Seorang tua bergelung konde kecil, dengan rambut dan jenggot memutih, bersandal jepit, berdiri di trotoar, bertahan dalam terik. Siang itu panas membakar bilangan Senen, Jakarta. Sebuah tripleks untuk tumpuan kertas dicangklongkan dari lehernya. Ia menggambar. Orang-orang mengerumuninya, ia tak terganggu. Seperti seorang pendekar dalam kisah-kisah silat, lelaki 67 tahun itu punya konsentrasi tinggi. Matanya awas menangkap mikrolet-mikrolet, sepeda motor, gedung-gedung. Tangannya menggoreskan pensil.
X Ling bisa disebut perekam yang piawai. Seluruh sketsanya menggambarkan lokasi-lokasi yang kita ketahui. Tanah Abang, pojok Atrium Senen, Gondangdia, Salemba, Museum Fatahilah, bekas rumah Raden Saleh di Cikini, Museum Wayang, Stasiun Kota. Menampilkan yang sudah kita kenal tapi tetap mampu menyedot mata kita, itulah kelebihannya. Sketsanya sekadar mengopi obyek, tapi bobot kopiannya itulah yang berbeda.
Dari umur 18 sampai kini, ia setia pada sketsa. Ke mana pun pergi tak lupa ia membawa kertas dan pensil. Menyerahkan dirinya pada sketsa, itu yang mengharukan. Puluhan sketsanya tahun 2002, yang dipamerkan di Duta Fine, menunjukkan bahwa kepekaannya pada detail adalah anugerah yang dimilikinya. Ia teliti pada akurasi. Didukung keterampilannya membangun perspektif, garis-garisnya selalu mampu membangkitkan suasana.
Ia seperti sosok yang misterius. Nama X Ling adalah singkatan dari nama samaran X Loro Kuning (sakit kuning). Pria kelahiran Wonosobo ini aslinya bernama Phom Dian Ek. Ia belajar melukis pertama kali di sanggar seni Kartono Yudokusumo, Bandung, tahun 1951. Kemudian di Akademi Kesenian Surakarta. Lalu, selama 25 tahun ia menetap di Palembang, dan kini menetap di Pacitan, Jawa Timur.
Tahun 1980, ia pernah berpameran di Banowati Art Shop, Semarang. Setelah itu, selama 20 tahun ia hilang dari dunia pameran. Sketsa-sketsanya hanya dijadikan koleksi pribadinya. Di sebuah rumah keluarganya di dekat ketinggian Candi Sukuh, misalnya, sketsa-sketsanya ditempelkan di ruang tamu. Baru tahun 2000 di Pusat Kebudayaan Prancis, Jakarta, ia muncul lagi. Waktu itu konon ia merasa berdosa karena sketsanya semua berangkat dari kejelataan, sementara kalangan yang hadir menyebarkan wangi.
Sketsanya mungkin bisa menjadi saksi sebuah pertumbuhan kota. Lihatlah bagaimana ia menangkap kesemrawutan Surabaya. Suasana sekitar Jalan Kapasan, Singoyudan, dan Kembang Jepun, atau keramaian Sekaten, penjual sengsu (tongseng asu), atau Pelabuhan Sunda Kelapa. Truk-truk yang bongkar di depan kapal-kapal tradisional. Selalu yang ditunjukkan adalah keringat para pekerja. Sketsanya seolah saksi atas bau pesing, debu, rasa gerah, watak teguh, kebersahajaan, dan kejujuran kalangan kecil. Jakarta di matanya adalah sebuah kampung besar yang kurang-lebih sama dengan kampung di Pacitan, Jawa Timur.
Selalu yang ditampilkan suasana batin yang hiruk-pikuk, spirit suasana pasar. Tak ada tarikan garisnya yang sunyi atau yang liris, katakanlah seperti garis-garis Ipe Maroef. Apalagi minimalis seperti Rusli—yang dengan satu tarikan garis tipis mampu memunculkan sebuah asosiasi. X Ling tak pernah kikir pada bidang-bidangnya. Kerap kertasnya ditambah dengan catatan-catatan yang kadang tidak ada hubungannya dengan materi gambarnya. Bahkan dengan huruf-huruf Cina. Mungkin itu sebuah surat, mungkin itu sebuah kecamuk batin yang lain. Kita tak tahu suasana hatinya bilamana ia membedakan menumpahkan dengan huruf Cina atau Latin. Yang jelas, aksara-aksara Cina itu menambah cantik bidang sketsanya.
Entah kenapa X Ling gemar mengulang-ulang mensketsa gedung-gedung tempo doeloe. Museum sejarah, misalnya, bisa lebih dari sepuluh kali ia sketsa, dengan berbagai sudut. Seolah X Ling cemas bahwa yang tua-tua itu sebentar lagi akan hilang. Ada nostalgia sekaligus keperihan di situ.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini