Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Engkau Menanam, Kami Menipu

Bisnis bagi hasil di sektor agrobisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi marak di mana-mana. Namun bisnis itu mengandung risiko yang besar pula.

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Ramli Araby tampak sembab. Mukanya tegang. Berpakaian necis hitam-hitam dengan kopiah sewar-na, lelaki berperawakan subur itu berjalan susah payah digeret belasan polisi yang mengelilinginya di halaman Markas Besar Kepolisian di Kebayoran Baru. Kamis siang pekan lalu, Direktur Utama Qurnia Subur Alam Raya yang sudah beberapa bulan menghilang itu dicokok polisi di dekat Mabes Polri ketika akan menyerahkan diri. Sejak dua pekan lalu, Ramli terus dikejar aparat setelah masuk dalam daftar pencarian, dengan tuduhan telah melakukan penipuan dan penggelapan dana masyarakat senilai Rp 500 miliar. Duit sebesar itu adalah investasi yang ditanamkan sekitar 6.800 orang investor di Qurnia Subur, perusahaan bagi hasil di bidang agrobisnis yang dikelola Ramli sejak lima tahun lalu. Ketika kolaps bulan April lalu, lenyaplah segala kebesaran nama lelaki kelahiran Aceh beserta Qurnia, yang pada saat krisis ekonomi ini ibarat lampion yang menarik banyak laron untuk menyedot keuntungan tinggi hanya dalam waktu singkat. Tak hanya orang kecil yang terjun di sini, tapi juga yang terpelajar, termasuk orang ternama macam Wakil Presiden Hamzah Haz (lihat Penggede Digaet, Pemodal Digetok). Ada pula investor yang karena terkena pensiun dini lalu mempertaruhkan uang pensiunnya di bisnis tersebut. Mereka tentu tak bisa terima ketika uangnya lenyap begitu saja. Timbullah ekses yang menyedihkan: mereka menjarah aset milik Qurnia, mulai dari lahan pertanian, rumah, sampai kendaraan bermotor. Sejumlah investor diberitakan meninggal dunia lantaran stres berat. Untuk tindakannya, Ramli kini ditahan di Kepolisian Sukabumi, Jawa Barat. Ini bukan kasus penipuan pertama yang melibatkan dana publik ratusan miliar rupiah. Sebelumnya, ada kasus Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) di Sulawesi Selatan yang merugikan masyarakat sekitar Rp 800 miliar, atau kasus Era Catur Wicaksana (New Era), yang menggelapkan dana publik sampai Rp 1 triliun. Tak dapat disangkal, melambungnya nama Qurnia terjadi karena banyaknya peminat. Krisis ekonomi yang menyebabkan komoditas pertanian dan perkebunan melonjak harganya, karena kebanyakan diekspor, telah mendorong pengusaha dadakan terjun ke sektor ini. Selain itu, kondisi perbankan yang masih sulit membuat aliran dana dari sektor perbankan ke sektor riil masih tersendat. Sampai Juni lalu, duit masyarakat yang disimpan di perbankan yang dialirkan kembali ke masyarakat tak sampai 40 persen. Dua soal inilah yang kemudian mendorong munculnya banyak perusahaan bagi hasil. Mereka langsung menghimpun dana dari masyarakat. Sampai saat ini, ada 45 perusahaan semacam Qurnia. Hampir semua penghimpunan dana publik ini dilakukan dengan menawarkan pendapatan (return) yang tinggi, di atas 60 persen setahun—jauh melampaui bunga bank (10-12 persen), pasar uang (15-20 persen), atau perusahaan manufaktur (di bawah 10 persen). Besarnya bagi hasil itu ditentukan apakah usaha itu untung atau tidak. Kalau target tercapai, para investor mendapat keuntungan 60 persen. Kalau tidak tercapai, mereka akan dapat 70 persen dari keuntungan. Dan kalau gagal total, investor hanya mendapat kembali modalnya. Jadi, modal mereka tak bakal lenyap. Ini jelas iming-iming yang memikat. Haji Muhammad Basuni, 54 tahun, pensiunan karyawan BRI Subang, adalah salah satu yang kepincut pada bulan Mei 2000, setelah melihat kinclongnya Qurnia di acara salah satu televisi swasta. Tiga puluh juta perak dikucurkan untuk industri terong. Hanya dalam tempo tiga bulan, uangnya kembali berikut bunga Rp 14 juta. Basuni ketagihan. Ia kembali menanamkan modal Rp 126 juta untuk tiga paket sapi perah. Rp 21 juta didapatnya dari ketiga paket itu. Ikutlah dia lagi pada berbagai paket lain: tomat, madu, sapi perah, dan jamur. Lagi-lagi bunga masuk ke kantongnya. Lelaki ini apes ketika modal terakhirnya, Rp 192 juta, hingga kini tak kembali. "Saya mengakui PT Qurnia ini bagus dan sebaiknya diteruskan. Yang penting uang investor bisa kembali," katanya kepada Deffan Purnama dari Tempo News Room. Sumantri, bekas wartawan harian Suara Pembaruan, senasib dengan Basuni. Dia menanamkan duitnya hingga Rp 200 juta pada awal tahun lalu. Pada awalnya semua lancar dan dia sempat diberi tahu bahwa duitnya sudah membengkak menjadi Rp 500 juta. Kini semuanya menguap begitu saja. Lancarnya bisnis Qurnia dalam empat tahun pertama membuat Ramli, 44 tahun, jadi pede. Dalam wawancara dengan TEMPO pada April lalu, ia menjamin bahwa asetnya lebih dari cukup untuk menutup seluruh dana investasi jika sewaktu-waktu Qurnia kolaps. "Aset kami tiga kali lipat dari total dana investasi masyarakat," katanya kepada Ludhy Cahyana dari Pusat Data dan Analisa Tempo. Ternyata, pernyataan Ramli cuma pepesan kosong. Sejauh ini polisi telah menyita 31 bidang tanah, 310 mobil, dan 50 sepeda motor. Di luar itu, masih ada sejumlah aset yang dikuasai Forum Komunikasi Investor Qurnia berupa tanah dan kendaraan bermotor senilai Rp 10 miliar. Total jenderal, kata Sumantri, nilainya tak akan lebih dari Rp 550 miliar. Ada di rekening Ramli, mungkin? "Hanya ada US$ 1.000 yang saya miliki di rekening," begitu pengakuannya kepada polisi penyidik di Polres Sukabumi, Jumat lalu. Nah, lo! Jadi, apakah bisnis seperti ini sebaiknya dijauhi? Sebentar. Ada juga usaha serupa yang paling tidak hingga kini masih berjalan. Grup Murakabi dan PT Kinarya Era Bumi Nasa (Kebun) adalah contohnya. Murakabi, yang sudah berdiri sejak 1990, semula menjalankan bisnis perusahaan pertanian (corporate farming). Mereka menyewa lahan dari petani dan sebagai imbalannya petani itu diberi gaji sebagaimana layaknya pekerja pabrik. Tapi belakangan, karena permintaan dari Jepang untuk ekspor labu, ketimun, dan terong meningkat, tahun lalu Murakabi mulai menjaring investor dengan iming-iming sekitar 60 persen per tahun. Menurut Presiden Direktur Murakabi, Agus Haryo Sudar-modjo, mereka menawarkan sistem bagi hasil pada para investornya. Sejauh ini, kata Haryo, perusahaannya tak pernah ingkar janji. Begitu pula yang terjadi pada Kinarya, yang baru berdiri pada November tahun lalu. "Kita punya hitung-hitungannya sehingga bisa memberikan return sampai 60 persen per tahun," kata Lolita Diar Tristanti, Kepala PT Kinarya Cabang Jawa Timur. Beberapa kiat pun mereka ucapkan agar usaha bisa mulus. Murakabi, misalnya, selalu mengubah komoditi yang ditanam agar tetap menguntungkan. Adapun Kinarya mengaku tak pernah kemaruk. Kalau investasi sudah tertutup, mereka akan menolak investor yang datang. Tapi, menurut pengamat investasi Elvyn G. Masassya, kejadian seperti di Qurnia bukan tidak mungkin melanda perusahaan sejenis. Memang, pada tahap-tahap awal, perusahaan bagi hasil masih sanggup memberikan keuntungan kepada investornya. Tapi, jika investornya juga bejibun—seperti Qurnia yang sudah mencapai hampir 7.000—perusahaan bagi hasil pasti akan mengalami kesulitan membayar bunga kepada para investornya. Dia menengarai ada dua cara yang dipakai untuk mendapatkan dana pembayaran kepada investor. Pertama, dana dari investor baru akan dipakai untuk membayar investor lama. Dengan cara ini, investasi bukannya berkembang melainkan mandek, dan akan macet setelah beberapa lama. Kedua, perusahaan akan menggelembungkan (mark up) dana investasi yang dibutuhkan. "Selisihnya yang dipakai untuk membayar keuntungan," katanya. Elvyn tak percaya omongan para pengusaha bahwa bank menolak memberikan kredit untuk usaha seperti ini. "Jika usaha suatu perusahaan akan memberikan keuntungan yang sangat besar, bank pasti akan berlomba-lomba mendanainya," ujarnya. Selain itu, masa sih, para pengusaha itu begitu "bermurah hati" membagikan keuntungan bagi yang lain? Baginya, bisnis bagi hasil ala Qurnia sangat aneh karena hanya membagikan keuntungan dan tidak membagikan kerugian atau risiko. Padahal, jika prinsip syariah yang dipakai, mestinya bagi hasil ya memperhitungkan faktor risiko. Sayangnya, tak semua investor jeli melihat soal seperti itu. Agaknya, krisis ekonomi yang kuat mendera masyarakat membuat mereka ingin jalan pintas tanpa menghitung faktor risiko. Padahal, prinsip pertama berinvestasi adalah makin tinggi pendapatan, makin tinggi risikonya. Apa boleh buat, Ramli kelihatannya akan mengikuti jejak Ongkowijaya dari Yayasan Keluarga Adil Makmur, yang dihukum karena menipu dengan modus arisan. Jika undang-undang perbankan yang dipakai, Ramli akan kena ancaman hukuman enam tahun. Kalau KUHP yang digunakan, hukumannya bisa cuma empat tahun, dan ini pun bisa makin susut jika ia berkelakuan baik di penjara. Namun, bagi investor pensiunan, peng-alaman sejenak bersama Ramli mungkin bakal jadi mimpi buruk yang terus menghantui mereka lebih dari empat tahun. M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, Rian Suryalibrata, Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus