HAJI Oesman Effend (terkenal sebagai O.E.) lahir di Kota
Gedang, Padang, 28 Desember 1919. Dahulu dianggap sebagai tempat
berkubang masyarakat pengrajin. Nenek moyang OE adalah tukang
mas dan perak dengan para wanita yang ahli menenun dan menyulam.
OE bermula mendapat pendidikan teknik (KWS) yang mengantarkannya
ke kedudukan pegawai DKA (Djawatan Kereta Api). Tapi kemudian ia
memilih jadi orang bebas dan berjuang sebagai pelukis. Pernah
menjadi anggota DKJ dan dosen LPKJ Sudah 2 kali naik haji. Sejak
1973 kembali ke Padang dan mendirikan semacam Balai Budaya di
tempat itu.
Tanya: Mengapa anda undur ke Padang?
Jawab: Tatkala naik haji tahun 1971. saya memperoleh amanat,
bahwa begitu meninggal nanti, seluruh kekayaan dan pengetahuan
saya harus sudah dihibahkan kepada masyarakat. Lalu saya fikir
di mana lagi hal tersebut bisa dilaksanakan kalau bukan di
kampung. Setelah 38 tahun meninggalkan kampung, kini saya
kembali ke sana dan hidup tidak hanya sebagai seniman. Padahal
sebelumnya seumur hidup saya iak bisa bergaul dengan orang
Minangkabau. Sifat dan kebiasaan mereka tak bisa saya terima.
Kalau kita bicara dengan orang Minang, kita tak bisa bicara
terus terang -- ini terbawa karena adat hidup berkaum-kaum di
sana yang menyebabkan orang harus hati-hati.
T: Jadi anda sebenamya seorang pemberontak adat juga?
J: Dahulu pemberontak, sekarang tidak. Selama pengamatan saya 4
tahun ini saya melihat adat tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Dahulu saya berpendapat bahwa lukisan dan kehidupan pelukisnya,
harus dibedakan. Sekarang tidak. Saya mendirikan semacam Balai
Budaya sebagai bengkel kerja di sana. Saya berusaha
menjadikannya tempat berkumpul dan menyimpan arsip-arsip yang
bisa saya kumpulkan. Akibatnya saya tak bisa melukis setiap
hari.
T: Bagaimana anda membiayai hidup ?
J: Di tahun 50-an, dengan membuat ilustrasi buku, kita bisa
hidup 1 tahun. Sedang dari sebuah lukisan hisa hidup sampai 2
tahun. Waktu itu saya menabung dan beli tanah. Sekarang tanah
saya jual untuk kembali ke kampung. Saya tidak lagi hidup dari
lukisan, tapi dari uang deposito. Meskipun sedikit tapi untuk
hidup di kampung, cukup. Dahulu saya pernah bersemboyan seni
untuk seni dan bersikap masa bodoh. Sekarang seni bagi saya
untuk kehidupan, untuk menambah pengertian pada kehidupan. Jadi
lukisan boleh dikatakan sebagai pertanggungjawaban pada
kehidupan. Dengan sendirinya lukisan itu berfungsi sosial.
T: Apa anda tidak beranbisi jadi pelukis besar?
J: Ambisi itu masih ada. Sifat baru dari seni lukis saya, yang
saya harap akan menjadi sumbangan bagi senilukis nasional atau
internasional, terletak pada latar belakang ide. Cara
memanifestasikan ide. Apa hubungan ide dengan kehidupan manusia
itu sendiri. Saya ingin orisinil.
T: Anda pernah mengalakan kita belum punya cap Indonesia.
J: Dahulu saya mengatakan tak ada cap Indonesia, karena saya
lihat tendensi melukis bertolak dari madzhab yang berasal dari
luar diri kita. Manusia itu anak lingkungannya. Picasso
misalnya, yang katanya diterima di seluruh dunia, tak bisa lepas
dari tanah Spanyol. Tanah bagi saya sama dengan darah dari
manusia yang hidup di atasnya.
T: Bagaimana pendapat anda tentang Seni Rupa Baru Indonesia?
J: Saya percaya pada anak-anak muda itu. Tapi saya melihat
mereka bertolak dari sumber orang lain. Sumber-sumber yang saya
kenal betul. Mereka mulai dari puncak-puncak prestasi,
karya-karya besar orang-orang tersohor, tanpa melihat bagaimana
proses terjadinya karya itu.
T: Apa yang anda kejar clengan karya-karya anda sekarang?
J: Kesederhanaan yang mengejar sesuatu hakekat tertentu. Rudjito
bilang, warna misalnya tak mendukung ide, atau tak masuk dalam
pameran saya yang sekarang. Bagi saya yang penting adalah
kesederhanaan jiwa. Bagaimana dengan sesuatu yang minimum, bisa
mencapai yang maksimum.
T: Bagaimana cara anda bekerja?
J: Saya tak bisa bekerja kalau tidak ada sesuatu yang baru yang
hendak saya kerjakan. Dalam bekerja saya selalu memakai musik.
Itu bisa menolong dan sering membuka jalan. Bahkan seirng kalau
lukisan selesai, saya adu dengan musik. Dapatkah karya saya itu
mengimbangi musik yang sedang saya putar. Kalau tidak bisa, saya
anggap gagal. Saya sangat iri kepada mereka yang setiap hari
bisa melukis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini