PRIMARY COLORS | Sutradara | : | Mike Nichols |
Skenario | : | Elaine May |
Pemain | : | John Travolta, Emma Thompson, Kathy Bates |
Seorang gubernur tampan. Seorang istri yang cerdas yang bahkan jauh lebih brilian dari sang suami. Dan seorang anak.
Sang gubernur, dari Partai Demokrat, disayangi rakyat kecil, terutama kaum minoritas. Sang istri menyokong karir politiknya sepenuhnya hingga ke kursi presiden. Cuma satu cacatnya, dan itu dianggap berlumur dosa: sang gubernur sangat mata keranjang. Pacarnya ada di setiap pojok kota, dan itu mempermudah musuh politik mana pun untuk menjatuhkan dia.
Tak sulit untuk membuat analogi sosok Gubernur Jack Stanton dengan Presiden AS Bill Clinton—yang pernah menjabat sebagai Gubernur Arkansas. Susan Stanton analog dengan Hillary Clinton, sosok Richard Jemmond dengan James Carville dan sebagian besar anggota tim kampanye Clinton—yang membawanya ke kursi kepresidenan—yang menjadi tokoh utama dalam film yang dibuat berdasarkan novel politik dengan judul yang sama ini.
Tapi ingat, ini sebuah novel. Artinya, dia harus dianggap fiktif meski sang penulis—yang menyebut dirinya Anonim—diilhami oleh tokoh-tokoh dan peristiwa nyata.
Syahdan, Gubernur Stanton—diperankan John Travolta, yang menampilkan sosok fisik Bill Clinton secara karikatural, bahkan sampai ke model rambutnya—dan istrinya tengah dalam perjalanan berkampanye ketika mereka bertemu dengan ahli strategi kampanye dari pihak lawannya, seorang pemuda idealis kulit hitam, Henry. Dari pandangan mata Henry ini, kita menyaksikan tingkah laku sang Gubernur; bagaiman dia dielu-elukan di Selatan AS dan bagaimana dia dicaci maki di New York; bagaimana dia bisa merebut hati warga minoritas dan usia lanjut dan bagaimana di setiap pojok kota dia memiliki kekasih yang pasti akan ditinggalkan segera.
Inilah film politik yang luar biasa. Seorang presiden (AS) memang lebih mudah divisualkan sebagai manusia biasa karena sosok ini tak dikeramatkan sebagai malaikat. Stanton akhirnya berhasil menjadi presiden, setelah beberapa orang kepercayaannya mengundurkan diri dan bahkan ada yang bunuh diri. Bersama istrinya, yang bergaun panjang menyapu lantai, Stanton berdansa di bawah naungan bendera AS yang melambai-lambai megah yang menandai sebuah kemenangan politik.
Terlepas dari karakter nyata yang menjadi ilham film ini, sutradara Mike Nichols dan penulis skenario Elaine May telah menyajikan sebuah perayaan sinema yang cemerlang. Sebuah dunia politik yang riuh rendah bagai pasar malam yang terus-menerus menawar harga diri para pemain politik. Ini memang bukan sesuatu yang baru.
Tapi yang membedakan film ini dengan film politik lainnya adalah karena pembaca novel dan penonton film ini sudah telanjur mengasosiasikan film ini dengan sosok Presiden AS dan lingkaran dalam presiden yang tingkah lakunya sungguh memualkan itu. Itu semua digambarkan dengan penggarapan sinematik yang cemerlang. Senyum palsu Stanton, sorot mata Susan Stanton yang dingin dan penuh ambisi, warga yang begitu lugu dan percaya pada mulut politisi yang penuh bual, orang-orang terdekat Gubernur (calon presiden) yang gemar menjilat adalah sosok-sosok yang menjadi boneka parodi yang menggelikan yang divisualkan dengan pas oleh tangan emas sutradara Nichols.
Bintang yang tampil bersinar dari film ini adalah Emma Thompson, yang menyajikan seorang calon ibu negara yang cool, dingin, seorang ahli strategi yang piawai tapi tetap enigmatik karena tak ada yang pernah tahu luka hatinya.
Kathy Bates, berperan sebagai Libby Holden, tampil sebagai "sang pencuci piring", The Fixer, orang yang bertugas membereskan sampah buangan Stanton. Duo ini sebetulnya pendukung fanatik Stanton, dua wanita yang mencintai Stanton tanpa ragu, meski Stanton tak kunjung berhenti mengecewakan keduanya dengan tingkah lakunya yang mata keranjang.
Libby Holden mengakhiri hidupnya dengan ledakan pistol. Ia tak kuat menyangga seluruh "tanggung jawab moral" Stanton. Nichols mengakhiri film dengan sebuah ironi. Libby bunuh diri dan Stanton meraih kemenangan karena keberhasilan Libby menginvestigasi kelemahan lawan.
Pahlawan dan pecundang telah menyatu dalam diri seorang pimpinan. Dan pimpinan sebuah negara memang tercipta karena sebuah permainan, bukan kebutuhan rakyat.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini