BANYAK drama tari disusun dengan hasil sang koreograf mendadak
berlaku sepeti penulis skenario. Tari ia perlakukan hanya
sebagai sesuatu yang aksidentil, menempel. Tari itu tak
bercerita, melainkan cerita itu ber-tari. Ibarat seorang
pelukis, misalnya Affandi, yang tak lagi mengguratkan cat
sepenuh hatinya ke atas kanvas, melainkan jadi penggambar komik.
Di dalam hal itu yang pokok adalah jalan cerita, yang ingin
dipatuhi serapi mimgkin. Tari tinggal melingkar-lingkar
mendukung kerangka drama, dicocok-cocokkan. Dan pada saat kita
tak tertarik pada ceritanya -- seperti biasanya bila kita
menonton "drama tari" -- maka tak banyak lagi yang tersisa untuk
diikuti. Kita menguap.
Tapi Menak Cina berbeda. Drama tari ini sudah dua kali selama
tiga tahun terakhir dipentaskan di TIM. Yang pertama Mei 1973
dan yang kedua April 1976 oleh kelompok Jaya Budaya. Keduanya
membuktikan bahwa "wayang orang golek" ini menang memikat sebab
ia selalu punya kelonggaran untuk diciptakan kembali. Sebab
pada mulanya bukanlah cerita. Dalam Menak Cina, pada mulanya
adalah gerak.
Cerita Menak sendiri bukanlah cerita yang bisa menarik hati
sampai tua: bolak-balik toh yang dikisahkan hanya berputar pada
permusuhan tokoh Amir Ambyah dengan Prabu Nursewan. Tapi memang
bukan dari situ sejarah Menak Cina bermula. Seperti dijelaskan
brosur. Ide penciptaan tari ini dikemukakan konon oleh Hamengku
Buwono VIII. Yang ingin diciptakan bukanlah suatu tema,
melainkan rangkaian gerak. Gerak itu adalah "imitasi" gerak
golek, boneka kayu dalam jenis wayang yang dulu populer di
daerah pantai. Berdasar ide Sultan, Pangeran Purbaningrat
menciptakan tari itu. Ia dibantu oleh sejumlah tari dan gending
kraton Yogya: Panji Tomoprawiro, Sosroprawiro, Atmonetyo,
Kintoko dan Kusworogo. Yang disebut terakhir ini adalah orang
yang melatih tari dasar buat Menak Cina -- yang kemudian diolah
lebih lanjut oleh Sardono W. Kusumo dan S. Kardiono.
Pendeknya, latar sejarah Menak Cina adalah pencarian dan
keasyikan akan gerak dan ekspresi -- yang pastilah punya
semangat tari yang lebih murni ketimbang sejumlah ciptaan lain
yang disusun oleh orang yang lebih sibuk dengan "cerita",
"pesan", dan mungkin juga "upacara". Tak mengherankan, bila di
dalamnya terasa gerak merupakan pusat segala-galanya, penuh
keyakinan akan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang tak usah
tergantung pada kerangka di luar dirinya. Maka Menak Cina
merupakan tantangan bukan buat seorang penata tari. Ia terutama
adalah tantangan buat penari: sejauh mana ia intens "mengalami"
apa yang ia tafsirkan sebagai watak dan nasib perannya.
Kurang Pas
Dan dari dalamnyalah penari yang unggul memang muncul. Pertama
adalah Maruti, sebagai Puteri Cina. Sastrawan Mh. Rustandi
Kartakusuma pernah memujinya dengan berkata, "tari adalah
Maruti". Dalam Menak Cina kali ini ketimbang dalam pementasan
tiga tahun yang lalu, Maruti terasa lebih bebas menguasai ruang
dengan kehalusannya yang tersembunyi di balik tampang golek. S.
Kardjono (sebagai Kewusnendar) mempesona, bukan saja karena
padanya sudah luluh sintesis antara gerak "gagah" yang hidup
dengan gerak golek yang mati (dan beksan golek mendapatkan
aksentuasinya di situ), tapi karena ia setiap momen bisa
menciptakan klimaks baru pada bagian-bagian lakon yang
memerlukannya. Sardono W. Kusumo bermain sebentar sebagai Raja
Hong Te Te. Meskipun ia terasa lebih tampil sebagai penari salo
(bukan Sala) dalam peran kecil itu, tapi tampak cukup: pada
seorang seniman tari yang ulung gerak menjadi semurni-murninya
peng-intens-an kehidupan batin. Dari sana tegak suatu dunia
suasana yang mungkin tak terulangi di luar pentas.
Tapi betapapun Menak Cina bukanlah parade para penari
individuil. Di samping ketiga nama tadi, pada umumnya, para
penari lain bisa diandalkan, misalnya Ati sebagai Sudaraweti,
dan Yudi (?) sebagai Umar Maya. Hanya terasa komposisi drama
tari ini agak kurang pas. Lakon diseling-seling oleh beberapa
adegan humoristis. Tapi ada yang, menurut hemat saya yang awam
ini, kurang enak tempatnya. Adegan perang Umar Maya misalnya,
agak dipaksakan dalam menyulapnya jadi lucu. Sebab sang
Marmaya, penasehat Wong Agung, sebelumnya ditampilkan dengan
kewibawaan yang wajar yang tak mungkin ditertawakan. Namun
pembaruan-pembaruan seperti dialog rangkap antara 4 penari
sekaligus, memang hidup, tanpa menjadi mengejutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini