Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas Padang Bulan Teater Koma menutup program Perempuan Berkarya.
Padang Bulan disutradarai oleh Sari Madjid dari naskah Nano Riantiarno.
Tiga sutradarai perempuan lainnya yang unjuk karya adalah Rita Matu Mona, Polka Kojansow, dan Sekar Dewantari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan menjadi ilham, simbol, legenda, dan mitos, berikut kisah-kisah yang menyertainya. Di Indonesia, ada banyak mitos dan legenda tentang bulan. Salah satunya, ada dewi bulan bernama Candra Jelita. Teater Koma pun mengangkat bulan ke dalam pertunjukannya kali ini. Berjudul Padang Bulan, pertunjukan itu dihelat di sanggar dengan mengandalkan teknologi multimedia dan musik. Lalu, pentas yang disutradarai Sari Madjid itu disiarkan secara daring di saluran YouTube Teater Koma, Rabu malam, 15 Desember 2021.
Pentas itu dibuka dengan adegan seorang perempuan duduk, lalu berdiri dan bernyanyi dengan latar bulatan kuning seperti di antariksa, di antara benda-benda angkasa. Dia adalah Wulan, nama Dewi Bulan dari Jawa. Wulan bagi orang Jawa adalah perlambang cinta, hasrat, dan romansa. Mereka memuja keindahan bulan. “Para pendongeng mengisahkan keindahanku lewat puisi, sonata, dan balada,” ujar Wulan, yang diperankan oleh Netta Kusumah Dewi.
Keindahan dan romantisisme bulan menjadi ilham bagi seorang sastrawan yang tekun menuliskan sajaknya dengan mesin ketik (diperankan oleh Nino Bukir) dan seorang dramawan (diperankan oleh Rangga Riantiarno). Mereka bersahutan melafalkan puja-puji bagi sang kekasih untuk menyatukan cinta mereka. “Malam itu, pada saat hanya ada gelap di luar dan cahaya dari langit yang sangat remang dari angkasa…, itulah aku, rembulan,” ujar Wulan. “Tiada yang lain, kecuali aku dan kamu,” sambut sang dramawan.
Dalam iringan suling Sunda, sang rembulan juga bercerita tentang dirinya yang selalu menjadi incaran seorang raksasa, yang disebut Bukbangkalan. Ia akan mencari celah lengahnya bumi untuk menelan si bulan. Manusia di bumi mencegah bulan dimangsa Bukbangkalan dengan aneka bebunyian dan pukulan lesung.
Cerita tentang bulan tak hanya ada di Indonesia, tapi juga berkembang di berbagai belahan dunia. Di Yunani dan Romawi, bulan dikenal dengan nama Luna. Sedangkan suku Maya menyebutnya Ixchel, Dewi Kesuburan. Ia diibaratkan seperti laba-laba gaib yang memintal benang cahaya kuning keemasan, menjerat siapa saja hingga bersikap romantis. Di Cina, ada Chang’e yang terjebak di danau mutiara karena keserakahannya. Ia hanya berteman seekor kelinci putih, sang penjaga setia, yang bisa bermimikri menjadi apa saja demi bulan.
Pertunjukan Teater Koma dengan lakon Padang Bulan karya N. Riantiarno yang disutradarai oleh Sari Madjid pada kanal Youtube Teater Koma, 15 Desember 2021. Youtube Teater Koma
Sementara itu, di Greenland, bulan berwujud seorang dewa, Anningan. Sang dewa tak pernah terpuaskan hasratnya untuk selalu mengejar Dewi Matahari, saudaranya sendiri di angkasa raya. “Berputar-putar, tak terjadi penangkapan itu,” ujar sang dramawan, mengisahkan Anningan. Sedangkan manusia di Afrika percaya Mawu. Ketika bulan bercinta dengan Lisa sang dewi matahari, akan tercipta gerhana.
Di Jepang, mitos bulan bermula dari putri bulan yang dilempar ke bumi menjadi Kaguya. Ia ditemukan dalam bilah bambu oleh seorang warga yang pekerjaannya menebang bambu. Bayi Kaguya lalu diselamatkan, dirawat, dan kemudian tumbuh menjadi gadis cantik. Lima pangeran lalu meminangnya, namun tak mampu memenuhi syarat yang diajukan. Ia juga menolak dengan halus lamaran Kaisar. Suatu ketika, Putri Kaguya pun dijemput kembali untuk kembali ke Negeri Bulan.
Pertunjukan Teater Koma dengan lakon Padang Bulan karya N. Riantiarno yang disutradarai oleh Sari Madjid pada kanal Youtube Teater Koma, 15 Desember 2021. Youtube Teater Koma
Padang Bulan menjadi pentas penutup Teater Koma Pentas di Sanggar bertajuk Perempuan Berkarya. Kegiatan yang berlangsung pada 24 November-15 Desember 2021itu menampilkan empat sutradara perempuan. Mereka mementaskan naskah karya Nano Riantiarno. Tiga pementasan sebelumnya di antaranya adalah Siti Seroja, yang disutradarai Rita Matu Mona. Adapun Polka Kojansow menyutradarai Arsena, dan Sekar Dewantari membesut lakon Arkanti.
Siti Seroja menghadirkan panggung realistik tentang sepasang suami-istri Pargimin dan Siti Seroja yang gemar membaca novel dan bermimpi menjadi bintang film pada 1970-an. Arsena mengisahkan pandangan eksentrik seorang pelukis terhadap dunia sekelilingnya dan menjadi seorang fatalis. Adapun Arkanti tentang seorang perempuan muda yang dikekang pandangan feodal orang tuanya dan upaya pencarian jati diri. Pertunjukan itu memantik perenungan situasi dan kebebasan seorang perempuan.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo