Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pada mulanya memang tari

Dramatari menak cina ternyata memikat penonton setelah dua kali tampil di tim. dramatari ini dipentaskan penuh dengan semangat tari yang murni ketimbang ciptaan lain yang penuh cerita dan pesan.(tr)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK drama tari disusun dengan hasil sang koreograf mendadak berlaku sepeti penulis skenario. Tari ia perlakukan hanya sebagai sesuatu yang aksidentil, menempel. Tari itu tak bercerita, melainkan cerita itu ber-tari. Ibarat seorang pelukis, misalnya Affandi, yang tak lagi mengguratkan cat sepenuh hatinya ke atas kanvas, melainkan jadi penggambar komik. Di dalam hal itu yang pokok adalah jalan cerita, yang ingin dipatuhi serapi mimgkin. Tari tinggal melingkar-lingkar mendukung kerangka drama, dicocok-cocokkan. Dan pada saat kita tak tertarik pada ceritanya -- seperti biasanya bila kita menonton "drama tari" -- maka tak banyak lagi yang tersisa untuk diikuti. Kita menguap. Tapi Menak Cina berbeda. Drama tari ini sudah dua kali selama tiga tahun terakhir dipentaskan di TIM. Yang pertama Mei 1973 dan yang kedua April 1976 oleh kelompok Jaya Budaya. Keduanya membuktikan bahwa "wayang orang golek" ini menang memikat sebab ia selalu punya kelonggaran untuk diciptakan kembali. Sebab pada mulanya bukanlah cerita. Dalam Menak Cina, pada mulanya adalah gerak. Cerita Menak sendiri bukanlah cerita yang bisa menarik hati sampai tua: bolak-balik toh yang dikisahkan hanya berputar pada permusuhan tokoh Amir Ambyah dengan Prabu Nursewan. Tapi memang bukan dari situ sejarah Menak Cina bermula. Seperti dijelaskan brosur. Ide penciptaan tari ini dikemukakan konon oleh Hamengku Buwono VIII. Yang ingin diciptakan bukanlah suatu tema, melainkan rangkaian gerak. Gerak itu adalah "imitasi" gerak golek, boneka kayu dalam jenis wayang yang dulu populer di daerah pantai. Berdasar ide Sultan, Pangeran Purbaningrat menciptakan tari itu. Ia dibantu oleh sejumlah tari dan gending kraton Yogya: Panji Tomoprawiro, Sosroprawiro, Atmonetyo, Kintoko dan Kusworogo. Yang disebut terakhir ini adalah orang yang melatih tari dasar buat Menak Cina -- yang kemudian diolah lebih lanjut oleh Sardono W. Kusumo dan S. Kardiono. Pendeknya, latar sejarah Menak Cina adalah pencarian dan keasyikan akan gerak dan ekspresi -- yang pastilah punya semangat tari yang lebih murni ketimbang sejumlah ciptaan lain yang disusun oleh orang yang lebih sibuk dengan "cerita", "pesan", dan mungkin juga "upacara". Tak mengherankan, bila di dalamnya terasa gerak merupakan pusat segala-galanya, penuh keyakinan akan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tak usah tergantung pada kerangka di luar dirinya. Maka Menak Cina merupakan tantangan bukan buat seorang penata tari. Ia terutama adalah tantangan buat penari: sejauh mana ia intens "mengalami" apa yang ia tafsirkan sebagai watak dan nasib perannya. Kurang Pas Dan dari dalamnyalah penari yang unggul memang muncul. Pertama adalah Maruti, sebagai Puteri Cina. Sastrawan Mh. Rustandi Kartakusuma pernah memujinya dengan berkata, "tari adalah Maruti". Dalam Menak Cina kali ini ketimbang dalam pementasan tiga tahun yang lalu, Maruti terasa lebih bebas menguasai ruang dengan kehalusannya yang tersembunyi di balik tampang golek. S. Kardjono (sebagai Kewusnendar) mempesona, bukan saja karena padanya sudah luluh sintesis antara gerak "gagah" yang hidup dengan gerak golek yang mati (dan beksan golek mendapatkan aksentuasinya di situ), tapi karena ia setiap momen bisa menciptakan klimaks baru pada bagian-bagian lakon yang memerlukannya. Sardono W. Kusumo bermain sebentar sebagai Raja Hong Te Te. Meskipun ia terasa lebih tampil sebagai penari salo (bukan Sala) dalam peran kecil itu, tapi tampak cukup: pada seorang seniman tari yang ulung gerak menjadi semurni-murninya peng-intens-an kehidupan batin. Dari sana tegak suatu dunia suasana yang mungkin tak terulangi di luar pentas. Tapi betapapun Menak Cina bukanlah parade para penari individuil. Di samping ketiga nama tadi, pada umumnya, para penari lain bisa diandalkan, misalnya Ati sebagai Sudaraweti, dan Yudi (?) sebagai Umar Maya. Hanya terasa komposisi drama tari ini agak kurang pas. Lakon diseling-seling oleh beberapa adegan humoristis. Tapi ada yang, menurut hemat saya yang awam ini, kurang enak tempatnya. Adegan perang Umar Maya misalnya, agak dipaksakan dalam menyulapnya jadi lucu. Sebab sang Marmaya, penasehat Wong Agung, sebelumnya ditampilkan dengan kewibawaan yang wajar yang tak mungkin ditertawakan. Namun pembaruan-pembaruan seperti dialog rangkap antara 4 penari sekaligus, memang hidup, tanpa menjadi mengejutkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus