum ada riset,
agaknya mereka ikut andil juga naiknya dangdut ke kalangan
gedungan.
Terasa Pedas
Dan MDG juga tak cukup menggetarkan Balai Sidang. Meski secara
visual memang menarik -- bayangkan saja kalau suara drum
ternyata keluar dari sejumlah ember plastik. Cuma kejutan mereka
itu dinetralisasi sendiri dengan masih mengikutsertakannya
instrumen beneran piano, gitar dan bas listrik. Tambahan lagi
lagu-lagu yang mereka bawakan tak orisinal maksudnya, bukan
tercipta berkat alat dapur.
Itulah ketika GPL muncul dan mengumandangkan lagu pertamanya
Haben, sebuah lagu Israel, suara yang keluar dari sekitar 40
mulur dari mereka yang suka mendaki gunung dan mengarungi hutan
ini, benar-benar membuat udara di Balai Sidang bergetar. Sekitar
10 lagu sempat mereka suguhkan. Malam itu sepertinya, GPL
mencoba meyakinkan penonton, bahwa musik kampus tak harus
nyentrik, tapi bisa juga serius. Dan mereka berhasil.
Grup ini muncul di Unpad delapan tahun lalu. Kemudian berhasil
merebut perhatian masyarakat. Sejumlah pagelarannya selalu
mengundang penonton. Taman Ismail Marzuki, pusat kesenian di
Jakarta, bahkan sempat mengundang mereka berkonser tunggal dua
kali -- Juni 1974 dan Oktober 1977. Yang mungkin menimbulkan
pertanyaan bagaimana Iwan Abdurachman yang kini telah ir masih
tetap bisa mengumpulkan sejumlah teman-temannya yang juga sudah
sarjana. "Karena dedikasi, mereka tetap datang ke Bandung pada
jadwal latihan yang sudah kami sepakati," katanya kepada TEMPO.
Menurut ceritanya, untuk pagelaran malam itu mereka latihan dua
bulan. Semua yang dulu anggota GPL dan kini tersebar luas di
seluruh Indonesia mereka surati. "Tentu saja, yang bisa
dipastikan datang hanyalah yang berada di Jakarta dan Bandung,"
kata ir (pertanian) Benny Subardja, anggota GPL, yang malam itu
juga bertindak selaku Ketua Penyusun Program.
Adapun ide pagelaran ini, menurut Ketua Penyelenggara, drs Bagia
Mulyadi, sarjana farmasi ITB, karena melihat menonjolnya musik
kampus saat ini. "Kreasi mereka punya arti sendiri. Penyampaian
pesan, kegerahan akan satu situasi, kritik-kritik mereka
sampaikan dalam bentuk musik dan lagu yang begitu segar dan
jenaka dan kadang terasa pedas," tulisnya dalam buku acara.
Tapi sampai kapan grup-grup musik kampus ini bisa bertahan,
terutama nanti setelah mereka menggondol gelar, lantas mereka
bercerai? Entahlah tapi GPL ternyata tetap bisa dan malahan
mengikutsertakan juga anggota baru, mahasiswa Unpad, sekitar 15
orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini