Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rotan-Rotan Kegundahan

Koreografer Dedy Luthan kembali mengeksplorasi tari Dayak. Sayangnya, tak ada hal baru yang ditampilkannya.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alunan musik terdengar berdebum, riuh, cenderung mengagetkan. Empat sosok laki-laki menari dengan gerakan eksploratif. Mereka menjelma menjadi empat sosok dengan tubuh penuh juluran rotan panjang. Gerakan mereka liar, seraya menggeliat memukulkan juluran rotan ke segala arah dan menimbulkan suara lecutan. Efek misterius muncul dari empat sosok ini.

Ya, mereka bagian dari Tanah yang Hilang, karya Dedy Luthan yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa-Rabu pekan lalu. Koreografi ini mengisahkan perubahan dari kehidupan masyarakat Dayak. Satu bentuk koreografi lain tentang masyarakat Kalimantan setelah karyanya Ketika Anggrek Hitam Berbunga pada 2002. ”Kali ini saya ingin bercerita tentang kegundahan mereka,” kata Dedy Luthan.

Prolog koreografinya adalah sebentuk tarian yang kontemplatif. Gerakan-gerakannya diadopsi dari tarian Dayak Kanjet Tunggal, tarian yang menceritakan ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, sebuah ramuan kombinasi dengan tari bedaya dari Surakarta. Karena jumlah penarinya sembilan orang, masing-masing memegang senjata mandau. Cuma, prolog ini terasa agak lama untuk membuka karya utama dari Dedy Luthan.

Setelah sembilan penari itu keluar panggung, gemuruh musik perkusi tiba-tiba membahana. Tujuh orang penari masuk dengan cara berjalan doyong ke belakang. Gerakan ritmis dan serempak. Selanjutnya tekstur gerakan itu menjadi cepat, lentur, dan berenergi. Tak lama kemudian, dalam babak berikutnya, empat penari bergerak. Konflik kehidupan yang menggeliat tercermin dari gerakan tarian mereka. Dalam bagian ini Dedy Luthan menggambarkan problem kehidupan manusia yang tak selalu mengenakkan. ”Saya berbicara tentang musnahnya hutan Kalimantan, berubah menjadi lautan pasir,” ujar Dedy.

Wujud pasir secara harfiah muncul ketika seorang penari bergerak ke arah belakang. Masih dengan gerakan tari kontemporer, ia diguyur pasir dari atas panggung. Remah-remah itu pun berserakan di atas lantai. Sementara empat sosok yang penuh balutan rotan yang menjulur makin menggila. Mereka membentuk formasi di empat sudut, mengelilingi dua penari yang ada di tengah. Empat sosok ini memberontak, melecut, tumbang, berdiri, dan terus bergeliat. ”Empat sosok itu bukanlah makhluk, melainkan gambaran dari bentuk kegundahan,” katanya.

Sebenarnya simbol yang diangkat Dedy Luthan dalam pementasan ini bukanlah barang baru. Dalam karya sebelumnya, Dedy juga menggunakan bentuk yang sama. Empat sosok yang berjuntaian rotan pernah muncul dalam karya Perempuan Lala pada Juni 2006. Itulah karya yang terinspirasi oleh tulisan Pramoedya Ananta Toer Gadis Pantai. Kedua karya ini sama dalam mencitrakan kegundahan pada sosok berotan. ”Ini bukannya saya kehabisan ide, tapi karena saya belum puas mengeksplorasi rotan,” katanya.

Guyuran pasir dari atas menimpa penari juga bukan satu hal baru. Dalam pementasan Dedy Luthan bertajuk Ketika Anggrek Hitam Berbunga (2002) juga menggunakan media pasir. Sebuah adegan satu pria suku Modang dengan segala atribut pakaian kebesaran menari dengan gagah. Ketika ia tengah bergerak, tiba-tiba bertaburan pasir dari atas. Muncratan pasir itu memadamkan kobaran api yang ada di bawahnya. Satu eksekusi yang tidak jauh berbeda dengan koreografinya kali ini, hanya ia tidak menggunakan api, cukup pasir jatuh mengucur ke lantai panggung.

Dedy mengerjakan koreografi ini dua bulan. Memang waktu yang singkat untuk menggarap tarian yang terdiri dari empat bagian. Namun bagi Dedy waktu itu terasa cukup lantaran jauh sebelumnya memang ia telah bersentuhan dengan tradisi Dayak. Sejak 1978 ia telah menyentuh bentuk tarian Dayak, seterusnya membuat sebuah komposisi baru.

Pria yang bernama asli Hendarwanto Panji Akbar ini memang konsisten menjaga gawang bentuk kesenian tradisional dalam karyanya. Karya yang muncul dari studi lapangan dan penelitian kesenian ke pelbagai daerah di Nusantara. Misalnya Nias, Dayak, Kalimantan Timur, Minang. Batak, Jawa Timur, Bali, Papua, dan Toraja. Ia terus merepresentasikan kegelisahan dari pelosok negeri lewat tarian. ”Saya yakin, dari akar tradisional ini masih akan terus bergerak dan berkembang,” kata pria kelahiran 1951 ini.

Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus