SUMATRA BARAT: PEMBERONTAKAN PAJAK 1908 Bagian I: Perang Kamang Oleh: Rusli Amran Penerbit: N.P., Jakarta, 1988, 302 halaman SALAH satu hal yang menyebabkan panorama sejarah - sebagai kumpulan kisah di kelampauan - bisa mengasyikkan ialah ironi-ironi yang dipantulkannya. Ironi adalah situasi ketika keharusan logika mengalami gangguan. Maka, bukankah suatu ironi jadinya, jika diingat b~tapa hasrat anak-anak muda dari kalangan atas masyarakat kolonial untuk membangun masyarakatnya tercatat dalam sejarah, bahkan dikenang dan dirayakan. Sebaliknya, kegelisahan malah perlawanan - suatu masyarakat untuk membela harkat diri terlupakan? Padahal, keduanya terjadi pada waktu yang sama. Ketika anak-anak Stovia, di tahun 1908, mendirikan Budi Utomo, rakyat di pedesaan Sumatera Barat sedang menghadapi krisis ~sosial-politik yang serius. Di bu~lan-bulan Mei-Juli di tahun itu mereka sedang menentan~g den~gan keras rencana pemerintah kolonial untuk memaksakan pelaksanaan pemungutan pajak, sebagai pengganti monopoli kopi. Dalam peristiwa ini korban pun berjatuhan. Di tahun 1927, Dr. B. Schrieke dalam laporannya yang kini telah menjadi "klasik", tentang faktor-faktor yang menyebabkan meletusnya apa yang disebut "pemberontakan komunis" di Silungkang (1927), menyatakan bahwa "peristiwa 1908" itu bisa dianggap sebagai pembuka katub perkembangan sosial-ekonomi di Sumatera Barat. Pemaksaan pajak dan pencabutan monopoli kopi segera diikuti oleh berbagai kebijaksanaan sosial-ekonomi lain. Hal-hal inilah, kata Schrieke, yang ditanggapi masyarakat dengan positif. Maka, peralihan ekonomi terjadi, dan lebih penting lagi, perubahan sosial pun menyusul pula. Ketika inilah proses individualisasi terjadi. Akibatnya? Ikatan adat pun melonggar. Kalau telah begini, apa pun bisa terjadi. Studi-studi kemudian bisa memperlihatkan bahwa Schrieke terlalu melebih-lebihkan situasi perubahan yang ditelitinya. Meskipun demikian, dengan memakai ukuran apa pun, 1908 sesungguhnya merupakan tahun yang sangat penting bagi Sumatera Barat. Setelah tanam paksa atau monopoli kopi tak lagi mendatangkan hasil bagi kas pemerintah, Gubernur Jenderal Van Heutz, yang bangga dengan reputasinya sebagai "penakluk Aceh", merasa perlu menukar - politik eksploitasi. Perhitungan ekonomis ialah dengan penghapusan monopoli kopi, rakyat bisa menjual kopi di pasaran bebas dengan harga yang jauh lebih tinggi, sedangkan pemerintah cukup puas dengan pembayaran pajak. Jadi, rakyat untung, pemerintah pun berlaba. Argumen pemerintah ini tentu bisa diperdebatkan, dan memang dimasalahkan oleh para penghulu dan pemimpin rakyat. Tetapi bukanlah bayar pajak artinya mengakui bahwa penguasa yang sesungguhnya adalah Belanda? Sejak Perang Paderi berakhir (1837) dan Belanda berhasil memasukkan pedalaman Minangkabau ke lingkungan pax Neerlandica, rakyat Minangkabau "menerima" nasib dengan dukungan moral dari mitos "Plakat Panjang". Dalam plakat yang dibuat pemerintah Belanda ini ditegaskan bahwa rakyat Minangkabau akan tetap diperintah oleh penghulu mereka dan tidak diharuskan membayar pajak. Hanya saja, karena Kompeni perlu dana untuk banyak keperluan, maka rakyat diminta menanam kopi. Realitas sejarah cukup jelas. Minangkabau telah dikuasai Belanda. Tetapi kesadaran sejarah menjadikan realitas ini relatif. Ketika pemerintah meniadakan selaput tipis yang membatasi mitos dan realitas itu, maka suasana krisis tak terelakkan lagi. Di mana-mana, tanpa koordinasi, rakyat bergerak. Ada yang dengan kekerasan senjata, ada yang berdemonstrasi, dan tak pula kurang dengan gaya berlagak pilon. Namun, di antara semua itu, peristiwa yang paling menggetarkan ialah di Kamang. Karena itulah di antara pemberontakan kecil-kecil itu yang paling sering dikenang ialah "Perang Kamang". Di nagari kelahiran Tuanku Nan Renceh (salah seorang pelopor gerakan Paderi ini perlawanan keras yang meminta korban di kedua belah pihak meletus. Dipimpin oleh ulama dan beberapa orang penghulu adat, di awal Juni 1908 rakyat Kamang bangkit bergerak dan menentang ekspedisi militer pemerintah. Dengan kepercayaan akan kekebalan, yang konon tersimpan dalam jimat, para pembangkang yang berjubah putih, disertai seruan syahadat dan Allahu Akbar, menghadang dengan bersenjata parang dan tombak. Puluhan tewas. Tetapi tak jarang mereka berhasil "membawa serta" tentara kolonial. Peristiwa yang sangat menggetarkan hati inilah yang menjadi fokus utama karya Rusli Amran yang dibicarakan ini. Dalam usahanya untuk merenkonstruksikan peristiwa "Perang Kamang" ini, ia terutama menyandarkan diri pada laporan-laporan rahasia pejabat Belanda yang terlibat (khususnya dari the notorious Westenenk), dengan sekali-sekali membandingkannya dengan berita-berita koran sezaman dan kenangan yang masih hidup di Kaman~. Hasil yang didapatkannya ialah fakta-fakta kronikel yang cukup bisa dipercaya. Maka, Rusli Amran bukan saja berhasil memperkenalkan "Perang Kamang" dalam proporsi yang wajar ke forum nasional, tetapi juga menahan proses mistifikasi peristiwa ini di kalangan masyarakat Minang. Dengan terbitnya buku ini Rusli Amran. telah makin melengkapi kontribusinya dalam pengembangan pengetahuan kita tentang berbagai aspek sejarah lokal di Indonesia. Meskipun tanpa pretensi akademis, karya-karyanya menyumbang pula bagi pendalaman wawasan sejarah nasional. Karena itu, beralasan pulalah kiranya kalau bagian ke-2 dari buku ini dinantikan dengan penuh harapan. Karya ini harus dilihat sebagai sambungan buku-bukunya terdahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini