Namanya juga permata kesayangan, siapa yang gampang melepasnya? Begitulah yang terjadi pada PT Bogasari Flour Mills. Pabrik terigu yang menjadi cikal bakal Grup Salim ini tak jadi dilepas bulat-bulat oleh PT Indofood Sukses Makmur. Lamaran sepuluh investor asing—dari Jepang, Australia, sampai Amerika—tak sanggup meluluhkan hati pemilik pabrik mi terbesar di dunia itu. Semua pinangan ditolak mentah-mentah.
Memang betul, Indofood masih tetap ingin menjual saham Bogasari, cuma tidak banyak-banyak. Semula, Indofood akan melepas 60 persen saham. Tapi belakangan konglomerasi industri makanan milik Grup Salim ini cuma menjual 30 sampai 40 persen saham. Maksudnya agar Indofood masih tetap memegang kendali Bogasari.
Tadinya, Indofood memang punya alasan kuat untuk melepas mayoritas saham Bogasari. Indofood dibelit utang (dalam dolar) dalam jumlah superjumbo. Gara-gara belitan utang itu, tahun ini Indofood harus menyediakan dana hingga US$ 751 juta untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Lalu tahun depan, 2000, masih ada US$ 462 juta utang yang menunggu. Dengan laba kotor sekitar Rp 2,2 triliun (sekitar US$ 300 juta untuk ukuran kurs saat ini), utang ini jadi beban yang sangat berat.
Untuk mengurangi tekanan utang, bagi Indofood, menjual Bogasari merupakan jurus yang tepat. Potensi pabrik penggilingan gandum terbesar di dunia ini dipastikan bisa menarik minat investor. Tahun depan, laba bersih Bogasari diperkirakan Rp 230 miliar. Boleh jadi, melihat potensi yang besar seperti ini, sejumlah juragan gandum dan makanan dunia seperti Unilever, Cargill, Australian Wheat Board Limited, dan Nissin Foods Co., datang berbondong melamar.
Tapi belakangan kadar alasan melego pabrik terigu yang dirintis sejak 1970 ini melembek. Meskipun belum kembali ke zaman normal sebelum krisis, perekonomian mulai menggeliat. Tingkat konsumsi membaik dan kurs rupiah tak lagi bergolak liar. Indofood tampaknya tampil lebih percaya diri.
Presiden Direktur Indofood, Eva Riyanti Hutapea, memastikan kas Indofood berisi Rp 1,9 triliun akhir tahun ini. Lalu, masih ada pos US$ 368 juta yang siap cair setiap saat. Jadi, ''Utang bukan lagi soal memusingkan," kata Eva. Alhasil, niat melego pabrik yang berkapasitas total 3,6 juta ton terigu per tahun ini ditinjau kembali.
Mundurnya niat penjualan pada saat paceklik investasi tentu mengundang reaksi. Erwan Teguh Teh, analis Socgen Global Equities, yakin bahwa kasus Bogasari bakal berdampak negatif. ''Benar-benar di luar dugaan," katanya. Memang, kas grup dengan 12 anak perusahaan ini cukup aman untuk membayar utang. Tapi kondisi keuangannya tak melimpah. Karena itu, nasib Indofood dipertaruhkan dalam kecanggihan memutar duit. Tanpa mitra yang berduit, Indofood harus berjibaku sendirian.
Erwan menduga, ada rencana lain di balik semua ini. Apa itu? ''Indofood sedang menggelar trik mendongkrak harga Bogasari," katanya. Gampangnya, mau jual mahal, mengaku punya duit untuk menggertak calon pembeli.
Harus diakui, sejauh ini lamaran yang mampir ke Bogasari memang kelewat rendah. Indofood mematok harga US$ 800 juta sampai US$ 1 miliar, sedangkan investor hanya menawar US$ 300 juta. Nah, Erwan yakin, Indofood akan mengerek penawaran. ''Saya kira," katanya, ''akan dilepas di posisi US$ 600 juta."
Suara lain muncul dari Goei Siauw Hong, Kepala Riset Nomura Securities di Jakarta. Menurut Goei, tak ada yang aneh dalam kasus Bogasari. Gagalnya negosiasi jual-beli lazim dalam bisnis. ''Memang, investor jadi makin sadar bahwa Salim segan melepas Bogasari," katanya. Tapi, kalau memang serius, investor dipastikan pantang mundur meskipun tidak bisa memiliki saham mayoritas.
Goei justru mengkhawatirkan nasib Indofood di hadapan Undang-Undang Antimonopoli. Pelepasan Bogasari, yang mendominasi 85 persen pasar terigu nasional, tadinya juga diniatkan agar tak terjegal undang-undang yang akan mulai berlaku Maret 2000 itu. Nah, dengan tetap memegang mayoritas saham Bogasari, Indofood bisa terjerat pasal menguasai pasar lebih dari 50 persen. Sanksinya, pemerintah bisa menghentikan rimbunnya pohon monopoli yang dikuasai Indofood. Selain itu, masih ada denda maksimal Rp 100 miliar atau kurungan pengganti denda selama enam bulan.
Tapi Goei mengakui, teknis penerapan Undang-Undang Antimonopoli masih belum jelas. Ukuran penguasaan pasar, misalnya, harus dihitung ulang setelah keran impor terigu dibuka. Ia memastikan, akan banyak pengusaha—termasuk Salim—yang memainkan jurus tarik-ulur.
Tentu saja, semua demi permata kesayangan.
Mardiyah Chamim dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini