Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyanyi Cilik Merindukan Ayah
S. Prasetyo Utomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah panggung itu, Laila, gadis kecil 9 tahun, mulai tampak mengantuk. Hampir tengah malam. Ia tinggal menunggu Surti, ibunya, naik panggung untuk menyanyikan lagu terakhir. Tanah lapang itu masih dipenuhi orang-orang yang mengagumi pertunjukan Orkes Melayu Mawar Rembulan yang selalu dipenuhi penonton. Laila memperhatikan ibunya yang menjadi pusat perhatian anak-anak muda yang bergoyang pada tengah malam, sebelum entakan kendang berakhir dan panggung terlihat senyap. Laila memandangi ibunya dengan perasaan heran: Kenapa Ibu tidak tampak sedih? Bukankah Ayah akan dihukum mati besok malam?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ayo, kita pulang!" pinta Laila, menarik-narik tangan ibunya.
"Kita menunggu jemputan!" kata Surti, yang enggan pulang ke Lembah Kelelawar, dataran luas tanpa tetangga. Empat keluarga di sekitar rumah Surti memilih pindah dari Lembah Kelelawar setelah suami Surti, Windu, berkali-kali merampok. Selalu datang polisi menyergap Lembah Kelelawar. Laila terbiasa hidup senyap di rumah, tanpa teman. Bila malam, kelelawar-kelelawar beterbangan mencari buah-buahan, dan pagi hari di pelataran rumahnya berserakan buah-buah yang tercecer.
Komandan regu tembak, seorang lelaki setengah baya, menjemput Surti dan Laila dengan mobil sedan. Sepanjang perjalanan, komandan regu tembak berdiam diri, memendam rahasia. Laila juga melihat ibunnya membisu sepanjang perjalanan pulang. Komandan regu tembak seperti sengaja menghindari percakapan.
Laila melihat komandan regu tembak itu memendam suatu rahasia besar yang tak ingin dibongkar. Tetap disembunyikan. Tengah malam itu Laila turun dari mobil komandan regu tembak dengan kantuk yang memberat. Surti turun dari mobil dengan perasaan enggan.
"Besok pagi aku kembali ke sini untuk mengambil peluru yang dirapal doa Suro Kolong," kata komandan regu tembak. "Malam harinya suamimu dieksekusi dengan peluru yang dirapal doa Suro Kolong. Ia kehilangan kekebalannya. Kau ingin suamimu dimakamkan di desa ini?"
***
PADA pagi yang senyap, komandan regu tembak mengetuk pintu rumah Surti. Penyanyi itu bergegas membukakan pintu. Laila masih terbaring di kamarnya. Ia mendengarkan perbincangan mereka di ruang tamu. Ia mesti menajamkan pendengaran.
"Antar aku ke rumah Suro Kolong," kata komandan regu tembak. "Akan kuambil peluru yang sudah disepuh mantra. Tentu peluru itu akan menembus jantung Windu. Ia tidak lagi kebal."
"Hukuman mati itu tak dapat ditangguhkan?"
"Tak ada ampun. Sepuluh tahun dipenjara, suamimu tak menunjukkan sikap baik. Hukuman mati tetap dilaksanakan. Ia ditetapkan bersalah telah menembak mati tiga polisi."
"Kau yang memimpin penembakan?"
"Aku tak dapat mengelak. Malam nanti ia mesti ditembak mati."
Suara percakapan antara Surti dan komandan regu tembak menjauh. Tak lagi didengar Laila dari dalam kamarnya. Ia tahu dari teman-teman sepermainannya bahwa ayahnya, Windu, seorang perampok yang kebal peluru. Ketika Windu merampok rumah Lurah Ngarso lalu disergap lima polisi, tak sebutir peluru pun menembus tubuhnya. Tiga polisi mati ditembak Windu. Dua polisi menangkap Windu dengan pertarungan tangan kosong. Windu terbukti bersalah menembak mati tiga polisi, lalu pengadilan memutuskan: hukuman mati.
Sepuluh tahun ia dipenjara dan hukuman mati akan dilakukan malam nanti. Laila tak mau berpikir, cemoohan apa lagi yang akan diterima dari teman-teman sepermainannya.
***
SELEPAS subuh, mobil jenazah mencapai makam tua di dekat hutan Gandapati. Liang lahat sudah digali kemarin sore. Surti dan Laila berdiri di bawah pohon beringin tua, bergenggaman tangan, menyaksikan jenazah Windu diangkat lelaki-lelaki tegap, muda, dan penuh semangat. Hampir tanpa percakapan di antara mereka.
Ketika jenazah Windu sudah mencapai dasar liang lahat, penggali kubur cekatan menimbuni tanah. Surti dan Laila menabur bunga di atas gundukan tanah. Para pengusung jenazah meninggalkan makam. Kiai Muhaya, yang mendampingi Windu selama berhari-hari menjelang hukuman mati, berdiri di sisi gundukan makam. Memimpin doa. Terlihat Lurah Ngarso dan Suro Kolong berdiri dengan tubuh serba canggung.
Laila tak melihat komandan regu tembak di antara pengusung jenazah. Ia berkali-kali memandangi wajah ibunya. Tak ada air mata. Tak ada isak tangis. Mengapa Ibu tak bersedih atas kematian suaminya? Pikir gadis 9 tahun itu.
"Kenapa Ibu membiarkan komandan regu tembak membunuh Ayah?" tanya Laila, menggugat Surti.
Tergagap, berpikir sejenak, Surti menjawab dengan wajah tenang. "Ayahmu telah menimbulkan malapetaka bagi banyak orang. Ia kebal peluru dan begitu banyak orang mati di tangannya."
"Tetapi kenapa Ibu tidak tampak sedih atas kematian Ayah?"
"Aku tak berani menampakkan kesedihan itu. Aku tak akan pernah melakukan pembelaan terhadap seseorang yang bertindak salah. Ayah tak pernah mendengar kata-kata Ibu untuk berhenti merampok," kata Surti, tak mengenal rasa bersalah. Laila menyembunyikan rasa gelisah, juga perasaan tak berharga di hadapan teman-teman sepermainannya.
Hanya Surti dan Laila yang masih berdiri di sisi gundukan makam basah bertabur kembang. Laila berdoa. Surti berkali-kali membujuk anak gadisnya agar mau meninggalkan gundukan tanah basah itu.
***
SELEPAS magrib, terdengar langkah kaki memasuki Lembah Kelelawar. Bulan purnama di celah-celah dahan jati, sonokeling, dan mangga menampakkan bayangan seorang lelaki setengah baya, gagah, kekar, berambut cepak, dengan sepasang mata tajam. Lelaki itu komandan regu tembak. Tampak sangat hati-hati ia mendekati pintu ruang tamu rumah Surti.
Di ambang pintu, komandan regu tembak berdiri, memandangi Surti. "Kalian sudah siap berangkat?"
Lelaki setengah baya itu duduk di ruang tamu. Berhadapan dengan Surti yang gugup.
"Mana Laila? Ia belum kelihatan!" kata komandan regu tembak. "Panggung Orkes Melayu Mawar Purnama akan menantikan kehadirannya."
"Ia menolak untuk naik panggung!"
"Boleh aku bicara padanya?"
"Jangan sekarang. Biarkan ia menikmati kesedihannya."
Terdiam lama, merenung, komandan regu tembak itu menukas, "Kita tinggal ia sendirian di rumah?"
"Apa boleh buat. Aku tak mau gagal naik panggung karena kesedihannya."
***
MENJELANG subuh, ketika Surti diantar komandan regu tembak memasuki rumah di Lembah Kelelawar, didapati semua ruang kosong. Laila tak tertidur di kamarnya. Apakah gadis kecil itu meninggalkan rumah semalam? Pikir Surti.
"Mari, ikut aku! Kutunjukkan tempat Laila berlindung," kata komandan regu tembak dengan yakin. Ia membawa Surti menyusuri jalan setapak menuju makam, dekat hutan Gandapati. Di bawah pohon beringin, beralaskan tikar, Laila berselimut, tertidur. Wajah gadis itu menghadap makam Windu. Sepasang matanya masih terpejam.
"Kenapa ia tidur di sini?"
"Ia merindukan sosok ayah. Boleh aku bicara jujur pada Laila?" tanya komandan regu tembak.
Lama Surti memandangi komandan regu tembak. Ia bimbang. Tak ingin anak gadisnya mengalami guncangan batin. Tetapi membiarkan gadis cilik itu dengan jalan hidup yang ditempuhnya saat ini tak akan menyelamatkan jiwanya.
"Katakan pada Laila bahwa kau ayah kandungnya. Dan lindungilah jiwanya," tukas Surti, menahan degup dada yang kencang. Ia tak bisa menduga apa yang akan dilakukan gadis cilik itu bila tahu ayahnya komandan regu tembak, bukan Windu yang sudah mendekam di penjara selama sepuluh tahun sebelum ditembak mati.
Dengan hati-hati, komandan regu tembak melangkah pelan, mendekati Laila, berjongkok, dan menyentuh keningnya yang berembun, pelan. Sepasang mata gadis cilik itu terbuka. Berkejap-kejap. Memandangi komandan regu tembak. Rekah senyumnya, tersipu-sipu.
***
Pandana Merdeka, Oktober 2023
S. Prasetyo Utomo lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Sejak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo