Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tafsir Modern Karya Pak Kanjeng

Sebuah usaha untuk "mengkontemporerkan" karya Ki Tjokro dilakukan oleh komponis muda Yogyakarta.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di panggung Purna Budaya, Yogya, muncul I G. Bagus Wiswakarma. Lulusan Hochschule fuer Music und Theater Hamburg itu muncul dengan biolinnya. Di sampingnya, Asep Hidayat, yang pernah bermain dalam Heinrich Schueltz Ensemble, sebuah orkes terkenal di Jepang, dengan cello. Di belakang mereka, seperangkat musik gamelan yang sebagian besar niyaganya warga Jepang dan Amerika. Bersama-sama, mereka memainkan tembang sosial Pak Tjokro, Kuwi Apa Kuwi.

Harmonisasi berlangsung: biolin, cello, ansambel gamelan itu saling mengisi. Memang tak seperti minyak dan air, dan ada kesan masing-masing berjalan sendiri, tapi cukup enak didengar. "Kurang menep (mengendap)," kata pengamat musik Suka Hardjana. Menurut Suka, mencampurkan dua budaya besar yang memiliki estetika sendiri bukan hanya persoalan teknis. "Keduanya harus saling memiliki referensi yang kuat."

Upaya eksperimental ini bagian dari agenda selanjutnya Masyarakat Karawitan Jawa (Maskarja). "Kami ingin mengaransemen secara baru kira-kira 10 lagu Pak Tjokro, untuk diterbitkan dalam bentuk cakram padat," kata St. Sunardi. Sebagai koordinator Maskarja, ia mengundang siapa saja komposer Jakarta, Bandung (dan tentunya sponsor) yang berminat terlibat. Tafsir atas karya Pak Tjokro bisa melulu dengan instrumen Barat, atau "saling silang" seperti di atas: instrumen Barat dimainkan orang Indonesia, gamelan Jawa oleh orang luar.

Dalam sebuah wawancara pada 1974 yang dimuat dalam buku Seabad Kelahiran Empu Karawitan Ki Tjokrowasito (diterbitkan oleh Maskarja), Tjokro menyebut: musik pentatonis susah digabung dengan diatonis. Dan itu agaknya disadari oleh Maskarja. "Kami akan bereksprimen terus," kata Djohan Salim, dosen musik modern Institut Seni Indonesia (ISI), juga anggota Maskarja. Untuk penampilan di atas saja, Joko Lemazh, dosen musik tiup ISI yang menjadi "otak" aransemen, harus menggubah Kuwi Apa Kuwi menjadi notasi balok. Ia membutuhkan waktu sebulan untuk menghasilkan 23 halaman partitur.

Selain itu, latihan untuk menyelaraskan duet Asep-Bagus dan para niyaga yang juga makan waktu sebulan. Biolin dan cello tidak mendominasi seluruhnya. Untuk mempertahankan bentuk asli, Joko Lemazh memulai konsernya dengan melodi gending. Tapi, ketika masuk bagian inti atau motif lagu, duet biola-cello mengisi.

Di Purna Budaya, satu persoalan muncul tatkala mereka harus memainkan gamelan yang berbeda dengan gamelan saat latihan. "Tuning gamelan Pak Tjokro yang dipakai pentas tak sama dengan gamelan yang kita pakai latihan. Milik Pak Tjokro lebih tinggi," kata Joko Lemazh. Memang tidak ada standardisasi tuning dalam gamelan. Pernah ada dosen matematika Universitas Gadjah Mada bernama R.M. Wasitosuryodiningrat, M.Sc. mengukur pitch, tinggi nada gamelan. Hasilnya, gamelan satu dengan yang lain tuning-nya tidak ada yang sama. Bahkan, batang saron yang satu tidak sama dengan yang lain.

Lalu giliran seorang penafsir kontemporer, Djadug Ferianto. Sedari kecil, musisi bongsor ini adalah pengagum Ki Tjokro. Bersama alumni Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Djadug mengaransemen Lancaran Aja Ngono atau lebih dikenal dengan Jaran Teji. Tawa penonton meledak ketika sang konduktor memberikan aba-aba bukan berdasar partitur, tapi ramalan judi togel. Kenong atau peking, yang biasanya tidak ditempatkan pada solis, kali ini oleh Djadug berperan sebagai solis. Juga gong. Dalam komposisi gamelan, gong biasanya dipakai sebagai penutup, tapi Djadug memberinya nada-nada. "Saya ingin karya Pak Tjokro ini bisa berkembang dan tidak berhenti pada satu titik saja," ujar Djadug.

Di barisan terdepan, Tjokrowasito—sering disapa akrab Pak Kanjeng—menikmati. Kepalanya manggut-manggut. Ia tertawa, kala orkes mulut Jawa pimpinan Pardiman Djoyonegoro tampil kocak saat menyenandungkan lirik anti-korupsi Kuwi Apa Kuwi. Betul, kata Sutanto, penggiat seni di Mendut, empu tradisi justru bisa lebih terbuka pada karya mbeling. Ia ingat ketika karyanya Sketsa Ide yang memfungsikan bunyi mainan anak-anak ditampilkan di Pesta Komponis Muda, Jakarta, pada 1979. Saat itu "seniman-seniman modern" membantai karyanya, tapi Martopangrawit—maestro gamelan asal Solo—malah bersimpati. "Leres niku, Mas (benar itu, Mas), begitu itu seharusnya kesenian," kata sang Empu. Hal yang sama bisa diamati pada Tjokrowasito. Malam itu raut mukanya tampak tenang melihat karya-karyanya "dipermak".

Seno Joko Suyono, Lucia Idayanie, Heru C.N.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus