Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Apa kabar untuk anak-anak kita

Yayasan kesejahteraan anak indonesia (ykai) merencanakan menyelenggarakan pendidikan prasekolah melalui tvri. film seri ini berjudul "apa kabar" yang menekankan pada idiom (bahasa) bukan isi.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN besar anak-anak kita tidak punya kesempatan mendapat pendidikan prasekolah. Taman kanak-kanak, alat peraga, dan buku-buku untuk mengembangkan persepsi adalah fasilitas terbatas yang sangat mahal bagi mereka. Anak-anak ini bukan cuma buta huruf ketika masuk sekolah. Mereka nyaris "buta" segalanya. Alhamdulillah, akhirnya ada ikhtiar untuk menolong mereka. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) telah menyiapkan rencana besar, menyelenggarakan pendidikan prasekolah melalui televisi. Dalam lokakarya yang diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa pekan lalu, rencana ini dibahas. Pertemuan ini yang dibuka Ketua Umum YKAI, Ibu Umar Wirahadikusumah, dihadiri Direktur Televisi, Ishadi, M.Sc.. wakil Deartemen P dan K, dan wakil Departemen Sosial. Tampak pula peminat masalah anak-anak, di antaranya penulis cerita anak-anak, Arswendo Atmowiloto. Sebenarnya TVRI sudah menyajikan film-film pendidikan prasekolah. Misalnya Square One dan di masa lalu, Sesame Street. Tapi film-film asing ini, menurut Ishadi, tidak selalu sesuai dengan tujuan pendidikan kita. Di samping itu ada kesulitan bahasa. Maka, ia menyatakan TVRI bukan cuma tertarik tapi akan membantu usaha memproduksi film pendidikan prasekolah di dalam negeri. "Dan TVRI akan menayangkan film itu secara nasional, tidak ada masalah," katanya tegas. YKAI, dalam pertemuan itu, tidak cuma melemparkan gagasan, tapi juga menyajikan film percobaan yang dibuat Unit Kerja Audio Visual YKAI. Film yang menelan biaya Rp 40 juta ini menunjukkan kapasitas unit kerja yayasan itu membuat film pendidikan yang bermutu. Baik dari segi konsep, pengerjaan, maupun kerja sama crew yang meliputi berbagai keahlian -- perancang grafis, perancang boneka, pencipta lagu, dan tentunya sineas. Film percobaan dengan masa putar 27 menit itu berjudul Apa Kabar. "Film ini seperti Sesame Street mengikuti konsep format majalah," kata Wagiono, M.Sc., perancang dan pemimpin produksi film itu. Format majalah adalah konsep film yang sekuen-sekuennya dibuat dengan teknik berbeda. Ada sekuen sandiwara boneka, ada sekuen film gambar (animasi), ada film hidup (live action), dan ada pula yang menampilkan aktor, atau narator. Format majalah, menurut dr. Lily Rilantono, Ketua II YKAI, sudah terbukti paling efektif untuk mendidik anak-anak melalui film. Potongan sekuen pendek-pendek yang meloncat dari satu teknik ke teknik yang lain bertujuan menjaga minat anak-anak untuk mengikuti seluruh film. Karena daya konsentrasi anak-anak prasekolah relatif pendek, sebuah pertunjukan (dengan satu teknik dan satu masalah) akan menjadi terlampau panjang. "Anak-anak akan bosan," katanya. Menurut Wagiono, setiap sekuen (dan teknik) mewakili satu jenis idiom (bahasa). Seperti rubrik dalam majalah, tiap potongan ini mengandung satu jenis permasalahan dan diasuh sebuah tim tetap yang menguasai masalah itu dan sekaligus idiomnya. Sekuen boneka, misalnya, mendapat beban memperkenalkan etos kerja dan pemecahan masalah. Potongan animasi akan menjadi media merangsang persepsi anak melalui imajinasi. Film hidup, efektif untuk memperluas horison pengamatan anak-anak, misalnya, memperlihatkan kehidupan desa dan tradisi pada anak-anak kota, dan sebaliknya memperkenalkan aspek kehidupan modern pada anak-anak daerah. Aktor, dalam film mewakili guru -- bisa juga tokoh yang sedang terkenal -- dan dalam skala besar bisa diidentikkan dengan pranata sosial. "Sebenarnya ada kontinuitas dalam keseluruhan film," kata Wagiono. "Tapi tidak nyata karena mengalir melalui potongan idiom yang berbeda-beda." Metode ini berkaitan dengan cara belajar anak- anak prasekolah yang meloncat-loncat karena daya tangkap dan kemampuan persepsinya belum lengkap. "Tapi dalam prakteknya, seperti Sesame Street, film jenis ini terbukti disukai semua anak-anak, bukan yang prasekolah saja." Konsep ini memang terlihat pada Apa Kabar. Di awal film ada sekelompok boneka membangun rumah. Sekuen boneka ini dibagian lain disambung dengan metamorfosa pohon-pohonan yang dikerjakan dengan teknik animasi. Lalu dalam film hidup, pohon ini diperkenalkan sebagai kayu, material yang bisa diolah menjadi sebuah topeng. Di tengah sekuen-sekuen itu diselipkan pengenalan angka dengan berbagai idiom. "Tapi isi Apa Kabar ini cuma sebuah contoh," kata Wagiono lagi. "Isi pelajaran ini nantinya akan merupakan baian paling sulit." Beberapa bagiannya memang mengacu ke kurikulum pendidikan prasekolah P dan K, tapi kurikulum ini masih harus diterjemahkan ke berbagai gagasan visual dan juga cerita. Film seri ini akan diawali dengan kelompok film yang ditekankan bukan pada isi tapi pada pengenalan idiom-idiom dalam film itu. Ini, menurut Wagiono, diperlukan guna membangun komunikasi antara anak-anak dan idiom-idiom itu. Tokoh-tokoh dalam film, berikut karakter-karaternya, juga akan diperkenalkan seintensif mungkin. Popularitas para tokoh ini sangat pentin. Sebagai idola apa pun yang mereka anjurkan akan didengarkan anak-anak. Produksi film seri ini dirancang dalam empat tahap dan meliputi 52 film. Tahap pertama terdiri dari 12 film yang masing-masing diperkirakan memerlukan biaya Rp 30 juta. YKAI, menurut dr. Lily, tidak bisa menanggung sendiri seluruh biaya ini. "Karena itu, kami menunggu uluran tangan para sponsor," katanya. Ishadi optimistis, banyak perusahaan besar mau membantu pendanaan. Sebagai ahli di bidang komunikasi massa, ia mengutarakan, "Sekarang ini di kalangan usaha sedang santer dimasalahkan corporate image." Banyak perusahaan sedang berusaha membangun citra baik. Film pendidikan ini, menurut Ishadi, efektif untuk membangun citra baik itu. Misinya tak perlu diragukan. Jika Anda seorang pengusaha yang sedang membangun citra baik itu, nah, mengapa Anda tidak mengambil bagian dalam rencana besar ini? Untuk anak-anak kita, anak-anak Indonesia. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus