MENJELANG usia senja, 60 tahun, ada yang masih mengganjal di hati Kiai Haji Kosim Nurzeha, mubalig kondang Ibu Kota itu. Ganjalan tersebut: bagaimana menyampaikan dakwah yang komunikatif dan sejuk di telinga para pendengar. Kosim memang dikenal sebagai pendakwah yang komunikatif di atas mimbar, tanpa harus mengeluarkan caci maki atau berbagai ancaman. Tapi, dalam pengamatan Kosim, masih banyak ceramah para dai yang kurang sedap didengar. "Ceramahnya yang serem-serem," kata Kosim. Maksudnya, tak sedikit dai yang lebih senang bercerita tentang ancaman neraka dan berbagai ancaman lainnya. Maka, Kosim Nurzeha berupaya mengumpulkan para dai muda, yang diharapkannya bisa mewarisi caranya berdakwah. Setidaknya, inilah yang menjadi alasan Kosim Nurzeha bersama rekan-rekannya mendirikan Yayasan Iqro, sebuah lembaga dakwah yang Rabu malam pekan lalu diperkenalkan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, yang wah itu. Pada malam itu juga ada pengajian bulanan. Penceramah yang tampil, selain Kosim Nurzeha, adalah Dr. Marwah Daud Ibrahim, tokoh ICMI Pusat. Menurut rencana, pengajian ini akan berlangsung setiap awal bulan di hotel-hotel berbintang. Ini mirip dengan kegiatan Yayasan Paramadina -- dipimpin Dr. Nurcholish Madjid -- yang berdiri tujuh tahun lalu. Yang membedakannya, Iqro tak mengutip biaya dari peserta. Dakwah gratis, inilah agaknya ciri khas Iqro, selain menghidangkan ceramah yang sejuk, seperti yang sudah disebut. Karena itu, yayasan perlu mengumpulkan donatur guna mendanai semua kegiatan para dai gratis itu. Sejumlah dermawan sudah bersedia merogoh koceknya untuk Iqro, antara lain Haji Amrullah Satoto, seorang pengusaha di Jakarta. Pada awal kegiatannya, Iqro sudah merekrut sekitar 80 dai. Di antara mereka, 10 orang adalah perwira berpangkat mayor dari Dinas Pembinaan Mental (Disbintal) TNI Angkatan Darat. Selebihnya alumni Akademi Pembinaan Rohani Islam Jakarta. Kalau cukup banyak di antara para dai itu berasal dari ABRI, harap dimaklumi, karena Kosim Nurzeha sendiri adalah pensiunan pegawai Disbintal Angkatan Darat. Menurut rencana, para dai tersebut akan disebarkan ke pelosok Jakarta dan sekitarnya. Mereka akan berdakwah, antara lain, lewat majelis taklim, masjid, kantor, pabrik. Tapi, seperti dikatakan Ustad Mayor Saifuddin D., salah seorang pengurus Iqro, "Pengurus majelis taklim tak perlu susah-susah mengumpulkan dana dari jemaah untuk penceramah." Semua biaya akomodasi dan transportasi para dai tersebut sudah ditanggung yayasan. Tampaknya, langkah yang diambil Yayasan Iqro dengan para dai ini meniru sunah Rasulullah. Ketika mulai berdakwah di Mekah, Rasulullah dibiayai oleh istrinya, Siti Chadidjah, seorang pengusaha ternama di sana, pada waktu itu. "Kami ingin berdakwah sesuai dengan sunah Rasul," kata Haji Amrullah Satoto, Ketua Yayasan Iqro. Meski baru saja diperkenalkan, secara diam-diam sebenarnya sejak tiga bulan lalu Yayasan Iqro telah mengirimkan dai secara rutin ke masyarakat di sekitar Karawang Ujung, Jawa Barat. Empat dai, atau terkadang lebih, mendatangi masjid-masjid di lokasi itu. Mereka bergantian bertindak sebagai penceramah. Ternyata, apa yang mereka lakukan mendapat sambutan warga setempat. Bahkan di tempat-tempat lain mereka sudah pula diminta memberikan ceramah. Soalnya, kehadiran para dai dari Yayasan Iqro ini tak membuat pengurus masjid atau majelis taklim harus bertanya-tanya di dalam hati, berapa seharusnya ustad itu diberi uang transpor. Tapi, hadirin yang ingin mendengarkan ceramah yang menghantam kiri, menghantam kanan, dengan panasnya, tampaknya akan kecewa. Soalnya, sebelum diterjunkan ke lapangan, para dai Iqro itu terlebih dahulu mendapat berbagai pengarahan yang mereka perlukan. Misalnya, seperti dikatakan Kosim Nurzeha, pada hakikatnya dakwah adalah proses komunikasi. Karena itu, seorang dai harus tahu medan dakwah. "Jangan sampai ada dai yang menyampaikan ceramah di lingkungan nelayan atau petani di Kerawang, misalnya, menggunakan materi dakwah untuk para manajer," kata Kosim. Dalam kata-kata Marwah Daud, yang pengurus DPP Golkar itu, seorang dai harus memiliki peta dakwah sebagai pegangan. Bila hal ini dikuasai, katanya, sang dai tak terlalu sulit menyampaikan dakwahnya secara komunikatif. Di samping itu, para dai Iqro tak boleh membawa sesuatu yang membuat para pendengar resah. Misalnya, seorang dai menceramahkan paham yang dianutnya, yang belum bisa diterima masyarakat pendengarnya. Untuk itu Kosim Nurzeha memberikan resep. "Berilah mereka air putih yang sejuk. Jangan teh, kopi, atau sirup. Sebab, air putih itu siapa saja suka," katanya. Dengan kata lain, para dai itu diarahkan untuk tidak menyakiti hati pendengar. "Seseorang bisa merasa terkena bila kita bicara dengan cara yang berlebihan tentang tingkah polah Firaun," kata Kosim. Ketika hubungan Pemerintah dan umat Islam sedang mesra belakangan ini, munculnya dai model Iqro -- yang membawa air untuk memadamkan, bukan api untuk membakar -- agaknya pada waktu yang tepat. Toh Kosim Nurzeha sendiri, sekalipun selalu bersuara sejuk dari atas mimbar, tetap punya publik yang cukup luas. Apalagi para dai ini kan datang dengan gratis?Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini