Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Nyawa Baru Kapten Kirk

Sutradara J.J. Abrams meniupkan roh baru ke dalam serial Star Trek. Mudah dicerna, dengan suspens dan kegembiraan yang melimpah.

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan film bioskop terakhirnya yang buruk, Neme­sis (2002), rasanya sulit untuk tidak percaya bahwa tamat sudah riwayat Star Trek. Tapi pemegang hak fiksi yang sudah berumur 40 tahun lebih itu rupanya tak menyerah begitu saja. Mereka mencoba lagi dan kali ini mereka tertolong oleh J.J. Abrams. Di tangan sutradara yang antara lain pernah ikut menggarap serial televisi Alias ini segala sesuatunya seperti hidup lagi, dengan pesona dan tata artistik yang sayang untuk dilewatkan.

Inilah film Star Trek yang paling memikat sejak 1979, ketika untuk pertama kalinya serial televisi hasil kreasi Gene Roddenberry ini dibuatkan versi layar lebarnya. Anda tak harus paham science fiction atau bahkan menjadi trekkie—penggemar fanatik Star Trek—un­tuk bisa menyelami ceritanya, dan me­nikmati suspens dan kegembira­an­ di dalamnya. Rasanya, siapa saja yang­ kesulitan mencerna gagasan tentang warp, makhluk bertelinga runcing, ­perjalanan menembus waktu, atau aneka hal ”ilmiah” lainnya bakal sejenak bisa mengabaikan mimpi buruknya itu.

Abrams, yang baru lahir ketika Star Trek pertama kali ditayangkan pada 1966, memulai epiknya ini dengan adegan yang menyalakan empati. Dalam­ tempo cepat, dia berpindahpindah antara dua fragmen: saat ibunda James Tiberius Kirk hendak melahirkan sang anak yang kelak menjadi kapten pesawat ruang angkasa USS Enterprise dan sebuah pertarungan antargalak­si yang timpang; sementara Nyonya Kirk mengejan, kesakitan, dan cemas, sang suami terpaksa mengorbankan diri demi keselamatan 800 awak pesawat yang baru saja dia pimpin dari serangan kaum Romulan, salah satu dari ras alien di semesta Star Trek.

Fokus film kesebelas dari rangkaian film Star Trek ini memang jalan hidup James (diperankan oleh Chris Pine). Ceritanya mengikuti kejadiankejadian penting yang mentransformasikan James dari seorang anak berandalan, angkuh, dan keras kepala menjadi kapten pesawat ruang angkasa milik United Federation of Planets, perhimpunan antarplanet di Galaksi Bima Sakti. Kamera pun mengikuti James kecil yang mengebut dengan mobil antik milik ayah tirinya dan berusaha kabur dari polisi yang mencegatnya, lalu saat James dewasa berulah di bar dan memancing timbulnya perkelahian.

Seraya memperkenalkan karakter James, Abrams bersama tim efek khususnya memamerkan mahakarya yang sulit untuk membuat kita tak berdecak kagum: di latar belakang, saat James akhirnya mengikuti ajakan Kapten Pike untuk bergabung menjadi penerbang ruang angkasa, di balik kabut tipis pagi hari di sebuah tempat di Iowa terlihat galangan kapal ruang angkasa gigantis milik bumi.

Pada saat yang sama, nun di Pla­net Vulcan, 16 tahun cahaya dari bumi, Spock juga sedang menjalani proses­ menuju kedewasaan. Blasteran seorang Vulcan dengan manusia yang kelak menjadi tangan kanan James ini risau terhadap jati dirinya. Dia cerdas, tapi beremosi labil—dua sisi dari watak dasarnya yang menunjukkan asalusulnya. ”Kau akan selalu menjadi anak dari dua dunia, dan sepenuhnya sanggup memutuskan nasibmu sendiri. Pertanyaan yang kau hadapi: jalan mana yang akan kau pilih?” kata ayahnya. Zachary Quinto (pemeran Sylar dalam serial Heroes) begitu impresif menghadirkan sosok Spock.

Abrams bekerja dengan kelasnya. Dia menata uruturutan adegan yang begitu mengalir dan mudah dicerna. Dia tahu kapan saatnya memberi penonton apa yang mereka mau dan kapan harus menahan diri. Dan tentu saja dia sangat dibantu oleh skenario Roberto Orci dan Alex Kurtzman (The Transformers), yang memang tak menyediakan ruang untuk ”mati angin”, termasuk dengan menyelipkan humor segar di sanasini. Tak kalah pentingnya: para pemain tahu persis bagaimana menjadikan setiap peran mereka bersinar.

Satusatunya kekurangan adalah minimnya latar belakang Nero, sang antagonis yang datang dari masa depan dengan dendam meluap dan berniat mengubah takdir. Tapi hal ini tak mengurangi kesan yang bakal timbul selepas menonton: rasanya akan sulit untuk tidak mengatakan, meminjam salam kaum Vulcan, ”May it live long and prosper.” Betul, jayalah—dan semoga segera ada sekuelnya.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus