Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Baru Sebatas Koalisi Batin

Golkar dan PDI Perjuangan membangun koalisi menjelang Pemilihan Umum 2009. Politisi Beringin kecewa karena Yudhoyono merangkul Akbar Tandjung.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA sahabat lama itu bertemu di Hotel Conrad, Tokyo, akhir April lalu. Mereka adalah Taufiq Kiemas dan Surya Paloh. Saat itu keduanya sedang berlibur di sana. Di hotel bintang lima itu, mereka asyik berdiskusi, termasuk soal masa depan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dua partai besar itu menempati urutan pertama dan kedua dalam Pemilihan Umum 2004.

Taufiq dan Surya sama-sama menduduki posisi penting dalam dua partai itu. Taufiq Kiemas adalah Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan dan Surya Paloh adalah Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Di Hotel Conrad, mereka sepakat Partai Beringin dan PDIP merancang sebuah pertemuan nasional. Keduanya juga sepakat akan bertemu kembali.

Pertemuan kedua dilangsungkan di Hotel Inter-Continental, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, awal Mei lalu. Tuan rumah pertemuan itu adalah Surya Paloh. Selain Taufiq dan Surya, hadir dalam rapat itu petinggi kedua partai. Digelar malam hari, rapat berlangsung santai sembari santap malam. ”Semuanya Bang Surya yang traktir,” kata Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan, yang ikut hadir.

Detail rencana selanjutnya dibahas malam itu. Setelah berdiskusi berjam-jam, akhirnya mereka sepakat akan menggelar silaturahmi nasional. Tem-patnya di Medan, Sumatera Utara. Kota itu dipilih karena masyarakatnya majemuk dan badan legislatifnya praktis dikuasai Golkar dan PDI Perjuangan. Tuan rumah pertemuan itu adalah Golkar, dibantu Rudolf Matzuoka Pardede, Gubernur Sumatera Utara, yang juga kader Partai Banteng.

Hajatan itu digelar di Hotel Tiara Medan, Rabu pekan lalu. Ribuan kader kedua partai tumpah-ruah. Dekorasi panggung dihiasi gambar Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla. Juga gambar Surya Paloh dan Taufiq Kiemas. Meriah dan gegap-gempita. Suasana acara ini lebih mirip kampanye pemilihan umum ketimbang silaturahmi biasa.

Dari atas panggung, Taufiq membakar semangat kader kedua partai itu agar mendulang 60 persen suara dalam Pemilihan Umum 2009. ’’Jika kita sudah menang pemilu, baru kita tentukan siapa presidennya. Bisa dari Golkar dan bisa juga dari PDI Perjuangan,’’ kata suami Megawati Soekarnoputri itu. Surya Paloh juga berpidato penuh semangat. ”Kalau kekuatan ini dipertahankan, akan menjadi peluang yang besar,” katanya. Para kader yang datang dari berbagai kota di Sumatera Utara bertempik-sorak.

Sorak-sorai di Medan itu baru sekadar pemanasan. Rencananya, pertemuan serupa akan digeber di semua ibu kota provinsi. Pemilihan tempat dilakukan secara acak. Menurut Tjahjo Kumolo, pertemuan berikutnya digelar di Palembang, lalu di Jakarta. Megawati Soekarnoputri dan Jusuf Kalla direncanakan hadir dalam apel akbar itu. Kehadiran dua pemimpin itu diharapkan bisa memberi pesan kepada para kader bahwa dua partai ini sudah akur lagi.

Hubungan PDI Perjuangan dan Golkar memang selalu putus-sambung. Kadang mesra, kadang pula berseberangan. Mereka bersekutu mengusung Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dalam pemilihan presiden tahap kedua tahun 2004. Koalisi ini kalah telak. PDI Perjuangan langsung tersingkir dari kekuasaan, sedangkan Golkar tertolong oleh Jusuf Kalla yang sukses meraih kursi wakil presiden. Golkar kian duduk manis di lingkaran kekuasaan sesudah Jusuf Kalla menyabet kursi Ketua Umum Golkar. Di Senayan, juga di daerah-daerah, dia kerap berseberangan dengan sekutu lamanya, PDI Perjuangan.

Lalu mengapa partai itu mau bersekutu lagi dengan PDI Perjuangan, yang jelas-jelas memilih oposisi? Jawaban atas pertanyaan itu bisa beragam. Tergantung kelompok mana di Golkar yang menjawabnya.

Peta politik Golkar memang lebih rumit daripada PDI Perjuangan. Seorang petinggi partai itu menuturkan si Beringin kini praktis terbelah tiga: kelompok Jusuf Kalla dan Surya Paloh, kelompok Agung Laksono, dan kelompok Akbar Tandjung. Kadang mereka kompak, kerap kali pula terbelah. Uniknya, setiap kelompok membangun lobi politik sendiri-sendiri dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tapi sang Presiden, kata sumber itu, akhir-akhir ini kurang mesra dengan Jusuf Kalla. Penyebabnya beragam: dari perombakan kabinet hingga bentrok antarkader. Golkar merasa sudah tidak diperhatikan lagi oleh Yudhoyono. Coba dengar kata Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Golkar di Senayan. Sebagai partai besar yang selama ini membela pemerintah, katanya, ”Golkar itu tidak dianggap.”

Sudah begitu, menurut sumber Tempo di Golkar, Yudhoyono malah terkesan melirik kelompok di luar struktur, yakni barisan Akbar Tandjung. Mantan Ketua Umum Golkar itu kini menjadi Ketua Dewan Penasihat Barisan Indonesia alias Barindo. Sebagian pengurus organisasi itu adalah orang dekat Yudhoyono. Kabarnya, organisasi itu bakal menjadi kereta Akbar mendampingi Yudhoyono dalam Pemilihan Umum 2009. Akbar, kata sumber ini lagi, belakangan kerap diundang ke Istana.

Sinyal Istana condong ke Akbar Tandjung itu diakui Tjahjo Kumolo, yang ikut merancang pertemuan di Medan. ”Ada indikasi Yudhoyono mulai menggandeng Akbar Tandjung, yang maju dalam pencalonan melalui Partai Barindo,” katanya. Sejumlah sumber di Golkar membenarkan soal kedekatan Yudhoyono dan Akbar ini. ”Akbar dilirik karena kekuatannya di Golkar masih besar,” kata seorang petinggi Golkar.

Kepada Tempo, Akbar membantah kabar bahwa Barindo bakal menjadi keretanya dalam Pemilihan Umum 2009. Dia mengakui menjadi Ketua Dewan Penasihat Barindo, tapi organisasi itu bukan kendaraan politik dan tidak berafiliasi ke mana-mana. Dua pekan lalu, kata Akbar, ”Saya bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Istana, tapi untuk mengundang beliau dalam pesta peringatan Sisingamangaraja di Sumatera Utara.”

Menurut Akbar Tandjung, sebagai partai yang ikut memerintah, Golkar mestinya bahagia. Jika kemudian mereka menyeberang dan bersekutu dengan partai oposisi, ”Barangkali saja ada yang tidak happy,” katanya. Sinyal kurang happy itu memang sudah meletup di daerah-daerah. Banyak kader Beringin yang gerah. Sejumlah petinggi Golkar daerah kerap kali memprotes karena, sebagai partai penyokong pemerintah, mereka tidak mendapat apa-apa.

Protes keras dari daerah itu berhamburan dalam rapat pleno Dewan Pimpinan Golkar yang digelar Kamis malam pekan lalu. Para pemimpin wilayah mendesak pengurus pusat meninggalkan pemerintah Yudhoyono. Mereka lebih sreg bersekutu dengan PDI Perjuangan yang menjadi partai oposisi. Sejumlah petinggi Golkar terkejut dengan desakan itu. ”Di hadapan Jusuf Kalla, para pemimpin daerah minta ikut oposisi,” kata Priyo Budi Santoso terheran-heran.

Pertemuan Kamis malam pekan lalu itu menjadi arena menumpahkan unek-unek. Termasuk mereka yang memprotes pertemuan di Medan. Walau itu atas persetujuan Ketua Umum, kelompok Agung Laksono memprotes keras. ”Saya sebagai wakil ketua umum menegaskan belum ada koalisi dengan partai apa pun,” kata Agung, yang tidak ikut dalam pertemuan itu.

Yuddy Chrisnandi menyesalkan pernyataan Surya Paloh soal koalisi dengan PDI perjuangan. ”Pernyataan koalisi itu sangat mengagetkan dan tidak lazim dalam tradisi politik Golkar,” ujarnya. Kebijakan untuk berkoalisi, kata Yuddy, jelas wewenang dewan pimpinan pusat partai dan bukan dewan pembina.

Jusuf Kalla membantah keras jika pertemuan di Medan itu disebut sebagai koalisi menuju Pemilihan Umum 2009. Pertemuan itu, kata dia, cuma acara makan bersama karena kedua partai memiliki semangat kebangsaan yang sama. Dia juga membantah kabar bahwa hubungannya dengan Presiden kurang harmonis. ”Tiga hari sebelum pertemuan itu, saya sudah memberi tahu Presiden. Dia bilang tidak masalah,” kata Kalla.

Surya Paloh heran bukan kepalang karena sejumlah kalangan menuduh pertemuan itu sebagai koalisi politik. Pertemuan di Medan itu, ujar Surya, belum membicarakan koalisi politik menuju 2009. Pertemuan itu, katanya, cuma digagas dia sebagai Ketua Dewan Penasihat Golkar dan Taufiq Kiemas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan. Karena sesama ketua dewan pembina, kata Surya, mereka tidak berbicara soal koalisi politik. ”Ini baru koalisi batin, belum koalisi politik. Kok, sudah pada ribut,” ujar Surya.

Wenseslaus Manggut, Erwin Dariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus