Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Peneliti di Jalan Sunyi

Thee Kian Wie wafat meninggalkan karya bermutu di sejumlah jurnal dan buku. Sejarah ekonomi yang ditekuninya miskin peminat meski penting.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAL Hill, peneliti ekonomi dari Australia, pernah menulis di Far Eastern Economic Review: "Four Men Who Changed Indonesia". Keempat orang itu adalah Moh. Sadli, Hadi Soesastro, Thee Kian Wie, dan Boediono. Mereka mirip satu sama lain: sangat rendah hati dengan integritas tak teragukan, kosmopolit sekaligus sangat nasionalis, peduli pada pendidikan nasional, dan selalu antusias membimbing para peneliti muda.

Walaupun dari generasi terdahulu, mereka selalu up-to-date dengan isu-isu terbaru dan tidak terjebak dalam paradigma-paradigma yang sudah ketinggalan zaman. Mereka penerjemah teori menjadi kebijakan praktis, menjembatani Indonesia dengan dunia internasional, serta menghubungkan generasi terdahulu dan generasi sekarang. Tiga orang pertama sudah berpulang ke alam kedamaian. Yang terakhir pergi adalah Pak Thee, yang wafat 8 Februari lalu pada usia 79 tahun.

Pak Thee sering memuji sahabatnya, Hal Hill, sebagai ilmuwan yang berkeringat artikel. Padahal dia sendiri sangat produktif. Ada sekitar 200 artikel yang ditulisnya sepanjang 40 tahun perjalanan karier intelektual sebagai peneliti ekonomi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Belum termasuk ratusan halaman buku. Tentu saja tulisan-tulisan itu sama sekali bukan "just Mickey Mouse paper", seperti selalu dikatakannya dengan rendah hati ketika membagi draf artikel kepada sahabat-sahabatnya untuk dikomentari. Tulisannya selalu terbit di jurnal ternama atau dipresentasikan di seminar yang serius.

Sejarah ekonomi yang ditekuni Pak Thee merupakan disiplin ilmu yang miskin peminat di Indonesia. Lantas apa relevansi ekonomi zaman kolonial dengan era sekarang? Mungkin tulisan-tulisannya tentang extractive institution zaman kolonial bisa menjadi contoh. Beliau mendokumentasikan secara rinci bagaimana mekanisme institusi ekstraktif bekerja dan konsekuensinya. Lantas beliau menunjukkan bahwa institusi ekstraktif diulang pada era Orde Baru.

Tulisan-tulisan Pak Thee menjadi bahan utama untuk teori besar (grand theory) pembangunan dan teori institusi paling mutakhir. Acemoglu dan kawan-kawan akan kesulitan menulis buku laris Why Nation Fail tanpa bantuan sejarawan ekonomi seperti Pak Thee. Tulisan tentang sejarah ekonomi juga sangat penting bagi Indonesia, yang memiliki memori institusi yang myopic. Betapa banyak kebijakan buruk pada masa lalu yang diulang lagi, sementara kebijakan yang pernah sukses di masa lalu malah dilupakan.

Minat Pak Thee yang lain adalah industrialisasi, penanaman modal, dan teknologi. Saya menduga ketertarikannya pada topik-topik ini tidak lepas dari kedekatannya dengan Soemitro Djojohadikusumo pada awal Orde Baru. Soemitro memintanya memimpin penelitian tentang Perspektif Pertumbuhan Jangka Panjang Indonesia. Dalam proyek penelitian itu, salah satu variabel utama yang ditekankan adalah teknologi.

Tak mengherankan, tujuh dari sepuluh artikel Pak Thee yang paling sering dikutip adalah yang berkaitan dengan teknologi dan penanaman modal asing. Peringkat pertama tulisannya di The Bulletin of Indonesian Economics Studies adalah "The Surge of Asian NICS Investment". Di situ Pak Thee menuliskan faktor-faktor pendorong dan penarik gelombang penanaman modal asing dari negara-negara industri baru Asia ke Indonesia.

Saya bersama beberapa kolega dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) beruntung pernah melakukan penelitian tentang industri otomotif, elektronik, dan tekstil yang dipimpin Pak Thee. Dalam penelitian itu, dia mencurahkan segala pengetahuannya tentang kapabilitas teknologi. Beliau tak segan turun ke lapangan dengan menyetir mobil sendiri untuk mewawancarai pimpinan perusahaan-perusahaan otomotif yang dikunjunginya.

Pak Thee jauh dari kesan peneliti senior yang angker. Beliau sangat ramah, menghargai dan menganggap setara peneliti yang lebih muda. Dia juga memiliki selera humor tinggi, seperti yang sering dikatakannya: "I'm not a first rate academician, but I'm a first rate comedian." Humor-humornya sungguh menyegarkan dan mampu mencairkan suasana. Beliau suka "show-off" tentang kesehatannya dengan menunjukkan otot bisepnya, bahkan push-up di hadapan kami, kalau perlu di restoran.

Seminggu sebelum beliau wafat, kami masih ngobrol lama di kediamannya yang selalu disebutnya "70 m2 rabbit hutch". Beliau masih bersemangat membahas penelitian-penelitiannya, menunjukkan koleksi buku-bukunya, serta memuji sahabat-sahabat penelitinya di Belanda, Australia, dan Indonesia Waktu itu saya ingin berkata, tapi tidak kesampaian: Tuhan tidak adil, mengapa semua yang bagus diborong Pak Thee? Dia model bagi peneliti yang melangkahi jalan sunyi tanpa kehilangan kehangatan sebagai manusia. Selamat jalan, Pak Thee.

Haryo Aswicahyono, Peneliti Ekonomi CSIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus