Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pencarian Topeng Miroto

Miroto menampilkan koreografi terbarunya di Gedung Kesenian Jakarta. Merupakan pengembangan dari tari solonya yang laris di berbagai festival mancanegara: Penumbra.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok mirip badut itu muncul lagi. Sosok bertopeng putih panji, dengan gelung kain di kepala. Ia muncul dengan karakter seperti dulu. Kakinya berdiri bak posisi kuda-kuda penari putri jatilan sebelum kuda kepang trance. Hanya kaki itu dipentangkan selebar-lebarnya.

Lalu ritme gerak tangan dan tubuhnya mirip tari baris Bali. Bergerak cepat lalu tiba-tiba berhenti. Bergerak energetik mendadak diam. Itulah Penumbra. Karya solo Miroto yang sering disisipkan ke karya-karyanya yang lain dan kini menjadi bagian dari sebuah karya panjang, Stop for the Tea.

Pertama kali ditampilkan dengan durasi enam menit, dulu sosok itu mengenakan rok putih panjang terusan. Kini sarung dan celana. Ketika itu, pada 1993, Miroto turut dalam pementasan The Persian karya Petter Sellar di Eropa. Ia menjadi prajurit Irak dan harus menari dengan menggu-nakan topeng-topeng Meksiko. Kembali ke Yogya, gairahnya mengeksplorasi topeng tak surut. Suatu kali di daerah Selarong, ia membeli sebuah topeng panji Rp 3.500. Ia yang masih kuliah di Universitas California Los Angeles itu mengolahnya menjadi karya tunggal.

Karya solo itu membawa keberuntungan. Ia diundang ke festival di Belanda, Jepang, Korea, sampai Taipei. Bahkan pernah diminta menari di depan keluarga Rockefeller di New York. ”Saat itu ditonton sekitar 25 orang, di rumah pribadi mereka,” katanya. Pada 1995, Penumbra ia kembangkan jadi 30 menit. Masih mengenakan topeng panji, Miroto juga memainkan empat topeng lain dengan kedua tangan dan kakinya. Seorang diri, ia memainkan lima topeng. Penumbra tambah laris. ”Saya sampai mampu membangun Studio Banjar Mili (studio tarinya di Yogya—Red.),” katanya jujur.

Kini Festival Teater Boneka Internasional Dordrecht di Belanda, pertengahan Juli ini, mengundangnya untuk tampil. Pesan panitia: silakan bawakan karya pilihannya, tapi jangan lupa sisipkan Penumbra. Bahkan di Dordrecht panitia meminta judul Stop for the Tea diganti menjadi Panji Penumbra.

Dan sosok panji ganjil itu berkembang jadi satu jam. Dulu ia secara tunggal memainkan lima topeng, tapi kini ada adegan tatkala ia dan empat penari lainnya melakukan hal sama. Lima penari memainkan 20 topeng. Topeng-topeng kecil itu seolah duduk dan terbahak-bahak bersama, sementara musik dari Rahayu Supanggah mengambil kor kecak dalam adegan itu.

Selama proses karya terbarunya ini Miroto aktif mengunjungi Panawiguna, perajin topeng di daerah Kranthil, Yogyakarta. Keluarga Panawiguna dikenal turun-temurun sebagai pembuat semua topeng milik Keraton Yogya. Miroto bereksprimen. Kadang menyetop Panawiguna sebelum paras topeng selesai, lalu meminta membesarkan mata atau merusak pipinya. ”Saya melihat topeng yang berwajah asimetris ekspresinya kuat.”

Karena itu, selain panji, banyak topeng dengan raut wajah setengah jadi. Pada saat adegan Penumbra, misalnya, Miroto mencopot topeng panji kemudian mengenakan topeng yang sebelah wajahnya masih kayu polos dan kasar. Ia lalu mendialogkan panji yang bersih dengan topeng berwajah rusak itu.

Tapi yang membuat karya ini kuat adalah munculnya topeng asimetris dari fiber dalam ukuran besar seperti ondel-ondel. Di panggung, sebuah topeng teronggok dalam posisi terbalik, ketika diangkat dan dipakai paras topeng itu ganjil: wajahnya bule, rambutnya merah, tapi matanya picek, mulutnya mencong sampai pipi atas. Ketika di panggung ada tiga ”ondel-ondel bule” itu menari bersama sembari mempermainkan topeng-topeng kecil, itu mencuatkan banyak tafsir.

Sesungguhnya banyak unsur visual lain yang menarik, tapi cara pengorganisasiannya tidak membuat pementasan ini memiliki struktur dramatis yang kuat. Yang tertangkap adalah fragmen-fragmen, bukan keutuhan tari sebagai keseluruhan. Miroto sendiri kemungkinan akan terus mematangkan dramaturginya. Membuang beberapa ornamen yang tak menajamkan koreografi.

Tapi tampaknya Miroto tetap mempertahankan akhir yang dibuat ”tragis”. Pada saat lima penari memainkan 20 topeng itu, tiba-tiba seseorang berdiri melempar semua topeng. Caranya merenggut seperti menggorok. Tatkala ia sendiri membuka topengnya, muncullah kejutan: ia ternyata memakai penutup kepala hitam ala teroris.

Panggung kemudian temaram. Miroto muncul menggunakan topeng kayu berwajah tak selesai itu. Ia menyapu, memunguti satu per satu serakan topeng. Penonton mafhum itu simbolisasi bagian tubuh yang berhamburan.…

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus