Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Tante Jacky. Parasnya terlihat cerdas. Tubuhnya langsing, tinggi semampai, berhidung mancung. Rambutnya hitam bob berponi. Ia bertualang dari satu studio seniman ke studio lain. Ia muncul di studio milik Heri Dono. Ia berdiri bersama Heri di bawah gantungan patung-patung bersayap karya Heri. Heri Dono seolah-olah tengah menjelaskan malaikat-malaikat listriknya kepada sang tante. Ia juga hadir di studio Ugo Untoro, dengan hanya mengenakan bikini. Ia cuma berbra hitam dan bawahan lingerie berenda. Ugo terlihat berdiri bertopang dagu sambil tercenung menatap satu bagian buah dada si tante yang terbuka.
Tante Jacky bukanlah manusia sungguhan. Ia sesosok manekin yang menjadi salah satu benang merah dalam foto-foto yang dipamerkan dalam ekshibisi foto Film dari Davy Linggar. Pameran ini digelar hingga 17 Februari mendatang di lantai tiga Papilion, Kemang, Jakarta Selatan. Film adalah hasil pengamatan Davy atas kehidupan seniman di balik tembok studio.
"Manekin itu saya umpamakan seorang kolektor yang sedang berkunjung ke studio dan berinteraksi dengan seniman," kata Davy. Seniman yang disambangi sang Tante antara lain Heri Dono, Tisna Sanjaya, Agus Suwage, Entang Wiharso, Angki Purbandono, Pramuhendra, dan Ade Darmawan. Nama-nama itu dinilai Davy cukup representatif untuk mewakili seniman kontemporer saat ini.
Adapun nama Tante Jacky diambil Davy dari tulisan yang tertera di boks penyimpanan manekin ini. Sosok manekin perempuan tersebut dimaksudkan Davy sebagai representasi pasar yang turut menjadi bagian dari ekosistem milik sang seniman. "Bukankah seniman saat ini sedikit-banyak selalu diintervensi pasar?" ujarnya. Tante Jacky didandani perancang busana kenamaan Biyan Wanaatmadja.
Davy menjelaskan beragam "interaksi" terjadi antara seniman dan sang manekin. Tisna Sanjaya, misalnya, secara edan "mengajak" Tante Jacky mengunjungi tempat pembuangan sampah yang berada di lingkungannya. Dalam satu jepretan Davy, Tisna terlihat tengah berbincang dengan sang manekin. Di foto lain, Tisna diperlihatkan sedang membasuh kaki manekin, bahkan bersujud di hadapannya. Pada saat berkunjung ke studio Ade Darmawan, tubuh manekin ini malah dimutilasi, hanya menyisakan potongan pinggul dan kaki sebelah kanan. Sedangkan serabut keabuan mencuat dari tempat tungkai kaki kiri seharusnya berada.
Hafiz Rancajale, salah satu kurator dalam pameran ini, menyebutkan bahwa Davy lebih dari sekadar melakukan dokumentasi terhadap studio, ruangan di balik layar tempat berproses seniman. "Davy menggunakan fotografi untuk membangun sebuah fantasi pada studio seniman dan menggubahnya sebagai satu obyek seni," ujarnya. Hafiz mengaku ia mulanya tak begitu menyetujui langkah Davy menggunakan manekin, karena dinilainya terlalu artifisial. "Namun saya menilai Davy akhirnya berhasil membuat para seniman merespons manekin tersebut," ujarnya.
Davy memang bukan fotografer pertama yang menggarap obyek manekin. Sudah banyak fotografer lain yang mengeksplorasi dunia manekin. Pada 1999 kurator Hendro Wiyanto, misalnya, menampilkan foto-foto berobyek manekin karya fotografer Jerman, Sigrun Janiel, di Galeri Milenium, Jakarta Selatan. Sigrun datang ke sebuah pabrik manekin di kawasan Jabotabek dan memotret rongsokan manekin, baik yang rusak, masih berbungkus, maupun belum tersambung. Hasilnya menarik. Kita melihat imaji seperti tumpukan mutilasi potongan tubuh atau bagian tangan-kaki yang tercerai-berai. Atau sosok-sosok perempuan terkurung dalam plastik.
Davy, jebolan Jurusan Fotografi Universitas Gesamthochschule Essen, Jerman, menyebutkan sebenarnya ia sudah lama memiliki gagasan ini, tapi baru setahun lalu ia mulai mengerjakannya. Selama setahun ia mencicil proyek ini, termasuk bolak-balik Jakarta-Bandung-Yogyakarta untuk mengunjungi studio seniman tersebut. Dalam memotret Tante Jacky, Davy memilih tak menggunakan kamera digital, yang sebetulnya lebih mudah. Ia malah menggunakan kamera large format analog. Davy menggunakan empat kamera large format. Salah satunya kamera kayu Chamonix asal Cina yang relatif lebih ringan untuk dibawa ke mana-mana.
Sudah tentu proses pengambilan gambar menjadi jauh lebih panjang. Dari memasang tripod dan lensa, membuka diagframa, mencari fokus, memeriksa fotometer, hingga akhirnya memasukkan film. "Untuk satu kali jepret, 'ritual' yang harus dilakukan bisa sampai lima menit," ujarnya. Film yang berukuran 4 x 5 inci ini kemudian juga diproses sendiri oleh Davy. Ia menggunakan berbagai jenis film, baik film hitam-putih maupun warna.
Davy menuturkan bahwa kamera large format memberinya kesempatan mendalami sekitarnya dengan baik, hal yang tidak ia dapatkan dengan menggunakan kamera digital. Menurut dia, pemotretan dengan kamera digital "hanya" akan membuatnya menjepret sebanyak mungkin di lapangan, dan memilih hasilnya di rumah. "Sedangkan dengan kamera large format, kita harus benar-benar mengobservasi keadaan sekitar sebelum memotret," ujarnya. Bukan hanya itu, karena lamanya ritual yang dibutuhkan, para seniman yang difoto pun ikut berproses bersamanya dalam pengambilan gambar ini.
Memang dari 90 karya foto yang ditampilkan di Papilion itu tak semua memajang adegan Tante Jacky dan para seniman. Potret-potret Davy juga memperlihatkan detail kecil ruang kerja seniman yang membawa pengunjung masuk lebih intim dalam atmosfer ruangan. Tapi yang paling menarik memang adalah foto-foto saat Tante Jacky yang langsing dengan tatapan matanya yang sayu misterius itu hadir.
Ratnaning Asih, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo