Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bisnis Sepekan

2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPPN Menyerbu Bursa

BADAN Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akan menjual saham delapan perusahaan yang dikuasainya. Salah satu yang akan dilepas adalah stasiun televisi swasta SCTV. Stasiun televisi yang populer dengan jargon ”Ngetop” itu semula dimiliki PT Surya Cipta Indonesia, salah satu anak perusahaan Grup Napan. SCTV dikuasai BPPN setelah Napan menunggak utang senilai US$ 260 juta di Bank Bumi Daya.

Selain melepas SCTV, BPPN akan menjual saham Bank Central Asia serta sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, kimia, dan industri makanan. Pesta saham BPPN akan digelar sepanjang tahun 2000 dan dimulai sejak Januari. ”Kami menjual 30-40 persen saham pada tiap perusahaan,” kata Wakil Ketua BPPN Faried Harianto.

Memang belum ada penjelasan berapa dana yang akan dihimpun BPPN dari bursa. Tapi, pada 2000 nanti, BPPN dibebani target Rp 12,6 triliun sebagai hasil penjualan aset-aset yang ”disita” dari para bankir.


Akhirnya Diskon Utang

SETELAH satu setengah tahun ditabukan, akhirnya BPPN memberikan potongan utang alias haircut kepada para penunggak kredit yang ditanganinya. Tapi jangan keburu senang. Menurut Wakil Ketua BPPN Eko Santoso Budianto, diskon utang ini khusus hanya diberikan kepada mereka yang bersedia bekerja sama, yang memiliki manajemen perusahaan yang baik, dan—lebih penting lagi—yang bisnisnya macet hanya gara-gara tersapu krisis.

Fasilitas ini sudah dirindukan banyak perusahaan yang telah kecapaian merundingkan penyelesaian utangnya dengan BPPN. Tanpa potongan utang, sejumlah perusahaan merasa mustahil bisa melunasi utangnya. BPPN menangani kredit macet tak kurang dari Rp 220 triliun.


Putra Surya Multidana Bangkrut

PERUSAHAAN pembiayaan konsumen PT Putra Surya Multidana (PSMD) divonis bangkrut. Dalam keputusannya pekan lalu, Pengadilan Niaga Jakarta menyatakan PSMD bangkrut karena tak mampu membayar obligasi konversi senilai US$ 2 juta yang jatuh tempo. Petisi pailit PSMD diajukan oleh Phoenix Global Investment Corp. dan Virgin Capital Corp., dua perusahaan investasi asal Amerika Serikat. PSMD menyatakan banding atas keputusan ini.

Selama ini, PSMD aktif dalam memberikan kredit pembiayaan untuk pembelian sepeda motor. Sejak masuk bursa dua tahun lalu, PSMD merupakan salah satu ”kesayangan” para investor di pasar modal. Perusahaan yang menjadi leader dalam bisnis pembiayaan sepeda motor ini terkenal dengan jaringannya yang luas, arus kas yang lancar, dan tingkat keuntungan yang tinggi.

Tapi, begitu krisis datang, PSMD seperti daun kering tersapu topan. Utang dolar PSMD—modal yang selama ini mereka pakai untuk membiayai kredit sepeda motor—membengkak. Suku bunga juga melonjak. Akibatnya, kewajiban utang PSMD meledak, sementara pemasukannya macet. Apa boleh buat, PSMD terseok-seok melalui krisis dengan susah payah. Terakhir, Oktober lalu, PSMD menerima pukulan knockout: presiden direkturnya, seorang warga negara Malaysia, membawa kabur US$ 45 juta uang milik perusahaan.


Sempati Juga Tetap Bangkruts

PT Sempati Nusantara Airlines tetap dinyatakan bangkrut. Selasa pekan lalu, pengadilan tinggi menolak gugatan banding BPPN agar mencabut keputusan bangkrut yang telah dijatuhkan pengadilan niaga kepada Sempati.

Dengan penetapan ini, upaya BPPN untuk menagih piutang Rp 220 miliar kepada Sempati terancam gagal. Dengan vonis bangkrut, perusahaan penerbangan swasta itu terbebas dari segala tagihan. BPPN hanya akan menerima pembayaran dari hasil penjualan (likuidasi) atas aset-aset Sempati yang masih ada. Untuk itu pun, BPPN harus berbagi dengan para kreditur lain yang juga memiliki tagihan kepada Sempati.

Sempati, yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Mohamad ”Bob” Hasan dan Hutomo ”Tommy” Mandala Putra, berhenti terbang sejak Juni tahun lalu. Perusahaan penerbangan swasta terbesar di Indonesia ini akhirnya mengajukan permohonan membangkrutkan diri sendiri. Alasannya, perusahaan ini sama sekali tak memiliki sumber dana, baik untuk menjalankan usaha maupun untuk membayar utang. Sebulan kemudian, Juli 1998, Sempati mendapatkan penetapan bangkrut dari pengadilan niaga.

Tapi keputusan ini digugat BPPN. Menurut BPPN, permohonan bangkrut itu didasari keinginan untuk melarikan diri dari kejaran kreditur. Rupanya, BPPN ingin membuktikan bahwa perusahaan penerbangan itu telah salah urus sehingga para pemiliknya harus membayar semua kewajiban Sempati dari kantong pribadi.


Dua Hilang, Tiga Terbilang

PABRIK mobil Astra Internasional ternyata tak kehilangan peminat. Setelah konsorsium Amerika Serikat, Newbridge Capital-Gilbert Global Equities, berniat mundur dari rencananya mengambil alih Astra, industri otomotif terbesar Indonesia itu punya peminang baru. Menurut Wakil Ketua BPPN Faried Harianto, sedikitnya ada tiga investor yang ingin menggantikan Newbridge-Gilbert menyunting Astra. Belum jelas berapa ”maskawin” yang ditawarkan para pelamar baru ini. Yang pasti, menurut sejumlah analis industri otomotif di bursa Jakarta, harga wajar saham Astra Internasional mencapai Rp 5.000, jauh di atas harga penawaran Newbridge-Gilbert yang cuma Rp 3.750 itu.


Utang Djajanti Rp 4,2 triliun Macet

GRUP Djajanti, perusahaan yang bergerak dalam industri kehutanan dan perikanan, ternyata memiliki sejumlah besar utang yang tak terbayar. Menurut keterangan BPPN, jumlah kredit macet Grup Djajanti mencapai Rp 4,2 triliun—bukan jumlah yang enteng. Padahal, selama masa krisis, industri berbasis sumber daya alam dan berorientasi ekspor seperti Djajanti menikmati keuntungan berlimpah dengan naiknya harga dolar.

Celakanya lagi, bukan cuma kreditnya macet, Grup Djajanti juga dinilai tidak mau bekerja sama, sampai-sampai BPPN berencana mengambil jalan hukum. Sebagai peringatan, lima anak perusahaan Djajanti (antara lain PT Artika Optima Inti dan Nusantara Plywood dan PT Djajanti Plaza) akan diturunkan kelasnya ke dalam kelompok perusahaan yang tak mau bekerja sama menyelesaikan utang. ”Kalau masih bandel juga, akan kita proses secara hukum,” demikian pernyataan BPPN. Sebelum ini, tiga anak perusahaan Djajanti juga sudah diajukan ke Divisi Legal.


SCB Datang Lagi?

INI soal Bank Bali lagi. Skandal? Belum tentu. Tapi Ketua BPPN Glenn Yusuf membenarkan rencana BPPN melelang saham Bank Bali kepada investor strategis, Maret mendatang, hanya dua bulan setelah bank ini menambah modal.

Terlalu cepatkah? Mungkin saja. Menurut seorang sumber TEMPO di kalangan keuangan, BPPN sengaja mempercepat waktu lelang Bank Bali. Tujuannya adalah agar para investor tak mendapat kesempatan untuk ”mempelajari” isi perut bank yang pernah keserempet skandal dana politik ini. Lo? ”Jangan kaget, BPPN sudah punya calon tunggal sebagai juragan baru Bank Bali,” katanya. Siapa juragan baru itu belum jelas benar. Tapi, menurut sumber ini, calon itu jelas sudah lama mengintip bahkan mengaduk-aduk keuangan Bank Bali. Juragan ini, menurut si empunya cerita, bahkan sudah siap dengan dana sekitar Rp 2 triliun untuk membeli 50 persen saham rights issue Bank Bali yang tak diambil pemegang saham.

Awal bulan ini, Standard Chartered Bank (SCB) dari Inggris membatalkan perjanjian investasi dengan BPPN untuk menguasai Bank Bali. Tapi SCB tetap menegaskan niatnya untuk membeli saham Bank Bali melalui rights issue. Benarkah calon juragan Bank Bali yang sudah saling incar dengan BPPN itu SCB? Kita tunggu saja.


Lazard Tak Jadi Beli Lonsum

PERUSAHAAN investasi ternama, Lazard Asia Investment, membatalkan rencananya membeli 50 persen saham perusahaan perkebunan PT London Sumatra Plantation (Lonsum). ”Mayoritas pemegang saham Lonsum tak menyetujui harga yang ditawarkan Lazard,” demikian pernyataan Lonsum.

Sebelumnya, Lazard, yang tampak ngebet membeli Lonsum, menyiapkan US$ 100 juta. Lonsum sendiri bermaksud mencari investor lain sebagai pengganti Lazard.


Penjualan Semen Naik

TANDA-tanda kenaikan daya beli tampak mulai nyata. Ini terlihat dari laju kenaikan penjualan semen dalam setahun terakhir. Statistik mencatat, penjualan semen periode Januari-November 1999 mencapai 25,7 juta ton atau naik 18,8 persen ketimbang penjualan semen periode yang sama tahun lalu, yang cuma 21,62 juta ton.

Kenaikan konsumsi semen dijadikan pertanda menggeliatnya sektor konstruksi dan properti. Dan bangkitnya kedua sektor ini biasanya menggemakan efek pemulihan ekonomi yang lebih cepat kepada sektor-sektor lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum