IBARAT karya sastra di tengah belantara angka-angka. Ini kesan salah satu pembaca yang pernah menekuni buku-buku karya ekonom Paul Ormerod, 52 tahun. Tulisan-tulisan yang njlimet dia singkirkan. Sebagai gantinya, Ormerod mengajak pembaca menyusuri sejarah peradaban dan situasi sosiologis berbagai bangsa serta ikut memeriksa berbagai asumsi yang dipakai oleh para ekonom terdahulu. Terkadang dia menggunakan bahasa provokatif serta penuh metafora. Bukunya yang terakhir, misalnya, ia beri judul Butterfly Economics (1998).
Pada 1998, dia meluncurkan versi bahasa Indonesia dari The Death of Economics, karyanya yang amat terkenal di Jakarta. Terbit pada 1994, buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa. Alumni Universitas Cambridge dan Oxford ini pernah bekerja sebagai kepala kajian ekonomi di mingguan The Economist, sebelum mendirikan lembaga Henley Centre for Forecasting bersama beberapa kawannya. Dia juga salah satu pendiri biro konsultasi Volterra di London.
Pekan lalu, Paul Ormerod datang lagi ke Indonesia—setelah kunjungannya yang pertama empat tahun lalu. Dia menghadiri seminar di Bali yang menelaah hubungan ilmu ekonomi dan fisika. Saat mampir ke Jakarta pada Senin silam, dia menerima wartawan TEMPO Ignatius Haryanto untuk sebuah wawancara. Berikut ini petikannya.
--------------------------------------------------------------------------------
Anda punya perkiraan berapa lama Indonesia akan pulih dar krisis ekonomi ini?
Saya tak terlalu optimistis, jadi sulit mencari jawaban yang tepat. Ekonomi Jepang jatuh pada akhir 1980-an. Walaupun Jepang adalah negara ekonomi yang kuat, krisis itu baru pulih setelah 10-12 tahun. Artinya, negara yang ekonominya kuat pun perlu waktu lama untuk pulih.
Langkah apa yang mesti diambil untuk bisa memulihkan krisis ini secara maksimal?
Well, tugas pemerintah adalah membuat kebijakan, tapi tidak perlu ter lalu detail. Jadi, cukup kerangka besarnya.
Bisa Anda beri contoh?
Misalnya memastikan bahwa ada persaingan yang sehat dalam perekonomian lokal, tidak ada monopoli serta produksi yang disubsidi secara artifisial oleh sektor yang tidak produktif. Negara yang perekonomiannya sudah baik pun tidak bisa terlepas dari problem ini, walau kadarnya lebih sedikit. Yang bisa dipelajari dari kejadian pada abad ke-20 ini adalah perekonomian pasar lebih berjalan daripada perekonomian yang sentralistis, yang mengisolasi diri dari perkembangan dunia.
Anda percaya bahwa pasar bebas akan memberikan hasil yang terbaik?
Tidak. Kasus-kasus di Indonesia menunjukkan pengalaman yang amat tidak enak. Juga di Uni Soviet. Muncul pasar bebas di negara-negara bekas Soviet yang melahirkan musibah: standar hidup di sana jauh menurun dari 10-15 tahun sebelumnya. Ini satu contoh bahwa pemberlakuan pasar bebas murni pun bisa berdampak datangnya musibah yang besar.
Jadi, di mana batas pasar bebas ini, menurut Anda?
Kita tidak bisa memastikan betul-betul. Yang bisa kita lakukan adalah membuat semacam daftar kebijakan. Misalnya, untuk memastikan kompetisi telah berjalan dengan sehat, pemerintah seharusnya bisa melakukan intervensi, atau misalnya kontrol kapital di negara yang sedang berkembang. Hal itu tidak bisa sepenuhnya dilepaskan pada kekuatan pasar. Bahkan di sejumlah negara Eropa Barat, pada akhir 1970-an, keuangan baru betul-betul tak lagi dikontrol setelah negara-negara itu cukup kaya. Jadi, kekuatan pasar pun bisa dibatasi dengan cara ini.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat pernah meminta agar Dana Moneter Internasional (IMF) menghapus utang luar negeri Indonesia dengan alasan utang itu dihasilkan rezim yang korup. Apa pendapat Anda?
Secara prinsip, menghapus utang adalah ide yang buruk karena itu akan membuat kita terus ingin berutang. Pemerintahan yang korup adalah poin yang penting. Dalam hal ini, Indonesia tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara di Afrika yang utang luar negerinya didapat dari pemerintah yang korup dan diktator.
Sehingga utang itu seharusnya diputihkan?
Hal ini juga bergantung pada kepercayaan masyarakat. Kalau mereka percaya bahwa sistem yang lebih demokratis berjalan, mereka bisa meyakinkan pihak pengutang bahwa utang yang mereka miliki adalah hasil dari pemerintahan yang korup sehingga seharusnya dihapus. Jadi, dalam kondisi khusus, penghapusan utang luar negeri dapat diterima, tapi tetap saja ini ide yang buruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini