SELASA pagi 9 Maret lalu, letusan senjata menggelegar di Ratahan
Minahasa. Penduduk yang sudah asing dengan bunyi ledakan mesiu
di masa aman begini, agak terkejut. Lebih terkejut pula Dan Dis
Kepolisian Rathan, Lettu S. Mamiasa yang saat itu sedang berada
di kantornya, tak jauh dari suara tembakan tadi. Tentu
keterkejutan sang Komandan Polisi sangat beralasan karena
menyangkut tanggung jawab Kamtibmas yang ada di tangannya.
Lebih dari itu suatu hal yang membuat orang tua ini sangat
cemas, karena bunyi yang tak sedap itu datangnya dari arah
penginapan Ratahan di mana ia tunggal bersama keluarganya.
Apalagi ia tahu pasti bahwa sepucuk pistol Colt kaliber 38 mm
miliknya, berada di kamar penginapan itu -- tersimpan di dalam
tasnya. Senjata ini memang biasa ditinggalkan begitu saja di
rumah oleh Mamiasa, kecuali bila hendak berdinas ke luar.
Merangkul
Untuk memastikan apa yang terjadi dengan sebutir peluru yang
meledak tadi, letnan itu memerintahkan seorang anak buahnya
mengecek tempat kejadian. Tapi dengan cepat berita telah datang
sendiri. Seorang anak dari komandan itu sendiri lari
tergopoh-gopoh. "Pak, Debora sudah bunuh diri dengan senjata",
ucap anak itu dengan wajah pucat dan suara yang tak lancar.
Letnan Mamiasa dengan sekujur tubuh yang hampir kehilangan
semangat bergegas pulang ke peninapan. Di sana sudah mulai
berkerumun tetangga, bahkan terdengar raungan dan tagis. Letnan
polisi itu segera menubruk ke kamar, dan mendapati anak gadis
kesayangan keluarganya -- Debora -- sedang tertelungkup di tepi
ranjang. Darahmengucur dari punggung kiri dan dada-. nya. "Bok .
. . Bok . . . Bok . . . mengapa kau sayang . . . ?" terdengar
suara sang ayah memanggil nama kesayangan untuk Debora, sambil
merangkul tubuh yang terkulai lemah itu. Tak ada jawaban, karena
bunyi maut yang terdengar tadi, sekqap saja telah mengantar
Debora pergi untuk tak kembali. Bekas peluru yang mengoyak dada
kiri yang mungil itu menembus ke punggung dan dinding kamar
tempat kejadian.
Sebentar saja berita sedih telah mencekam wilayah Ratahan dan
sekitarnya. Soalnya siapa yang tak kenal dan sayang pada Debora
si anak komandan yang cantik jelita itu. Ia adalah siswi SMA
Negeri Ratahan kelas dua, merupakan siswa pujaan dan harapan di
sekolahnya "karena di samping suaranya bagus dan pandai
menyanyi, Debora adalah anak yang baik di sekolah, tergolong
sedang dalam pelajaran". tutur Kaligis. "Sehari sebelumnya
Debora masih masuk sekolah dan mengikuti upacara bendera. Dalam
upacara itu kebetulan sekali saya memberikan nasihat kepada para
siswa agar semakin berilmu hendaknya menggunakan ratio dan
menekan emosi dalam hidup sehari-hari", kata Direktur SMA
Ratahan itu, yang nadanya menyesalkan kenekadan Debora yang
berdasarkan emosi itu.
Kelewat Hanyut
Lalu apa yang mendorong si belia nan jelita ini berbuat nekad
menutup usianya yang baru 16 tahun? "Memang ada ceritanya yang
panjang" tutur Komandan Koramil Ratahan, Pelda Olden Manoppo
yang kenal dekat kehidupan Debora, dan konon masih sering
melihat Debora dalam mimpinya. Debora memang cantik dan pintar
menyanyi sehingga tak pelak ia menjadi idaman kaum remaja. Di
samping menyanyi untuk sekolahnya, bila ada acara khusus dan
kesenian, Debora juga mulai populer namanya di wilayah Ratahan,
Belang dan Tombatu. Di samping di sekolah, ia pun getol berada
di atas panggung sebagai seorang penyanyi mengiringi grup musik
Kolintang Flamboyan atau Finish yang dipimpin oleh Yansen
Patiro. Selain diundang ke pesta-pesta, Debora acap kali pula
hadir di panggung untuk membantu aksi-aksi sosial pengumpulan
dana pembangunan. Tapi agaknya Debora kelewat hanyut dengan
irama lagu untuk mengejar karirnya, sehingga buku pelajaran di
sekolah menjadi kurang diperhatikan.
Terakhir ia mulai banyak absen di sekolah" tutur gurunya. Dan
ini bukan tidak menjadi perhatian orang tuanya. Pagi hari Selasa
itu, sebelum ayahnya berangkat ke kantor, dan ibu pergi ke pasar
-- Debora yang kelihatan tidak bersiap untuk ke sekolah, sempat
ditanya oleh ayahnya. "Debora mengapa tidak ke sekolah? Mau
pilih sekolah atau pilih menyanyi", tanya si ayah tegas. Debora
yang ditanya, menjawab "pilih sekolah", walaupun ternyata
kemudian ia memilih sebutir peluru untuk mengakhiri perasaannya
yang tertekan dan kurang mengerti tentang maksud baik orang tua.
Siapa Kekasih
Beberapa hari sebelumnya memang sudah tumbuh biang kecewa di
kalbu Debora. Hari itu ada rencana untuk mengadakan pertunjukan
di Belang. Yansen Patiro, pemimpin grup Kolintang Flamboyan --
yang selama ini nampaknya sudah sangat intim pergaulannya dengan
Debora selain hubungan di atas panggung -- datang ke rumah
Debora untuk mengajaknya ke Belang. Tapi ayah Debora yang sudah
ambil garis tegas demi kelanjutan sekolah anaknya, dengan tegas
pula memutuskan. "Debora bukan penyanyi bayaran. Sekarang dia
dilarang pergi ke Belang. Menyanyi itu boleh kalau hanya di
Ratahan, dan untuk menyumbang aksi amal", tegas Mamiasa. Tapi
keputusan ini disanggah sang pemula, yang konon mengeluarkan
ucapan yang tak sedap didengar orang tua Debora. "Kalau begitu,
Debora mau dibayar berapa?" kata si pemuda. Ucapan ini membuat
ayah Debora marah pada Yansen.
Sejak inilah Debora memiliki sikap yang lain di rumah, maupun di
sekolah. Malahan diam-diam ia merencanakan sesuatu yang nekad.
Sehari sebelum berada di ujung laras pistol, Debora mengunjungi
semua teman sekolah dan kenalan terdekat. Ia mengucapkan selamat
berpisah dengan alasan, besoknya hari Selasa sudah akan berlayar
ke Maluku Utara dan tak akan kembali lagi. Semua rekan-rekan
bersedih untuk kepergian Debora yang baik ini. Tak tahu bahwa
kepergian Debora adalah untuk seterusnya. Bukan ke Maluku tapi
ke alam baka lewat caranya sendiri.
Untuk yang ditinggalkan, ada pesanan lewat surat yang tersisip
di bawah kasurnya. Untuk siapa kalau bukan untuk ayah dan bunda
dan kekasih. Tapi siapa kekasih Debora? Pemuda Yansen sendiri
sehari sebelum peristiwa, telah lenyap dari Ratahan dan tak
pernah nampak lagi hidungnya. Konon tiga hari kemudian muncul
seorang pemuda bernama Ipek dari perusahaan rokok Fortune yang
meraung-raung menangisi kepergian kekasihnya Debora. Tapi sayang
kisah asmara itu berakhir di sisi pusara. Sementara misteri itu
masih menganga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini