Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan gedung Opera Paris kehebohan terjadi. Segerombolan tuan dan nyonya bangsawan ribut karena tak kebagian tiket pertunjukan malam itu. Sedangkan pengelola opera, Richard dan Charles, gusar terhadap kematian seorang awak panggung. Rumor keluar dari mulut Didot, si penjaga tiket, bahwa phantom of the opera, hantu opera, telah kembali. "Tak ada yang namanya phantom of the opera. Itu hanya omong kosong yang sudah basi," ujar Richard. Untuk menenangkan pelanggan mereka, kedua lelaki itu membagi-bagikan tiket pertunjukan esok hari.
Phantom memang telah datang. Sejak Selasa pekan lalu hingga 4 Maret mendatang, dia muncul dalam pertunjukan musikal The Phantom of the Opera di ruang Nusa Indah, Balai Kartini, Jakarta. Tapi tunggu dulu. Ini bukan Phantom karya Andrew Lloyd Webber yang terkenal dan sudah difilmkan itu, tapi musik dan libreto karya Ivan Jacobs pada 1972, yang baru dipentaskan pada 1985.
Karya Webber dan Jacobs sama-sama diangkat dari novel berjudul serupa karya pengarang Prancis, Gaston Leroux, yang terbit pada 1911. Selain karya kedua orang itu, ada banyak pertunjukan musikal yang menafsir novel Leroux, seperti musikal The Phantom of the Opera karya Ken Hill serta karya Maury Yeston dan Arthur Kopit. Versi balet dan balet di atas es disajikan oleh beberapa kelompok teater lain.
Opera Jacobs yang diproduksi Joyce Entertainment dari New York dengan dukungan kru 62 orang ini diboyong ke Jakarta oleh BD Next Entertainment, bagian dari Big Daddy Entertainment Group. Tiketnya mulai Rp 550 ribu hingga Rp 1,59 juta, jauh lebih murah dibanding tiket konser solo Rod Stewart yang seharga Rp 1,5-15 juta.
Pertunjukan pada Selasa malam pekan lalu berlangsung cukup lancar meski beberapa kali ada gangguan pada mikrofon pemain. Lantas apa yang mereka tawarkan? Sementara karya Webber dibuka dengan overture yang megah dan menaik tinggi, versi Jacobs dibuka dengan tak begitu tinggi dan diawali dengan pukulan bertalu pada drum. Pada versi Jacobs, tokoh Phantom (diperankan Shouvik Mondle) juga sudah muncul utuh sejak awal: dia berdiri di antara para seniman opera yang ribut ketika tiba-tiba muncul sepasang kaki bersepatu menggantung.
Phantom Jacobs tak memberi penafsiran terhadap novel Leroux. Ceritanya tetap berpusat pada Erik alias Phantom, yang terobsesi pada musik dan jatuh cinta kepada Christine Daae (Natalie Ramirez), bintang baru di opera itu yang punya suara surgawi. Lalu muncul Raoul (Christopher Behmke), yang mengenal kembali Christine sebagai teman masa kecilnya dan jatuh hati kepadanya. Cinta segitiga itu diperumit oleh ambisi Phantom untuk memunculkan Christine sebagai primadona, yang berarti menyingkirkan Charlotta (Sarah Smith) dari posisinya selama ini, dan menyiapkan opera Don Juan Triumphant ciptaannya.
Tak banyak yang ditawarkan kelompok ini, kecuali kecakapan para penyanyi opera dan penari balet profesional dari New York. Sebagian penonton tampak cukup senang mendengar suara sopran tokoh Christine yang melengking tinggi, hiburan kecil ala Srimulat yang dihadirkan melalui pasangan Richard-Charles, atau pertengkaran penyanyi flamboyan Charlotta dan Enrico. Setidaknya sebagian penonton bertepuk tangan setiap adegan selesai.
Jacobs tak mengubah plot, tapi menyisipkan karakter baru untuk memberi warna. Tokoh Jeanne (diperankan Brittany Leslie), misalnya, putri Ibu Pengurus Panggung. Dia tampil seksi dan liar. Pada satu adegan, Jeanne menari De Sade’s Tango, sebuah tarian tango yang banal.
Namun yang tampak hilang dari opera ini adalah misteri Phantom. Baik novel maupun musikal Webber mencoba membangun karakter Phantom yang misterius, menakutkan, dan mengancam, makhluk tak tersentuh dari dunia kegelapan. Sedangkan Phantom versi Jacobs terkesan kurang misterius. Bisa jadi ini karena dia muncul dengan kentara berkali-kali di antara karakter-karakter lain. Bandingkan dengan musikal Webber yang memunculkan Phantom dari jauh: di panggung lantai dua atau bayangannya saja.
Perubahan setting panggung dilakukan dengan pergantian beberapa layar lukisan, serupa dengan panggung wayang orang atau ketoprak pada umumnya. Selain itu, ada beberapa properti, seperti piano dan kamar Christine, yang bisa digeser. Efek khususnya juga sederhana. Tak ada ledakan di lampu gantung gedung opera atau api menyembur dari lantai, seperti yang terjadi pada versi Webber. Pada opera ini, lampu itu hanya berkedap-kedip.
Ringkas, efisien, dan mudah dibongkar-pasang. Tampak jelas bahwa semua perlengkapan panggung mereka memang disiapkan untuk pertunjukan keliling. Yang tampaknya sukar dikurangi adalah 160 kostum dan 60 rambut palsu. Hampir semua perlengkapan itu diangkut dari Amerika Serikat, kecuali beberapa perlengkapan tambahan yang disiapkan promotor.
Pada akhirnya, pertunjukan ini jadi semacam perkenalan ke dunia opera Phantom. Jangan terlalu berharap mendapat kejutan yang luar biasa, tapi Anda dapat belajar menikmati bagaimana penyanyi opera bernyanyi. Bagaimanapun, kelompok opera ini telah 25 tahun berpentas keliling di berbagai kota di Amerika dan Eropa serta mencetak pendapatan hingga US$ 4 juta atau Rp 36,4 miliar. "Kami pergi ke tempat yang memungkinkan secara bisnis menghasilkan banyak uang," kata Van Joyce, Presiden Joyce Entertainment.
Joyce tidak khawatir soal penonton Indonesia yang belum terbiasa dengan opera klasik seperti penonton di Amerika Serikat dan Eropa, atau tak berhasilnya menggaet banyak penonton. "Ini mungkin semacam pengalaman baru dan mereka bisa mencobanya," ujar penggemar karya Beethoven ini. "Yang bertaruh di sini bukan hanya saya, tapi juga promotor."
Kurniawan, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo