Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Orang sederhana dari pedalaman

Setelah 38 tahun merantau, oesman effendi pulang kampung ke padang. ia ingin menghibahkan kekayaan dan pengetahuannya di kampung. untuk itu ia mendirikan bengkel kerja semacam balai budaya di sana.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Oesman Effend (terkenal sebagai O.E.) lahir di Kota Gedang, Padang, 28 Desember 1919. Dahulu dianggap sebagai tempat berkubang masyarakat pengrajin. Nenek moyang OE adalah tukang mas dan perak dengan para wanita yang ahli menenun dan menyulam. OE bermula mendapat pendidikan teknik (KWS) yang mengantarkannya ke kedudukan pegawai DKA (Djawatan Kereta Api). Tapi kemudian ia memilih jadi orang bebas dan berjuang sebagai pelukis. Pernah menjadi anggota DKJ dan dosen LPKJ Sudah 2 kali naik haji. Sejak 1973 kembali ke Padang dan mendirikan semacam Balai Budaya di tempat itu. Tanya: Mengapa anda undur ke Padang? Jawab: Tatkala naik haji tahun 1971. saya memperoleh amanat, bahwa begitu meninggal nanti, seluruh kekayaan dan pengetahuan saya harus sudah dihibahkan kepada masyarakat. Lalu saya fikir di mana lagi hal tersebut bisa dilaksanakan kalau bukan di kampung. Setelah 38 tahun meninggalkan kampung, kini saya kembali ke sana dan hidup tidak hanya sebagai seniman. Padahal sebelumnya seumur hidup saya iak bisa bergaul dengan orang Minangkabau. Sifat dan kebiasaan mereka tak bisa saya terima. Kalau kita bicara dengan orang Minang, kita tak bisa bicara terus terang -- ini terbawa karena adat hidup berkaum-kaum di sana yang menyebabkan orang harus hati-hati. T: Jadi anda sebenamya seorang pemberontak adat juga? J: Dahulu pemberontak, sekarang tidak. Selama pengamatan saya 4 tahun ini saya melihat adat tak bisa dikesampingkan begitu saja. Dahulu saya berpendapat bahwa lukisan dan kehidupan pelukisnya, harus dibedakan. Sekarang tidak. Saya mendirikan semacam Balai Budaya sebagai bengkel kerja di sana. Saya berusaha menjadikannya tempat berkumpul dan menyimpan arsip-arsip yang bisa saya kumpulkan. Akibatnya saya tak bisa melukis setiap hari. T: Bagaimana anda membiayai hidup ? J: Di tahun 50-an, dengan membuat ilustrasi buku, kita bisa hidup 1 tahun. Sedang dari sebuah lukisan hisa hidup sampai 2 tahun. Waktu itu saya menabung dan beli tanah. Sekarang tanah saya jual untuk kembali ke kampung. Saya tidak lagi hidup dari lukisan, tapi dari uang deposito. Meskipun sedikit tapi untuk hidup di kampung, cukup. Dahulu saya pernah bersemboyan seni untuk seni dan bersikap masa bodoh. Sekarang seni bagi saya untuk kehidupan, untuk menambah pengertian pada kehidupan. Jadi lukisan boleh dikatakan sebagai pertanggungjawaban pada kehidupan. Dengan sendirinya lukisan itu berfungsi sosial. T: Apa anda tidak beranbisi jadi pelukis besar? J: Ambisi itu masih ada. Sifat baru dari seni lukis saya, yang saya harap akan menjadi sumbangan bagi senilukis nasional atau internasional, terletak pada latar belakang ide. Cara memanifestasikan ide. Apa hubungan ide dengan kehidupan manusia itu sendiri. Saya ingin orisinil. T: Anda pernah mengalakan kita belum punya cap Indonesia. J: Dahulu saya mengatakan tak ada cap Indonesia, karena saya lihat tendensi melukis bertolak dari madzhab yang berasal dari luar diri kita. Manusia itu anak lingkungannya. Picasso misalnya, yang katanya diterima di seluruh dunia, tak bisa lepas dari tanah Spanyol. Tanah bagi saya sama dengan darah dari manusia yang hidup di atasnya. T: Bagaimana pendapat anda tentang Seni Rupa Baru Indonesia? J: Saya percaya pada anak-anak muda itu. Tapi saya melihat mereka bertolak dari sumber orang lain. Sumber-sumber yang saya kenal betul. Mereka mulai dari puncak-puncak prestasi, karya-karya besar orang-orang tersohor, tanpa melihat bagaimana proses terjadinya karya itu. T: Apa yang anda kejar clengan karya-karya anda sekarang? J: Kesederhanaan yang mengejar sesuatu hakekat tertentu. Rudjito bilang, warna misalnya tak mendukung ide, atau tak masuk dalam pameran saya yang sekarang. Bagi saya yang penting adalah kesederhanaan jiwa. Bagaimana dengan sesuatu yang minimum, bisa mencapai yang maksimum. T: Bagaimana cara anda bekerja? J: Saya tak bisa bekerja kalau tidak ada sesuatu yang baru yang hendak saya kerjakan. Dalam bekerja saya selalu memakai musik. Itu bisa menolong dan sering membuka jalan. Bahkan seirng kalau lukisan selesai, saya adu dengan musik. Dapatkah karya saya itu mengimbangi musik yang sedang saya putar. Kalau tidak bisa, saya anggap gagal. Saya sangat iri kepada mereka yang setiap hari bisa melukis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus