Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pemahat otodidak yang terakhir

Pematung ida bagus tilem telah tiada. dialah pematung otodidak yang terakhir, yang telah menghasilkan karya puncak. museum patung yang diimpikannya belum terwujud.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IRING-IRINGAN pengantar jenazah itu terasa istimewa. Selain panjangnya sampai 2 km, banyak orang asing terlibat di sana. Apakah pembakaran jenazah di Desa Mas, Kabupaten Gianyar, Bali, Kamis pekan lalu itu sebagai objek turis? Kebetulan saja daerah itu di jalur pariwisata. Tapi, bukan karena itu banyak orang asing yang datang melayat. Jenazah yang dibakar bukan orang sembarangan. Ia adalah pematung terkenal Bali yang sudah punya nama internasional, Ida Bagus Tilem. Tilem meninggal dunia Sabtu, 20 November lalu, dalam usia 57 tahun. Menparpostel Joop Ave, Gubernur Bali Ida Bagus Oka, dan sejumlah pejabat termasuk yang ikut melayat ke rumah duka. Tilem dilahirkan 13 Desember 1936 dalam sebuah keluarga seniman. Ayahnya, Ida Bagus Njana, adalah pematung besar yang sezaman dengan Tjokot. Seperti ayahnya, Tilem tumbuh menjadi seniman otodidak. Ia tak pernah memasuki perguruan tinggi untuk belajar mematung. Malah yang sedikit terasa aneh, ayahnya sendiri tak mau mengajarinya. Ketika Tilem waktu itu usianya masih seumur anak SD, sekitar 12 tahun menyampaikan keinginannya belajar mematung, Njana hanya bilang, ''Lihat saja dan pikirkan sendiri.'' Sejak saat itulah Tilem kecil begitu rajin mengintip ayahnya bila bekerja. Dan ketika ayahnya pergi ia mulai coba-coba memahat. Pahanya berdarah kena pahat, dan ayahnya diam. Itulah awal mula Tilem melahirkan karya-karyanya yang unik dari sudut pandang konsep penciptaan patung gaya Bali saat itu. Karyanya tak lazim. Ia benar-benar memahatkan era baru dalam seni rupa Bali, setelah era Tjokot, Njana, dan Wayan Ayun. ''Indonesia kehilangan orang besar. Karena setelah Tilem, saya belum menemukan pemahat besar yang berasal dari desa,'' kata Dr. Jean Couteau, pengamat budaya Bali asal Prancis. Dengan perginya Tilem, pemahat tradisional yang punya konsep besar, dan berhasil, tidak ada lagi. Yang tinggal adalah pemahat modern, yang akademis. Dan Jean melihat pada pemahat akademis, belum ada puncak karya. Pada Tilem-lah puncak pencapaian seni patung Bali itu ada. ''Pada karya-karya Tilem ada perpaduan yang pekat antara tradisional dan modern. Itu hasil pencariannya sendiri,'' komentar Jean. Boleh dikatakan, lanjut Jean, ekspresi seni yang ditumpahkan Tilem dalam patung- patungnya adalah ekspresi yang mempunyai keluasan pandangan. ''Pandangan Tilem jauh ke depan melebihi pematung-pematung seangkatannya,'' kata Jean sambil memandang pada kobaran api yang mulai membakar jasad Tilem. Keunggulan karya Tilem lainnya, kata Gung Rai, kurator dan pemilik galeri di Ubud, Tilem sangat menghargai bentuk alami dari sepotong kayu. Patung yang dia kerjakan sangat tergantung dari alur kayu. Makanya, dalam karya-karyanya tak jarang ditemui bagianyang lapuk atau berlubang. Di mata Gung Rai, Tilem adalah juga pengelola galeri yang baik. Dan ia sering menuangkan ide-idenya kepada para seniman yang bekerja di galerinya. Ambillah contoh, Nyoman Togog. Menurut Gung Rai, yang memberi ide pada Togog untuk menciptakan patung pohon pisang adalah Tilem. ''Itu contoh penglihatan bisnis yang luar biasa dari Tilem,'' kata Gung Rai. Menurut Gung Rai, jarang seorang seniman tulen juga berhasil dalam bisnis seperti Tilem. Tetapi, lanjutnya, ''perpaduan'' kedua hal yang kadang bertentangan ini justru menyebabkan kontradiksi dalam tubuh Tilem. ''Itu mungkin makan ke dalam. Hingga sejak lima tahun terakhir tubuhnya mati separo,'' katanya. Sejak tahun 1972 Tilem menderita kencing manis. Menurut Ketut Darmaya, orang kepercayaan Tilem dalam mengurus galerinya (Njana Tilem Galeri), cita-cita Tilem yang sampai akhir hayatnya belum tercapai adalah mendirikan museum seni rupa di Desa Mas, Ubud. Di dalam museum itu nanti, kata Darmaya, Tilem akan mengoleksi karya-karya antik sejak tahun 1950-an. Sebenarnya, museum itu sudah siap dibangun. Koleksi pun tinggal mendatanya. Semasa hidupnya, Tilem menerima penghargaan seni Dharma Kusuma dari Pemda Bali dan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI tahun 1974. Kolektor patung-patungnya tak main- main. Menurut Gung Rai, hampir seluruh kepala negara yang pernah ke Indonesia mengoleksi karyanya. Di Gedung PBB pun terpajang karyanya. Memang karya-karya Tilem sangat unik. Ekspresi-ekspresi patungnya begitu surealistik. Patung terakhirnya adalah ekspresi seorang ibu setengah baya yang belum diberi judul, karena belum selesai benar. Kini, karya Tilem yang tersisa hanya sekitar 20 patung. Dan itu seluruhnya koleksi pribadi. Tak dijual. ''Karena dia sudah bertekad karya-karya itu akan mengisi museumnya nanti,'' kata Darmaya. Soal museum patung ini, bahkan seorang sahabat kental Tilem, Nyoman Tusan, berharap banyak. ''Jika museum ini terwujud ia akan menjadi satu-satunya museum patung di Indonesia. Dan itu sangat besar sumbangannya bagi dunia pendidikan dan perdokumentasian,'' kata Tusan, seorang pelukis. Sore pun turun. Tubuh Tilem perlahan mengabu. Kepulan asap yang tersisa siap mengantarnya megayuh perahu ke dunia seberang. Tilem pergi, Tilem tidur untuk selamanya, meninggalkan seorang istri dan empat orang putra. Putu Fajar Arcana dan Zed Abidien (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum