Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aistheta, pameran lukisan karya Goenawan Mohamad, berlangsung di Orasis Art Space, Surabaya, mulai 3 Juni hingga 13 Agustus 2023.
Menampilkan 50 lukisan yang menggambarkan perjalanan Goenawan sebagai perupa.
Pengamat menilai lukisan Goenawan seperti Catatan Pinggir-nya yang butuh dicerna sebelum mendapatkan pesannya.
Langkah tiga pengujung Orasis Art Space, Surabaya, mengelilingi ruang pameran itu terhenti sejenak di depan lukisan sosok perempuan berbusana serba-hitam. Berjudul Melati, potret cat minyak di kanvas berukuran 100 x 100 sentimeter itu menampilkan perempuan berambut pendek dengan tatapan mata tajam. “Ini lukisan Melati Suryodarmo, seniman seni rupa pertunjukan. Satu-satunya lukisan dalam pameran ini yang tak boleh dijual,” kata Zahwa E. Bella, pemandu pameran, pada Selasa petang, 20 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Goenawan Mohamad, pencipta Melati, merupakan perupa tunggal dalam pameran berjudul “Aistheta”, yang diselenggarakan sejak 3 Juni hingga 13 Agustus 2023. Sebanyak 50 karya lukis dipamerkan, perpaduan antara lukisan akrilik pada kanvas, drawing pada kertas, charcoal alias arang serta tinta, litografi, dan intaglio. Melati menjadi satu dari selusin lukisan cat minyak yang dipampang dalam galeri di Jalan Bukit Golf B2-25, Citraland, Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melati Suryodarmo mengatakan GM—demikian rekan dan kerabat memanggil Goenawan—melukis Melati berdasarkan imajinasinya. Hasilnya, Melati melanjutkan, sangat pas. Dia yakin potret diri yang dihadirkan oleh seorang perupa berakumulasi dengan impresi si pelukis tentang sosok yang dilukisnya.
Menurut Melati, Goenawan menangkap gambaran rupa dia dengan pengkarakteran yang unik, yang jarang dilihat orang lain. “Melihat lukisan GM, saya merasa seperti sedang becermin,” ujar Melati.
Melati karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggal "Aistheta" di Surabaya. TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Goenawan berpesan agar panitia pameran tidak menjual Melati sebagai wujud penghormatan dan kekaguman pada diri Melati. Melati mengatakan keputusan itu merupakan hak penuh Goenawan sebagai pelukis. “Lukisan hanya satu, berbeda dengan foto yang bisa dicetak lagi,” ujarnya. “Saya merasa tersanjung. Terima kasih untuk GM yang selalu mendukung kerja dan pemikiran saya.”
Kurator pameran, Wicaksono Adi, mengatakan perlu menggelar pameran karya Goenawan karena pendiri Majalah Tempo itu telah aktif sebagai profesional selama delapan tahun. “Dalam menyeleksi lukisan GM yang dipamerkan kali ini, pertimbangan saya yang pertama ialah menampilkan karya-karya yang mewakili keseluruhan perjalanan seni rupa dia,” kata Wicaksono.
Wicaksono mengatakan mesti ekstra selektif dalam seleksi tersebut karena proses kreatif perupa kelahiran Batang, pada 1941, itu banyak ragamnya. Di antara lebih dari 200 karya, Wicaksono melanjutkan, lukisan pena di kertas mencapai 150. Belum terhitung 70 karya grafis yang dihasilkan Goenawan dalam dua tahun terakhir, sejak dia belajar di studio grafis di Bali. Ada juga karya dari kapas, kendati tak sebanyak grafis dan kertas.
Pertimbangan kedua, kata Wicaksono, publik Surabaya perlu diperkenalkan tentang Goenawan sebagai perupa. Ia yakin nama besar Goenawan sebagai jurnalis dan kolumnis telah dikenal luas. Namun bukan Goenawan sebagai seniman.
Ketiga, lintas tema. Selama ini Goenawan berpameran tunggal dengan tema tertentu. Misalnya, ekshibisi bertema Potret di Magelang, Jawa Tengah. “Sehingga, untuk pameran kali ini, kami merangkum secara keseluruhan karya-karya GM dalam perjalanan kariernya sebagai seniman,” kata Wicaksono.
Dia menilai karya seni rupa Goenawan merupakan transformasi dari seorang penyair. Dalam penilaiannya, GM bukan termasuk penyair sosial seperti halnya W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Tukul, dan lain-lain. Jadi, Wicaksono melanjutkan, lukisan Goenawan merupakan lanjutan dari lirik, imaji, dan suasana yang dituangkan dalam karya-karya rupa. “Satu kekuatan karya GM sama dengan kekuatannya dalam puisi. Ia tak melukis berdasarkan ide atau tema-tema tertentu yang bersifat 'sosial politik', melainkan bertolak dari imaji,” kata Wicaksono.
Dia menyinggung tulisan-tulisan kritis Goenawan di media massa yang tak pernah menohok langsung pemerintah, melainkan menggali penolakan terhadap absolutisme, finalitas, hegemoni, dan kebenaran tunggal. “Dalam seni, GM cenderung menampilkan imajinasi tentang suasana manusia, alam, dan lingkungan. Ia tak hendak bercerita mengenai sesuatu,” ujar Wicaksono.
Dia mencontohkan Black Lives Matter yang menggambarkan Yesus telentang tak berdaya. Menurut Wicaksono, Goenawan ingin menyajikan suasana tentang situasi tersebut sehingga Yesus tak digambarkan seperti pada umumnya, melainkan dalam kondisi yang rapuh dan menderita.
Rendra sebagai Oedipus karya Goenawan Mohamad di pameran tunggal "Aistheta" di Surabaya TEMPO/Kukuh S. Wibowo
Contoh lain, Goenawan tidak akan membahas Rendra dalam karyanya Rendra sebagai Oedipus. Sebagai figur spesifik, Wicaksono melanjutkan, Rendra tak mesti dikenal setiap orang yang melihat karya Goenawan itu. Di situlah Goenawan memilih menampilkan Rendra sebagai Oedipus, lengkap dengan dandanannya. “Apa itu Oedipus, penonton dipersilakan mencari sendiri jawabannya, sehingga orang akan memiliki referensi tambahan tentang Rendra dan Oedipus,” kata dia.
Pengamat seni rupa Irawan Hadikusumo mengikuti perjalanan Goenawan Mohamad sejak ia mulai melukis. Irawan mengaku melihat perkembangan pesat dari berbagai aspek yang tecermin dari “keberanian” Goenawan mengikuti berbagai pameran, bahkan menggelar pameran tunggal. “Masuknya Mas Goen pada bidang baru ini cukup menggetarkan kancah seni rupa,” kata Irawan setelah menyaksikan pameran “Aistheta”.
Menyaksikan “Aistheta”, kata Irawan, tak ubahnya membaca “Catatan Pinggir”, kolom yang ditulis Goenawan setiap pekan di Majalah Tempo sejak 1977 sampai April 2023. Menurut Irawan, banyak orang tak langsung paham “Catatan Pinggir”. Perlu dicerna secara cermat sampai kemudian berhasil menangkap pesan yang ingin disampaikan. “Demikian pula ketika melihat lukisan-lukisan Mas Goen. Kita harus mengamati dengan cermat, baru selanjutnya menginterpretasikan apa-apa yang dimaksudkan,” ujarnya.
Pengunjung mengamati karya seni rupa karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggal bertajuk "Aistheta" di Surabaya, Jawa Timur, 3 Juni 2023. ANTARA/Rizal Hanafi
Direktur Pelaksana Orasis Art Space, Deby P. Dewi, mengatakan pameran tunggal Goenawan Mohamad sengaja dikemas secara privat dan eksklusif. Selain pengunjung wajib membeli tiket, jam berkunjung diatur dalam tiga sesi—pada pukul 11.00-13.00, pukul 13.30-15.30, dan pukul 16.00-18.00. Masing-masing sesi dibatasi maksimal 25 pengunjung.
Dengan tarif masuk Rp 88 ribu, pengunjung mendapat tur dengan pendampingan guide Orasis dan menikmati minuman di kafe. Pembatasan-pembatasan itu diharapkan membentuk interaksi yang lebih intens antara penikmat dan karya seni. “Lebih intim, dalam bahasa kami,” kata Deby. Menurut dia, konsep pameran eksklusif ini bertujuan membangun ekosistem berkesenian yang lebih sehat.
KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo