Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga siluet manusia terpacak rapi di dinding. Bayangan itu tipis-temaram, seakan-akan dilukis dengan rasa gentar terhadap sesuatu yang tak nyata. Tapi kita menebak itu sosok utuh lelaki perkasa, mengingatkan kita pada simbol-simbol mitologi kuno yang menakjubkan.
Blabar gambar pertama diselesaikan dengan guratan pensil, yang kedua dicetak dengan tanah liat yang repih atau getas. Gambar ketiga berbeda lagi, garis atau batas bayangan itu diselesaikan dengan cara menyusun rapat barisan serangga yang sudah mati.
Itulah simbolisme magis mengenai Anatomia (2012), salah satu karya Yudi Yudoyoko yang muncul di Ruang Sayap Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, sejak 27 Januari hingga Ahad lalu. Ini bagian dari pameran "I am the Earth and Other Series", yang merupakan pameran tunggal kedua Yudi dalam tiga tahun terakhir di Indonesia, setelah "Club Obsolom" (Vivi Yip Art Room, Jakarta, 2009).
Dengan sekali pandang, Anatomia menggugah kita akan gambaran mengenai eksistensi manusia melalui tubuhnya. Apakah tubuh adalah suatu gejala atau fakta biologis semata, sesuatu yang sanggup memunculkan makna, atau bahkan dikonstruksi semata oleh makna?
Tiga presentasi mengenai tubuh kembar—cetakan tubuh Yudi sendiri—itu seakan-akan ingin mengatakan tarik-menarik tak berkesudahan di antara tiga diskursus tentang tubuh: tubuh kosong tanpa makna, tubuh sebagai fakta biologis, dan konstruksi makna di sekitar tubuh dengan cara melampaui alam.
Yudi dilahirkan di Jakarta pada 1963 dan kini menjadi seniman Indonesia yang berpindah-pindah dan berkarya di dua kota di Amerika Latin, yakni Montevideo, Uruguay, dan Buenos Aires, Argentina, sejak 2003. Dia menyelesaikan pendidikan seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 1989.
Karier artistik Yudi menunjukkan bahwa ia berkiprah di berbagai cabang artistik yang tak dapat diwadahi dalam satu arus utama seni rupa kontemporer. Musik, performance, video, tren mode, ilustrasi, sastra, dan film sejak awal menjadi cara ungkapnya.
Agung Hujatnikajennong menulis, pada pertengahan 1990-an, Yudi adalah seniman muda yang membawa angin baru pada perkembangan seni rupa di Bandung, khususnya di kalangan mahasiswa seni rupa ITB. Karya-karyanya dalam pameran "Original Sin" di Pusat Kebudayaan Prancis, Bandung (1995), dan dandanan punker-nya menjadi bahan perbincangan pada masa itu.
Salinan ijazahnya dari ITB—ditampilkan juga di pameran ini—bahkan sudah dibubuhi citra banal seniman Jeff Koons dan artis porno Italia, La Cicciolina. Setelah itu, Yudi seakan-akan menghilang. Pameran kali ini dapat menunjukkan sepotong gambaran dari kecenderungan seni rupa kontemporer yang menandai peralihan antargenerasi di Bandung, khususnya pada 1990-an. Dan Yudi Yudoyoko agaknya masih akan menjadi mitos di ranah ini.
Kurator pameran di Selasar Sunaryo ini, Agung Hujatnikajennong, mempresentasikan karya-karya Yudi dari masa 1991 hingga kini, agar pengunjung bisa melihat keutuhan ide Yudi. Kita menyaksikan, misalnya, A Man and an Egg (1991-1995) dan Iqra Iqra (1995), yang menunjukkan gagasan makin problematisnya diskursus tubuh dan—kira-kira—konstruksi kritis pengetahuan dalam pandangan seni kontemporer.
A Man and an Egg menghadirkan karya dengan medium campur, yakni citra fotografi, xerografi, gambar dengan charcoal, tumpukan arang dan kuning telur sungguhan. Secara metaforis, Yudi menampilkan suatu dunia kecil asal-muasal kita.
Karya Iqra Iqra itu berukuran 200 x 900 sentimeter, dikerjakan dengan menggunakan berbagai medium sepele, seperti cat semprot, stensil, salinan fotokopi, spidol, dan kertas karton. Citra buram hitam putih dari salinan fotokopi itu menampilkan keganjilan bentuk tubuh seperti penuaan, ketelanjangan, perempuan hamil, penderita Aids, sampai citra tubuh yang sudah menjadi mayat.
Yudi agaknya menikmati suasana antara seduksi dan hasrat yang memancar diam-diam dari citra ganjil tubuh manusia. Dengan memancarkan sesuatu dari relung hasrat, tertangkaplah juga "yang kurang" pada tubuh. Yudi menggambarkan relasi-relasi psikis yang jamak di sekitar tubuh dengan cara menampilkan citra kesakitan, gairah, ancaman, kenikmatan, sekarat, dan apa yang sering muncul dalam tulisan maupun karya visualnya: dosa asal.
Itulah yang misalnya terpancar melalui seri gambarnya, Nine Faces of Faith (1995), representasi wajah yang seakan-akan mengalami kenikmatan pedih melalui benda tajam seperti pecahan kaca, silet, sekrup, dan mata pancing.
Manusia di mata Yudi seperti ingin mencari sebuah rumah yang lain, suatu hunian yang membuatnya kerasan dan bisa berdamai dengan dirinya sendiri di atas bumi yang tetap terpencil.
Seri gambar terbarunya yang dicetak digital dengan warna menunjukkan itu. Lihatlah misalnya Kekasih Batu, La Suma de Esperanza, Ranting Sedepa, dan Tubuh Kita adalah Umbi—semua dari 2011—yang menggambarkan keintiman gaib antara manusia dan entitas "yang lain".
Yudi menghadirkan lagi sebuah karya khas-tapak (site-specific) yang memenuhi sisi dinding berukuran 530 x 620 sentimeter di Ruang Sayap pameran. Mural Sungai Kehidupan (2012) menampilkan citra batang pohon raksasa dan kolase burung-burung berjenis sama. Apakah himpunan burung yang secara tertib berpaling ke arah barat memiliki arti simbolis tertentu? Keseragaman burung-burung memenuhi seluruh cecabang pohon, hunian yang kukuh tapi sungsang. Sungai tentunya merupakan metafora terhadap suatu arus yang tak tetap, yang terus-menerus, laksana gestur percabangan pohon yang tak bisa kita duga.
Hendro Wiyanto, kurator seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo