Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat dengan beberapa pengusaha, pada Juli 1988, pemimpin sidang berkata, "Sebelum sidang ini saya buka resmi, sebaiknya Bapak Bob Sadino berpakaian dulu." Apakah Bob telanjang? Tentu tidak. Hanya, dia berpakaian "dinas harian": celana pendek jins, kemeja kotak-kotak yang ujungnya tak dijahit, dan sepatu tanpa kaus kaki.
Mendengar titah itu, Bob berdiri. "Baik. Saya mohon maaf atas kejadian ini. Bila Dewan masih membutuhkan informasi dari saya, silakan datang ke rumah saya setiap saat," ujarnya kalem. Bob lantas meninggalkan ruangan dan pulang.
Bambang Mustari Sadino, yang lebih dikenal sebagai Bob Sadino, bukanlah wirausaha pertama di Indonesia. Tapi, ketika anak muda masa kini ramai-ramai ingin menjadi entrepreneur, Bob selalu dijadikan role model. Ia memiliki semua yang mereka inginkan: berpikiran merdeka, memulai usaha dari nol, mengelola perusahaan dengan cara modern, dan nyentrik.
Memakai celana pendek dalam berbagai acara adalah salah satu simbol kemerdekaannya. Bob bahkan pernah menerima Presiden Soeharto di perkebunannya dengan celana pendek. Ia menyadari betul ciri khas dan identitasnya yang aneh ini. "Saya baru akan menggunakan busana lengkap kalau melayat," ucapnya berseloroh. Bob mengaku risi dan malu kalau mengenakan busana formal yang lengkap. "Bagi saya, rasanya sama saja dengan telanjang."
Bob—yang meninggal pekan lalu pada usia 82 tahun—dikenang tentu bukan hanya karena celana pendeknya. Ia adalah contoh yang baik bagi kerja keras, konsistensi, dan inovasi dalam berbisnis. Sejak lulus dari Sekolah Menengah Atas IV Jakarta pada 1953, pria kelahiran Tanjung Karang, Lampung, ini langsung masuk ke dunia kerja. "Saya sekolah dari kehidupan. Dengan begitu, saya bisa bebas dari belenggu pikiran formal," ujarnya.
Pernah hidup sembilan tahun di luar negeri, antara lain di New York dan Hamburg, sebagai karyawan keagenan PT Djakarta Lloyd, Bob kembali ke Tanah Air pada 1967, dan memutuskan berhenti menjadi pegawai negeri. "Dalam keadaan miskin, waktu itu saya malah jatuh sakit di perut, yang cukup parah," katanya. Nasib mempertemukan Bob dengan peternak ayam, Marsekal Purnawirawan Sri Mulyono Herlambang, tetangganya, yang meminjaminya 50 ekor anak ayam dan memberinya sebuah buku tentang beternak ayam—bidang yang kemudian ditekuninya.
Bersama istrinya, Soelami Soejoed, pada 1968, Bob mulai menjual telur dan ayam ke rumah orang gedongan, umumnya orang Barat, yang tinggal di Kemang, Jakarta Selatan. Dari ayam Kemang itulah PT Kem Chicks didirikan setahun kemudian. Pada 1981, seorang temannya yang kulit putih menyarankan Bob menanam sayuran dengan cara hidroponik. Ia menanam paprika, cantaloupe, brokoli, dan berbagai sayuran yang saat itu masih asing bagi mulut orang Indonesia.
Bob merawat Kem Chicks seperti dia merawat anak sendiri. "Kalau sedang tidak ke luar kota, Om Bob setiap hari pasti ada di toko. Dia adalah the man who never meets stranger karena enggak ada yang tidak dia kenal," kata Zainal Abidin, Direktur Institut Kemandirian Dompet Dhuafa, yang mengenal Bob selama 20 tahun.
Hal yang sama diungkapkan oleh kenalan Bob lainnya, Aristides Katoppo. "Dia dari dulu bersama istrinya selalu ada di toko. Kadang bergantian kalau toko sedang sepi. Kesungguhannya itu, disiplin, rajin, sebenarnya di mana-mana diajarkan, tapi tidak dipraktekkan," ucap wartawan yang lahir pada 1938 itu.
Rekan hidup dan bisnis Bob, Soelami, meninggal pada Juli tahun lalu. Sejak itu, kesehatan Bob menurun. "Om Bob jarang makan sejak Tante meninggal pada bulan puasa lalu," kata Zainal. Senin pekan lalu, Bob meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah sejak November 2014. Dia dimakamkan di Jeruk Purut, Jakarta Selatan, tepat di samping kuburan istrinya. Kini kedua anak mereka—Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih—yang meneruskan usaha Bob dan Soelami. "Insya Allah, kami bisa mempertahankannya," ujar Myra.
Bob yakin perusahaannya bertahan karena dia percaya betul urusan makanan tak ada batasnya, "Selama pantat orang masih bolong," katanya.
Qaris Tajudin, Kartika Candra, Gangsar Parikesit
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo