Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah
Setiap periode kekuasaan berpotensi menjadi ladang pembantaian kata-kata. Sebagai konsekuensi dari buruknya praktek politik semasa, kata-kata tertentu mengalami penurunan makna. Konotasi pemaknaan kata-kata itu terdegradasi dari netral atau positif menjadi negatif.
Untuk memelihara kediktatoran personal selama Demokrasi Terpimpin, Soekarno menggunakan frasa ”revolusi belum selesai” sebagai semacam azimat. Atas nama frasa itulah Partai Sosialis Indonesia dan Masjumi dibekukan, lagu-lagu Koes Plus dilarang, bahkan beberapa tokoh dipenjarakan tanpa pengadilan.
Kata ”revolusi” pun terdegradasi maknanya. Selama masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), kata itu disemati arti mulia: kehendak sebuah bangsa untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan hingga titik darah penghabisan. Namun, selepas Demokrasi Terpimpin, ”revolusi” terperosok menjadi semacam sebuah cara untuk membungkam keragaman dan hak-hak publik untuk dan atas nama kekuasaan sang Pemimpin Besar.
Azimat lain digunakan Soeharto untuk mengelola kediktatoran personal selama era Orde Baru: pembangunan. Atas nama ”pembangunan”, oposisi diharamkan, perbedaan ditenggelamkan di bawah penyeragaman, kekerasan aparatur kekuasaan terhadap masyarakat dihalalkan, media masa dibredel, mahasiswa dibungkam, dan rakyat dicabut hak-haknya semau penguasa.
”Pembangunan” dibantai dan dihancurkan maknanya. Ia tak lagi bermakna sebagai ”ikhtiar untuk mengubah keadaan dunia masa lampau yang tidak sesuai dengan cita-cita kehidupan manusia lahir maupun batin dengan tujuan agar mewariskan masa depan yang membahagiakan bagi generasi yang akan datang” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001). Maknanya bahkan menjadi berbanding terbalik dengan itu.
Sejarah politik kita hingga hari ini pun memposisikan sejumlah kata sebagai korban: aman, sesuai, stabil, tumbuh, janji, pemimpin. Daftar kata yang telah dan tengah mengalami penurunan makna ini bisa dibuat lebih panjang. Himpunan kata bernasib buruk ini seolah menggarisbawahi adagium ”Sistem politik yang sehat memuliakan kata-kata, sistem politik yang sakit mengotorinya”.
Demokratisasi yang mengharu-biru kita sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu tak serta-merta menyehatkan sistem politik kita dalam sekejap. Kekurangmampuan kita mengelola proses demokratisasi bukan saja memperlamban penyehatan sistem politik, melainkan juga potensial menggagalkan pemuliaan atau netralisasi sejumlah kata.
Centang-perenang pertarungan politik di antara partai-partai, sekadar misal, membuat kemuliaan atau setidaknya netralitas kata ”partai”, ”politik”, ”politikus”, dan bahkan ”demokrasi” tak terjaga. Alih-alih, kata-kata itu hari-hari ini lebih sering disemati beragam pengertian yang berkonotasi buruk.
”Koalisi” adalah contoh lain dari kata yang bernasib buruk. Dari balik kesibukan politikus dan partai politik bertarung dalam pemilihan presiden hari-hari ini yang kita temukan adalah degradasi kata ini. Ia cenderung dimaknai sebagai upaya elite dan partai untuk menyatukan kepentingan mereka yang sempit, sepihak, dan tak berurusan dengan hajat hidup dan kesejahteraan orang banyak.
Padahal umumnya kamus ilmu politik mengartikan ”koalisi” secara netral sebagai ”penyatuan sementara sejumlah partai yang memiliki kepentingan serupa untuk memperkuat pemerintahan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, juga cenderung memberikan makna yang sama netralnya: ”kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen”.
”Koalisi” dibawa masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagai serapan dari bahasa Inggris. Dilihat dari asal-usulnya yang lebih jauh, ia berasal dari bahasa Latin, mulai digunakan pada awal abad ke-17. Sejalan dengan perkembangan (kehidupan dan ilmu) politik yang semakin modern, kata ini kemudian banyak digunakan sejak akhir abad ke-18.
Berkenaan dengan degradasi kata ”koalisi”, bahasa Indonesia tampaknya tak sendirian. Dalam beragam bahasa lain, ia juga terkotori oleh praktek politik yang bersumbu kepentingan elite dan berjauhan dengan hajat orang banyak.
Alhasil, sebuah pelajaran penting mesti kita garis bawahi: bahasa tak pernah bisa tumbuh dalam ruang hampa politik. Karena itu, pemeliharaan makna kata bukanlah sekadar urusan para penggiat bahasa. Ikhtiar ini hanya akan elok hasilnya manakala digalang di tengah penyehatan lingkungan politik yang memutari dunia kebahasaan.
Maka para penggiat bahasa dan aktivis politik selayaknya memadupadankan langkah mereka. Sebab, di tengah sistem politik yang sakit, sungguh sulit berharap akan bahasa yang bugar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo